c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

04 Januari 2020

13:38 WIB

Batombe, Seni Balas Pantun dari Solok Selatan

Batombe pernah dilarang ditampilkan karena membuat muda-mudi terlena hingga membuat rumah tangga retak

Editor: Yanurisa Ananta

Batombe, Seni Balas Pantun dari Solok Selatan
Batombe, Seni Balas Pantun dari Solok Selatan
Ilustrasi acara adat Padang, Kesenian Batombe. Kemendikbud/dok

JAKARTA – Indonesia memang memiliki budaya bertutur yang kental. Di berbagai daerah, seni berbalas pantun mengisi beragam helatan budaya sehari-hari masyarakat. Salah satunya seni berbalas pantun bernama batombe dari Sangir Batanghari, Solok Selatan, Sumatra Barat.

Tak ada catatan pasti kapan batombe pertama kali muncul dan siapa penggagasnya. Hal yang jelas, seni berbalas pantun ini sudah akrab di telinga masyarakat Solok Selatan. Batombe biasanya muncul pada acara adat, mulai dari acara pengangkatan penghulu, pendirian rumah gadang, hingga acara perkawinan.

Batombe biasanya dimainkan oleh sejumlah laki-laki dan perempuan dengan diiringi alat musik rebab, gendang hingga talempong (alat musik pukul khas Sumatra Barat, mirip gamelan). Dengan iringan rebab, para pemain pun melantunkan pantun dengan saling berbalas. Pantun biasanya berisi petuah, kisah, hingga ungkapan-ungkapan perasaan muda-mudi.

Meski kesenian ini sifatnya menghibur, pelaksanaan batombe dalam adat di Solok Selatan diatur secara ketat. Sebelum mengadakan batombe, penyelenggara wajib memotong kerbau dulu. Masyarakat setempat meyakini aturan inilah yang menjadi asal mula lahirnya batombe. (Eva Krisna, dalam jurnal Madah Volume 7 No. 2 Edisi Oktober 2016: 159-166).

Konon, di masa lampau masyarakat nagari Abai (nagari di Kecamatan Sangir saat ini), bersepakat mendirikan sebuah rumah gadang. Kemudian mereka bersama-sama mengambil kayu di hutan sebagai bakal tiang rumah.

Proses pengambilan kayu untuk rumah gadang tersebut berlangsung begitu berat dan melelahkan. Melihat hal itu, para perempuan yang ikut dalam rombongan itu pun mendendangkan pantun-pantun untuk mengembalikan keceriaan para lelaki. Para lelaki yang mendengar pantun itu pun mulai bersemangat kembali, mereka mulai menari-nari bersama, saling bersahut pantun sambil melanjutkan pekerjaan mereka.

Setelah kayu selesai ditebang dan hendak diangkut, muncul masalah baru. Kayu yang sudah ditebang sama sekali tidak bisa digeser apalagi diangkat karena saking beratnya. Masyarakat percaya ada yang harus dilakukan agar kayu tersebut bisa diangkat.

Maka disepakati untuk memotong seekor kerbau dan memercikkan darahnya ke pangkal kayu tersebut. Hal ini sebagai usaha memberi penghormatan dan memohon izin mengambil kayu, kepada makhluk halus penunggu batang kayu tersebut.

Kontroversi Batombe
Masyarakat Solok Selatan dan masyarakat Sumatra Barat pada umumnya senang berpantun. Mulai dari orang-orang tua, anak-anak, terlebih lagi kaum muda-mudi ramai menyaksikannya.

Masyarakat biasanya tidak hanya berlaku sebagai penonton, mereka sering turut menjadi pemain: berbalas pantun dengan para pemain batombe. Batombe tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan seni, lebih dari itu, sebuah permainan rakyat.

Namun leburnya pemain dengan penonton lewat seni berbalas pantun ini, batombe sempat menuai kontroversi. Batombe pernah dilarang ditampilkan di Solok Selatan. Pasalnya, atraksi bermain pantun itu membuat orang-orang, terutama muda-mudi, mudah terlena dengan perasaannya.

Bahkan, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, batombe bisa membuat rumah tangga seseorang retak. Alkisah, pernah seorang laki-laki pemain batombe bercerai dengan istrinya yang sedang hamil, karena dia terlalu sibuk bermain batombe dan menjadi sangat akrab dengan pemain batombe wanita.

Namun, kontroversi itu tak serta merta mematikan batombe. Hingga hari ini, batombe masih eksis di Solok Selatan, Sumatra Barat. Namun, kontroversi itu membawa banyak perubahan pada tampilan kesenian batombe itu sendiri.

Jika dulunya batombe identik dengan tari-tarian kegembiraan para pemain dan penontonnya, saat ini batombe lebih sering ditampilkan dengan lebih tenang. Para pemain batombe sekarang umumnya hanya duduk di panggung yang sudah dipersiapkan, memainkan musik dan berpantun. Sementara penonton menikmati pertunjukan tersebut, tak lagi ikut berpantun ataupun menari dengan pantun.

Pada tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  Indonesia resmi memasukkan batombe ke dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Penetapan itu bersamaan dengan penetapan sejumlah tradisi Minangkabau lainnya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia yaitu salawat dulang, rabab, pasambahan dan ulu ambek. (Andesta Herli)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar