c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

KULTURA

06 Juli 2018

18:23 WIB

Andar Ismail, Saluran Berkat Tuhan Lewat “Seri Selamat”

Editor: Fin Harini

Andar Ismail, Saluran Berkat Tuhan Lewat “Seri Selamat”
Andar Ismail, Saluran Berkat Tuhan Lewat “Seri Selamat”
Andar Ismail. Validnews/Shanies

JAKARTA – “Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’ Maka sahutku: ‘Ini aku, utuslah aku!’ (Yesaya 6:8).

Masing-masing individu memiliki panggilan hidup tersendiri. Ada yang memiliki panggilan untuk menjadi guru, dokter, tentara maupun beragam profesi lainnya. Tak sedikit yang juga yang memilih dan terpilih untuk mengabdikan dirinya berkarya di ladang Tuhan. Adalah Andar Ismail, yang menunjukkan respon dan komitmen kuat atas panggilan tersebut.

Andar Ismail lahir di Bandung pada 27 Januari 1940 dari pasangan Siem Gie Tat (ayah) dan Tan Kie Nio (ibu). Ia merupakan anak keempat dengan tiga kakak perempuan, satu adik laki-laki, dan satu adik perempuan.

Jauh dari kehidupan mewah dan kelimpahan, hidup Andar sedari kecil penuh dengan perjuangan dan kerja keras. Ia adalah satu-satunya murid yang memakai sepatu rusak dan berlubang. Bahkan, biaya Andar untuk mengenyam pendidikan pun disokong oleh pertolongan gereja.

“Saya sejak SD jadi pengantar koran, anak miskin sekali. Saya anak diakoni, orang tua saya itu dapat sumbangan beras, gula, ikan asin, semacam sembako itu, karena miskin. Pernah ibu saya diberi modal dari gereja untuk berdagang di pasar, dagang garam, minyak kelapa, rempah,” kenang Andar saat berbincang dengan Validnews, Selasa (3/7).

Setiap jam 4 pagi, Andar membantu sang ibu pergi ke pasar untuk membawa semua dagangan itu. Sambil menahan rasa lapar, ia juga berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjual kue buatan sang ibu. Ketika masa libur sekolah datang, ia mencuci peralatan masak di sebuah rumah makan.

Di tengah segala kesulitan, didikan dari sang ayah membentuknya menjadi sosok disiplin, mandiri, dan pekerja keras.

Sementara itu, Ibunda berperan membentuk Andar untuk bertumbuh sebagai pribadi yang memiliki daya imajinasi tinggi.

Ketika belum bisa membaca dan menulis, si kecil Andar sudah mulai mengarang. Di usianya yang menginjak 3 tahun, dirinya tidak memiliki mainan apapun. Tiap hari selama berjam-jam, ia menghabiskan waktu bermain seorang diri dengan daun kering dan patahan ranting yang berserakan di halaman rumahnya yang sempit.

“Mama, tadi owe ketemu gajah, main dengan gajah,” seperti inilah laporan polos dari si kecil Andar kepada sang ibu.

Ibunda pun senantiasa memberikan tanggapan positif. “Berapa ekor gajahnya? Belalainya panjang ya? Siapa namanya?”

Lalu Andar mulai bercerita panjang lebar tentang teman bermain imajinernya, lengkap dengan penggambaran akan rupa sang kawan imajiner berikut aktivitas yang mereka lakukan bersama.

Sang ibu pun tetap mendengarkan semua cerita-cerita dari Andar, tanpa sadar bahwa ini menjadi titik awal si kecil Andar untuk mengembangkan ketajaman konsentrasi, kemampuan berimajinasi, dan kebebasan berekspresi.

“Saya punya cita-cita, sebagai anak miskin --waktu itu kelas 4 SD -- saya antar koran tiap sore. Ketika antar itu koran, saya lihat ada pelanggan yang sudah tunggu, saya jadi semangat. Saya berpikir, wah penting ini, saya jadi orang penting karena antar koran. Kalau orang yang ngantar koran saja penting karena ditunggu orang, apalagi yang nulis di koran. Sejak saat itu saya mau jadi penulis,” ungkap Andar.

Tidak ada yang menyangka sebelumnya, kelak hal-hal tersebut menjadi modal besar bagi Andar untuk menjadi penulis. Puluhan tahun kemudian, kekayaan imajinasi dan kemampuan bertutur yang sudah terlatih sedari kecil membuahkan karya Seri Selamat yang mampu membuka pikiran dan menumbuhkan iman banyak pembacanya.

Andar mengakui, keterampilan bercerita dan menulis narasi adalah hasil belajar mengarang dan menulis di SD. Dirinya selalu mendapatkan apresiasi dari guru dan teman-teman sekelas seusai membacakan cerita yang ditulisnya.

Pengakuan itulah yang menjadi suntikan semangat bagi Andar untuk berkreasi dan tetap mengembangkan potensinya dalam mengarang serta menulis.

 

Panggilan Pelayanan
Menginjak remaja, Andar Ismail merasa terpanggil untuk menjadi pendeta. Usianya baru 18 tahun ketika ia memutuskan untuk menginjakkan kaki dan belajar di Sekolah Teologi Balewijoto, Malang, Jawa Timur.

Keeratan hatinya dengan gereja dan keteladanan guru sekolah minggu menjadi faktor penting yang melatarbelakangi Andar dalam mengambil keputusan itu. Pemicu lain adalah minatnya mulai bersemi sedari kecil untuk membaca buku-buku Kristen.

Saat itu, dirinya hampir setiap hari mengunjungi toko buku Badan Penerbit Kristen (BPK) di Jalan Pasir Kaliki, Bandung. Lantai di sudut ruang menjadi tempat favorit bagi Andar untuk membaca lantaran tidak memiliki uang untuk membeli buku.

Dari situ, Andar mulai mengenal tokoh-tokoh Kristen seperti Johannes Verkuyl yang merupakan teolog dan pakar misiologi Belanda; Johanes Leimena, sosok politisi Kristen asal Maluku, ahli misiologi Belanda yang juga sebagai salah satu penggagas berdirinya Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta; hingga Notohamidjojo yang merupakan bagian dari pendiri Universitas Kristen Satya Wacana.

Pengetahuan tersebut cukup membuat dosen Sekolah Teologi Balewijoto terpaku dan terpesona ketika Andar mengikuti ujian masuk.

Jalan Andar untuk mewujudkan mimpinya untuk menjadi pendeta tak selamanya mulus. Perjalanan Andar demi menempuh pendidikan di sekolah tersebut pun bisa dibilang sebagai wujud nyata pertolongan Tuhan. Ada banyak orang yang dikirimkan untuk membantu Andar hingga ia bisa menempuh pendidikannya.

Dimulai dari sang Ibu dan ketiga kakak membantu persiapan Andar ke Balewijoto. Lalu, ada seorang lelaki 70 tahun bernama Dji Leng berkunjung bersama istrinya ke rumah Andar dan memberikan bekal berupa beberapa butir telur rebus. Tidak hanya itu, pasangan suami istri itu juga memberi nasihat, serta mengucapkan doa.

Seorang penatua dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kebonjati yang pada masa lalu pernah memarahi Andar hanya karena ia salah meletakkan koran pun datang dan memberi Andar uang untuk keperluan sehari-hari dan tiket kereta.

Perpanjangan tangan Tuhan untuk menolongnya juga dirasakan Andar lewat seorang tetangga muslim yang saat itu sedang menempuh studi di Surabaya. Pria bernama Ruswandi tersebut menjemput Andar di stasiun kereta api Surabaya. Ia juga memperbolehkan Andar untuk menginap satu malam di kamarnya, hingga mengantar Antar dalam perjalanannya ke Malang.

Studi yang ditempuhnya dengan baik selama 6 tahun (1957-1963) tersebut juga adalah berkat dukungan beasiswa dari GKI Kebonjati, Bandung, dan motivasi pemimpin GKI Kebonjati, Pendeta Gouw Gwan Yang.

Selama enam tahun, Andar merelakan dirinya untuk merasakan tidur beralaskan tikar tanpa kasur demi mengirit dana kiriman dari gereja dan sedikit honor yang ia dapatkan sebagai asisten dari pengajar asal Belanda bernama Arie de Kuiper. Penghematan ini ia lakukan agar mampu untuk membeli berbagai macam buku.

“Ketika saya sekolah teologi, saya tetap tertarik pada dunia tulis menulis. Saya merasa Tuhan yang membimbing saya ke arah ini. Memberi bakat-bakat kepada saya, memberi semangat kepada saya, memberi idealisme kepada saya, memberi kemauan kerja keras. Saya anggap itu diberikan oleh Tuhan. Bakat itu juga pemberian Tuhan,” terang Andar.

 

 

Tekad
Selama studi itu pula, Andar seringkali tidak bisa memahami ceramah ataupun khotbah serta catatan kuliah dari pengajar-pengajarnya yang ia anggap terlalu bertele-tele. Inilah yang makin memacu Andar untuk menjadi pengajar dan penulis.

“Jadi saya menulis, terdorong oleh keinginan untuk menjelaskan sesuatu yang susah secara mudah, tidak panjang lebar tetapi singkat-singkat. Tidak membosankan tapi memikat, kalau perlu ada humornya,” jelas Andar.

Perlu beberapa waktu lamanya sampai Andar bisa mewujudkan kerinduan hatinya menjadi penulis. Pasca lulus dari pendidikan teologinya di Balewijoto, Andar menjalani masa vikaris selama dua tahun, terhitung sejak 1963 hingga 1965 di GKI Gang Kelinci yang kini dikenal sebagai GKI Samanhudi, Jakarta.

Tak lama setelah masa vikarisnya selesai, pada tahun yang sama yakni 1965, ia ditahbiskan menjadi pendeta GKI Samanhudi. Di umur yang menginjak 25 tahun ini, tepat di hari pentahbisan tersebut, Andar mengikatkan janji sucinya kepada Constance (Stans), seorang guru sekolah minggu yang dikenalnya sejak tahun 1962 lalu.

Saat itu Andar merasa dirinya dinikahkan oleh jemaat, lantaran acara dan resepsi pernikahan tersebut sepenuhnya dibiayai oleh gereja. Jalinan pernikahan Andar dengan Stans menghadirkan dua buah hati, yaitu Atika yang kini menjadi ahli serat optik dan Syarif yang menekuni bidang linguistik.

Tiga bulan sejak pentahbisan dan pernikahannya, Andar bersama Stans merantau ke negeri Belanda selama tiga tahun (1965-1968). Kesempatan tersebut diperoleh atas bantuan beasiswa penuh dari Gereja Hervormed Belanda. Kali ini Andar memfokuskan dirinya untuk mempelajari pendidikan agama Kristen di Agogisch Instituut Utrecht.

Tahun 1978, Andar diangkat menjadi dosen paruh waktu di STT Jakarta. Pengangkatan ini kian memotivasi Andar untuk menempuh berbagai macam pendidikan dan pelatihan. Beberapa pelatihannya antara lain pembelajaran selama enam bulan terkait sosiologi pendidikan orang dewasa di Doshisha University, Jepang yang didanai penuh oleh Dewan Gereja Asia.

Masih didukung oleh suntikan dana dari Dewan Gereja Asia, tahun 1982 Andar mampu meraih gelar sebagai Master of Theology dari sebuah Seminari Presbiterian di Seoul, Korea Selatan, yang ditempuhnya hanya selama 1,5 tahun.

Dalam kurun waktu tersebut, Andar sebenarnya telah meluncurkan dua karya pertama dari Seri Selamat, yaitu Selamat Natal dan Selamat Paskah. Namun, hampir sepanjang 10 tahun sejak karya itu keluar, pembaca belum bisa menikmati dan bertumbuh bersama tulisan Andar.

“Sepuluh tahun terhenti karena sekolah lagi, tidak ada waktu untuk menulis. Pulang dari sekolah dan kerja di STT belum bisa menulis, karena masih menyesuaikan diri dengan kesibukan pekerjaan,” jelas Andar.

Wajar saja, Andar memang kembali menempuh pendidikan doktoral hingga meraih gelar Doctor of Education dari Presbyterian School of Christian Education yang berlokasi di Amerika selama lima tahun (1983-1988).

Meski begitu, selama di Amerika, Andar juga sering menulis untuk berbagai penerbitan gereja-gereja setempat, termasuk untuk keuskupan di New York. Andar bahkan mendapat Literature Award yang dianugerahi oleh Dewan Gereja-Gereja di Amerika.

Seri Selamat Kembali Meluncur

Setelah meraih gelar doktor, Andar menjadi dosen tetap di STT Jakarta pada tahun 1989. Pada saat itu, BPK Gunung Mulia yang telah menerbitkan dua Seri Selamat meminta Andar untuk melanjutkan karyanya. Namun, dirinya meminta waktu beberapa tahun lagi untuk mematangkan diri, sembari mengemban tugas sebagai pengajar di STT Jakarta.

Beberapa tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1992, Seri Selamat kembali diluncurkan dengan judul Selamat Pagi,Tuhan! Hadirnya karya ini mampu menjadi angin segar atas kerinduan pembaca Selamat Natal dan Selamat Paskah yang telah menantikan selama 10 tahun.

Sejak 1992 itulah, Andar setiap tahun mengeluarkan satu judul Seri Selamat. Buku-buku tersebut pun diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Tiap buku rata-rata dicetak sebanyak 10.000 copy dan terjual habis dengan cepat.

Ada yang menarik dan menjadi ciri khas dari Seri Selamat yang ditulis oleh Andar. Yaitu, setiap bukunya selalu dibatasi sebanyak 33 bab. Kepada Validnews, Andar mengungkapkan alasan dan penyebab di balik angka 33 itu.

“Karena saya terpesona. Terpesona oleh 33 tahun umur hidup Tuhan Yesus. Kok bisa ya begitu muda sudah bisa berkarya? Singkat namun hidupnya begitu berdampak. Di umur 33 saya jatuh sakit dan masuk RS. Buat saya, angka itu menarik,” kenang Andar.

Inspirasi Andar dalam menulis Seri Selamat ini tak jauh dari kesehariannya. Misalnya, dalam buku Selamat Menabur (1997), Andar menceritakan dirinya tersentak pasca menjalani bedah jantung. Pikiran-pikiran seperti “Apa yang kita wariskan kepada generasi berikut? Bagaimana menjadikan hidup ini berguna? Bagaimana memanfaatkan tahun-tahun secara produktif?” dan berbagai pemikiran lain melintas di benak Andar.

Berbagai pemikiran dan dialog dengan diri sendiri itulah yang kemudian ia tuangkan dalam tulisan, hingga menghasilkan karya yang tak hanya menarik, namun juga menyentuh hati pembacanya.

Tahun 2002, Andar menyelesaikan masa baktinya sebagai seorang pendeta di GKI Samanhudi. Setelah 40 tahun pelayanan, Andar memasuki masa emeritat. Pada tahun 2005, Andar juga tidak lagi menjadi menjadi pengajar di STT Jakarta, dirinya pun dapat fokus untuk menulis Seri Selamat sambil menjadi konsulen teologi di BPK Gunung Mulia.

 

Benih yang Bertumbuh
Sedikit kilas balik, dalam Seri Selamat yang berjudul Selamat Bergereja (2010), Andar mengungkapkan dirinya bagaikan benih kecil yang ditanam.

Sebagai info, sejak umur 4 tahun Andar sudah mengikuti kegiatan sekolah minggu. Sedangkan SD Kristen tempatnya pertama kali mengecap pendidikan berada di belakang GKI Kebonjati. Singkat kata, Andar tumbuh dan besar di gereja.

“Entah sengaja atau tidak, ibu menanam saya di pelataran gereja. Saya merupakan benih kecil yang ditanam, di situ saya bertumbuh. Dari anak diakoni menjadi pendeta, dari murid sekolah minggu menjadi dosen teologi, dan dari bocah yang belum bisa membaca jadi penulis buku,” tulisnya.

Hingga pada tahun 2017, Andar mengeluarkan karya dengan judul Selamat Membarui. Ini menjadi judul ke-28 Andar dari Seri Selamat. Terlepas dari keberhasilannya, seiring dengan perjalanan pelayanan dan kariernya sebagai penulis, Andar mengakui dirinya kerap dirundung berbagai hal yang mengakibatkan dirinya jatuh ke dalam titik terendah dalam hidupnya.

“Putus asa. Tentu sampai sekarang sering kali putus asa, patah semangat. Setelah saya menulis, saya belajar, kadang dalam kelelahan itu saya berpikir, ada gunanya tidak ya saya capek-capek begini? dihargai atau tidak? berguna atau tidak? Sering itu melintas di pikiran,” ungkap Andar.

Di balik putus asa yang dihadapinya, Andar tetap berkomitmen untuk menjawab panggilannya menyampaikan kasih Tuhan melalui karya-karyanya.

“Saya hanya ingin pembaca itu bertumbuh, sebab kita semua masih bertumbuh, walaupun usia kita sudah tua, tapi kita masih bisa bertumbuh. Saya sendiri bertumbuh, saya menulis ibaratnya saya juga belajar banyak dari apa yang saya tulis,” kata Andar dengan penuh harap.

Kini, menginjak usia 78 tahun Andar masih bekerja sebagai konsultan di BPK Gunung Mulia, Kwitang. Setiap hari Selasa dan Jumat, Andar sejak pukul 07.00 hinga 09.00 hadir untuk melanjutkan pelayanannya di kantor tersebut.

Di atas meja tulisnya tergantung salib Taize dengan wajah Kristus yang menunduk menatap ke meja tulis. Pada kaki salib tersebut, terpampang tulisan tangan yang berbunyi:

“Karunia yang Ku berikan kepadamu adalah menulis Seri Selamat untuk menjelaskan yang susah menjadi mudah. Teruslah menulis, jangan kecewa dan putus asa. Teruslah menulis sampai nanti Aku menepuk pundakmu, mengangguk tersenyum padamu dan menjemput kamu.”

Paham betul bahwa hidup ini adalah sebuah kesempatan, Andar melalui penyertaan kasih Tuhan dalam perjalanan hidupnya, mampu menjadi berkat bagi sesama lewat karya-karya yang sudah diabadikan dalam bentuk buku.

Melalui tulisan tersebut, selamanya Andar akan tetap menyentuh dan menguatkan pembaca secara luas, terlepas dari agama apapun yang dianut oleh pembaca. Bangkit dari jerat kemiskinan di masa kecil, kini Andar menjadi perpanjangan tangan Tuhan menyapa jiwa yang rindu sentuhan kasih-Nya. (Shanies Tri Pinasthi, dituliskan kembali dari berbagai sumber)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar