c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

04 Mei 2018

17:37 WIB

Ahmad Hassan, Ulama Kodok Idola Bung Karno

Ahmad Hassan, Ulama Kodok Idola Bung Karno
Ahmad Hassan, Ulama Kodok Idola Bung Karno
Ahmad Hassan. Ist

JAKARTA – Ulama Kodok. Begitulah seseorang mengecap lelaki yang dipanggilnya dengan sebutan Tuan. Cap itu terlontar ketika si Tuan tengah menjadi teman bicara seseorang itu. Dalam perbincangan itu, ada yang menarik dari si Tuan saat ia menganalogikan sesuatu untuk menjawab pertanyaan lawan bicaranya.

“Tuan, sebetulnya menurut hukum Islam itu, apa saja hal yang tidak boleh menyentuh perut kita,” tanya seseorang pada si Tuan.

Tak perlu banyak berkontemplasi, si Tuan pun sigap menjawabnya sambil tersenyum. “Yang diharamkan oleh agama itu sejatinya adalah bangkai, darah, daging babi, dan segala sesuatu yang diperuntukkan selain Allah. Hanya itu yang haram dimakan, lainnya tidak,” jawab si Tuan.

“Kalau kodok bagaimana, Tuan. Haram atau tidak?” seseorang tadi kembali bertanya.

“Tentu saja halal,” jawab si Tuan kembali singkat dan padat.

Mendengar jawaban si Tuan, seseorang tadi mengernyitkan dahinya. Seolah penasaran, seseorang tadi pun meminta penjelasan lebih dalam lagi.

“Apa tidak jijik makan daging kodok, Tuan?” tanya seseorang tadi lagi.

Masih memasang wajah dingin sambil tersenyum, si Tuan pun memaparkan penjelasannya yang lebih konkret. Kata si Tuan, urusan jijik itu adalah urusan seseorang tadi, bukan urusan Tuhan. Menurutnya, jika hanya sekadar jijik saja, ihwal itu tidak pernah mengubah hukum yang ada di dalam Al-Quran. Seekor kodok tidak akan pernah mengubah ucapan Tuhan dalam ‘firman-Nya’.

“Kalau begitu, Tuan pantas disebut ulama kodok,” seseorang tadi kemudian memberikan komentar.

Tidak merasa tersinggung dan seolah tak kalah cerdik dengan seseorang yang menanyakan hal tersebut kepadanya, si Tuan kembali bertanya kepada seseorang itu.

“Kalau kerbau, menurutmu bagaimana? Boleh dimakan tidak?” si Tuan balik bertanya.

Si penanya pun lantang menjawab, “Tentu saja boleh dimakan”.

“Kalau begitu, tuan lebih cocok dipanggil ulama kerbau,” jawab si Tuan kepada penanya tadi sambil tertawa kecil. Begitu pun si penanya, ia juga ikut tertawa dalam perdebatan mereka.

Begitulah gaya si Tuan atau Ahmad Hassan dalam berdebat maupun berdialog dengan seseorang. Balutan humor selalu tercipta ketika siapapun berdialog dengan dia. Tidak ada ketegangan, semuanya pasti terbungkus hangat namun tidak menghilangkan mutu daripada isi bicaranya. 

Suka Berdebat
Merujuk buku Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal (1994) karya Syafiq A Mughni, Ahmad Hassan atau sering disebut Hassan adalah salah satu tokoh utama dalam perkumpulan atau organisasi Persatuan Islam (Persis). Sosok ulama yang satu ini tidak hanya tersohor di Indonesia, akan tetapi juga di negeri tetangga, seperti di Malaysia dan Singapura pada zamannya.

Ulama ini dikenal disiplin, sangat militan, teguh pendirian, dan memiliki kecakapan luar biasa. Pemahamannya dalam bidang ilmu pengetahuan agama, sangat luas dan mendalam.

Hassan lahir pada tahun 1887 di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad Sinna Vappu Maricar yang memiliki gelar Pandit yang berasal dari India dan ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia berdagang di kota tersebut, kemudian menetap di Singapura.

Ahmad adalah seorang pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” di Singapura. Hobinya berdebat, terutama soal bahasa dan agama serta mengadakan tanya jawab dalam surat kabarnya.

Ahmad Hassan merupakan nama yang dipengaruhi oleh budaya Singapura. Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad. Namun karena mengikuti kelaziman budaya Melayu yang meletakkan nama keluarga atau orang tua di depan nama asli Ahmad Hassan sebenarnya Hassan bin Ahmad.

Berdasarkan kelaziman penulisan nama orang di Singapura, yang menuliskan nama orang tua (ayah) di depan, Hassan bin Ahmad kemudian dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan.

Masa kecil A. Hassan dihabiskan di Singapura dengan kedua orang tuanya. Tapi pendidikan dasar formal yang diikutinya di Singapura tidak pernah dituntaskan. Tingkatan pendidikan paling tinggi hanya sempat ditempuh ketika dia belajar di sekolah Melayu. Pun itu hanya sampai kelas empat.

Di sekolah Melayu itulah ia mulai belajar bahasa Arab, Melayu, dan bahasa Inggris. Sekitar usia tujuh tahun ia pun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, belajar Al Quran dan memperdalam agama Islam.

Selama menempuh pendidikan di sekolah tersebut, dia juga sempat masuk di sebuah sekolah dasar milik pemerintahan Inggris di Singapura. Di luar itu, di sela-sela kesibukannya bersekolah dirinya juga belajar bahasa Tamil dari ayahnya.

Haus Ilmu
Sebagaimana biasanya perilaku seorang anak, waktu bermain menjadi waktu yang tak pernah dilewatkan. Tapi Hassan kecil justru memilih menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah.

Saat usianya beranjak 12 tahun ia sudah mencari nafkah dengan bekerja di sebuah toko milik iparnya. Ia bekerja bukan tanpa alasan. Sebab toko tersebut kebanyakan pembelinya adalah orang Arab, dia ingin belajar bahasa Arab secara otodidak.

Sambil bekerja Hassan juga terus memperdalam ilmu agamanya dengan belajar kepada Haji Ahmad di Bukittiung dan pada Muhammad Thaib seorang guru yang terkenal di Minto Road. Pelajaran yang diterima Hassan pada saat itu sama saja dengan apa yang diterima oleh anak-anak lainnya, seperti tata cara salat, wudhu, puasa dan lain-lain.

Hassan lebih banyak mempelajari ilmu nahu dan shorof pada Muhammad Thalib. Sebagai orang yang keras kemauannya dalam belajar nahu dan shorof, ia pun tidak sungkan jika harus datang dini hari sebelum salat subuh. 

Setelah kira-kira empat bulan belajar nawu dan shorof, ia merasakan bahwa pelajarannya tidak mendapat kemajuan, karena apa yang diperintahkan oleh gurunya hanyalah untuk dihafal, dikerjakan tanpa dapat dimengerti, sehingga akhirnya semangat belajarnya mulai menurun. Makanya, saat gurunya pergi menunaikan ibadah haji, ia beralih mempelajari bahasa Arab dari Said Abdullah Al-Musawi selama tiga tahun.

Di samping itu, ia pun belajar pada Abdul Latif, seorang ulama yang terkenal di Malaka dan Singapura. Kemudian belajar pula pada Syekh Hassan seorang ulama yang berasal dari Malabar dan Syekh Ibrahim seorang ulama yang berasal dari India. Pelajaran agama Islam dari beberapa guru tersebut semuanya ditempuh sampai kira-kira tahun 1910, menjelang ia dewasa yakni berusia 23 tahun.

Selain belajar memperdalam agama Islam, dari tahun 1910 hingga tahun 1921, A. Hassan melakukan berbagai macam pekerjaan di Singapura. Sejak tahun 1910, dia telah menjadi seorang guru tidak tetap di madrasah orang-orang India di Arab street dan Baghdad street serta Geylang Singapura hingga tahun 1913.

Dia juga menjadi guru tetap menggantikan Fadlullah Suhaimi pada Madrasah Assegaf di jalan Sultan.

Ahmad Hassan (kiri duduk). Ist

Juru Tulis
Sekitar tahun 1912-1913, A. Hassan menjadi anggota redaksi koran Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press dibawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah khan. Ia banyak menulis artikel tentang agama Islam yang bersifat nasihat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan yang sering diketengahkannya dalam bentuk syair.

Herry Mohammad dalam bukunya berjudul Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (2006) menyebut, tulisan-tulisan A. Hassan banyak pula menyoroti masalah akidah dan ibadah. Kadang-kadang tulisannya bersifat mengkritik hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, misalnya tulisan yang mengecam qadli (hakim) yang memeriksa suatu perkara dengan cara mengumpulkan tempat duduk pria dan wanita dalam satu ruangan.

Pidato-pidatonya pun kadang-kadang bersifat kritis. Pernah ketika berpidato ia mengecam kemunduran umat Islam sehingga oleh pihak pemerintah ia dianggap berpolitik dalam pidatonya itu. Sebagai dampak dari sikap kritisnya itu, ia tidak diperkenankan lagi berpidato di muka umum.

Setelah berhenti beberapa saat, sejak tahun 1915-1916, ia kembali aktif membentuk surat kabar utusan Melayu dengan bentuk dan sifat tulisan yang sama. Dalam kariernya sebagai pengarang di Singapura, ia pernah membuat cerita humor yang berjudul “tertawa” sebanyak empat jilid.

Selain itu, ia pun tidak segan-segan bekerja menjadi buruh toko, berdagang tekstil, permata, minyak wangi, menjadi agen distribusi es, agen vulkanisir ban mobil, bahkan pernah juga menjadi juru tulis di kantor jama Haji di Jeddah pilgrrims office Singapura. Dia juga sempat menjadi guru bahasa Melayu dan bahasa Inggris di Pontian kecil, Sanglang, Benut dan Johor.

Namun suratan takdir Ahmad Hassan rupanya tidak hanya bermukim di Singapura. Pada tahun 1921, A. Hassan hijrah dari Singapura ke Surabaya dengan maksud untuk mengambil alih pimpinan toko tekstil milik pamannya, Haji Abdul Latif.

Pada masa itu Surabaya menjadi tempat pertikaian antara “kaum muda” dengan “kaum tua”. Kaum muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pendatang yang menaruh perhatian dalam masalah-masalah keagamaan. Ia memimpin kaum muda dalam upaya melakukan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Surabaya dengan cara tukar pikiran, tablig dan diskusi-diskusi keagamaan.

Kaum muda di Surabaya ini mendapat pengaruh pembaharuan Islam dari karangan-karangan Abdullah Ahmad, Abdull Karim Amarullah dan Zainudin Labay dari Sumatera serta Ahmad Soorkati dari Jawa.

Haji Abdul Latif, paman A. Hassan yang juga gurunya pada masa kecil, mengingatkan A. Hassan agar tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim. Alasannya, Faqih Hasyim telah membawa masalah-masalah pertikaian agama di Surabaya, dan dianggap pula oleh pamannya sebagai seorang Wahhabi.

Tapi peringatan pamannya itu tak lantas ditelan bulat-bulat oleh A. Hassan. Dalam suatu kunjungannya dengan Kiai Haji Abdul Wahab, yang di kemudian hari menjadi seorang tokoh Nahdlatul Ulama, A. Hassan lebih banyak mendengar tentang pertikaian antara kaum muda dengan kaum tua.

Dalam percakapannya ini, Kiai Wahab mengambil salah satu contoh pertentangan dalam masalah ushali yang dipraktikan oleh kaum tua sebelum melakukan ibadah salat dengan bersuara, tetapi kaum muda menolak praktik ushali ini karena tidak ada dasarnya dari Alquran maupun Hadis Nabi.

Kaum muda berpendapat bahwa agama, agar dapat dikatakan agama, hendaklah didasarkan atas dasar Alquran dan Hadis shahih. Oleh karena, ushali merupakan suatu hal baru yang diintrodusir oleh ulama yang datang kemudian dan tidak terdapat dalam kedua sumber hukum tersebut, maka kaum muda menolaknya dan dianggap tidak tepat dibacakan pada saat sebelum shalat.

Masalah yang ditemukan A. Hassan dalam pembicaraannya dengan Kiai Wahab, menyebabkan ia berfikir lebih jauh tentang masalah tersebut. Lambat laun ia sampai pada kesimpulan yang benar yang didasarkan pada penelitiannya terhadap Alquran dan Hadis shahih bahwa kaum mudalah yang benar.

Dia tidak menemukan suatu dalil pun yang mendukung terhadap praktik ushali kaum tua tersebut.

Melihat persoalan yang muncul ke permukaan, terutama masalah gerakan pembaharuan Islam yang sedang ramai serta pertentangan dengan kaum tua dengan kaum muda yang terus berlanjut di Surabaya, A. Hassan lebih banyak lagi mencurahkan perhatiannya untuk memperdalam agama Islam.

Pada akhirnya, A.Hassan tak lagi dapat fokus dagang. Sebab ia lebih menikmati waktu untuk bergaul dengan Faqih Hasyim dan kaum muda lainya.

Dalam kesempatan yang lain ia pun banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam seperti H.O.S Tjokroaminoto, A.M. Sangadji, Bakri Suroatmodjo, Wondoamiseno dan lain-lain.

Karena usaha dagangnya mengalami kemunduran, toko itu diserahkan kembali kepada pamannya. Ia mulai usaha lain dengan membuka perusahaan tambal ban, tetapi tidak lama kemudian tutup kembali.

Melihat usaha A. Hassan tidak mengalami kemajuan yang berarti, dua orang sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin, mengirim A. Hassan untuk mempelajari pertenunan di Kediri. Di Surabaya, saat itu, banyak para pedagang yang akan membuka perusahaan tenun.

Selesai belajar pertenunan di Kediri, A. Hassan kemudian melanjutkan pelajarannya ke sekolah pertenunan pemerintah di kota Bandung.

Di Bandung inilah A. Hassan tinggal pada keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri organisasi Persatuan Islam (Persis). Dengan demikian A. Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan dan pengkajian Islam dalam organisasi Persis, sebagaimana pula ia sangat tertarik dalam masalah-masalah keagamaan.

Sampai akhirnya dia tidak lagi berminat mendirikan perusahaan tenunnya di Surabaya, tetapi di Bandung. Sayang usahanya hanya seumur jagung. Sejak itulah minatnya untuk berusaha tidak ada lagi, malahan kemudian ia mengabdikan dirinya dalam penelaahan dan pengkajian Islam dan berkiprah dalam jam’iah Persis.

Hasan juga banyak melahirkan tokoh besar di Indonesia. Di antaranya, Mohammad Natsir, K.H. M. Isa Anshory, K.H. E. Abdurrahman, dan K.H. Rusyad Nurdin.

Ia juga memberikan andil besar terhadap pemikiran Keislaman Presiden Soekarno. Bung Karno suka meminta buku dan majalah karya A. Hasan saat menjalani masa pembuangan oleh penjajah Belanda di Ende, Flores. Surat-surat Bung Karno kepada A. Hasan menjadi saksi akan kedekatan keduanya.

Pada hari Senin tepatnya tanggal 10 November 1958 di Rumah Sakit Karangmenjangan (Rumah sakit Dr. Soetomo) Surabaya, A. Hassan berpulang ke Rahmatullah dalam usia 71 tahun.

Ulama besar yang juga dikenal dengan sapaan Hassan Bandung (ketika masih di Bandung) atau Hassan Bangil (sejak bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru dalam gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia. Dia memiliki ketegasan, keberanian, dan kegigihan dalam menegakkan Alquran dan As-Sunnah, meski kadang disampaikan dengan pemikiran yang radikal. (Fuad Rizky)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar