c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

09 September 2019

19:04 WIB

Abdul Muis, Sastrawan Anti-Diskiriminasi

Abdul Muis, Sastrawan Anti-Diskiriminasi
Abdul Muis, Sastrawan Anti-Diskiriminasi
Abdul Muis. Ist/dok

JAKARTA – Kehadiran novel romansa berjudul Salah Asuhan pada 1928 mencatatkan sejarah penting bagi kesusastraan Indonesia. Abdul Muis, sang penulis, dinilai telah melahirkan gaya baru bagi penulisan prosa.

Ya, ketika para pengarang masih membicarakan tema lama seputar adat dan kawin paksa, ia justru memperkenalkan kisah konflik pribadi menyangkut cinta, dendam, dan cita-cita. Karena dialah kisah cinta tragis antara pemuda Minang bernama Hanafi dan gadis Belanda bernama Corrie tersebar ke seluruh negeri.

Dalam perjalanannya, buku itu berkali-kali dicetak ulang bahkan sempat menjadi bacaan wajib bagi pelajar sekolah dan mahasiswa sastra. Salah Asuhan juga tak hanya terkenal di Indonesia, tapi juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Rusia dan Bahasa Cina.

Mirza Nur B dalam bukunya berjudul Abdul Moeis: Politikus, Jurnalis dan Sastrawan menyebut, tokoh Hanafi dalam kisah tersebut adalah penjelmaan dari sosok Abdul Muis itu sendiri. Lebih tepatnya merupakan pengalaman si penulis saat remaja, ketika jatuh cinta dengan seorang gadis Belanda.

Kisah cinta itu harus kandas di tengah jalan karena perbedaan adat dan kebiasaan. Orang tua gadis itu tidak mengizinkan puterinya menikah dengan seorang pemuda dari bangsa jajahan, seseorang yang kulitnya saja tak putih.

Kisah cinta dua sejoli itu kabarnya lebih tragis dari yang dikisahkan dalam novel. Dalam naskah asli yang ditulis Abdul Muis, nasib Corrie si gadis Belanda ternyata lebih tragis. Ia bukan meninggal karena sakit, tapi bunuh diri setelah menjadi pelacur akibat kegagalan cintanya.

Balai Pustaka selaku penerbit kabarnya mengubah bagian akhir dari cerita tersebut untuk menjaga nama baik Bangsa Belanda.

Kritik Kolonialisme
Hal lain yang menarik, novel ini tak sekadar ekspresi atas kisah cinta pribadi. Lebih dari itu, Abdul Muis disebut-sebut menulisnya sebagai wujud perlawanan terhadap praktik kolonialisme.

Dalam buku berjudul Pemahaman Salah Asuhan yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1985, Abdul Muis menyiratkan kritik dengan menggambarkan tokoh Hanafi sebagai pemuda yang kebarat-baratan.

Tokoh Hanafi menganggap orang Belanda lebih berharga daripada inlander. Ia bahkan turut memandang rendah ibu dan isterinya yang merupakan orang Indonesia asli. Kondisi tersebut, menurutnya, adalah akibat negatif dari pendidikan kolonial dan praktik buruk kolonialisme terhadap Bangsa Indonesia.

Penokohan terhadap Hanafi mencerminkan realitas Bangsa Indonesia yang dididik untuk menjadi boneka bagi bangsa penjajah itu. Seringkali mereka justru tak sadar akan hal tersebut. Pada zaman itu, tak sedikit orang Indonesia yang merasa bangga akan sisi kebarat-baratannya. Ironisnya, ia sebenarnya tak juga diakui oleh orang-orang Belanda sendiri.

Abdul Muis pun menentang keras pendidikan bagi anak-anak Indonesia yang semata-mata diarahkan untuk menjadi pengikut Belanda. Anak Indonesia di matanya malah akan kian jauh dari tujuan akan adanya persamaan hak dengan warga negara Belanda. Mereka juga akan selalu dijauhi oleh orang-orang Belanda itu.

Pandangan itu sejatinya tak diperoleh Abdul Muis dari pengalaman percintaannya dengan gadis Belanda. Jauh sebelum itu, lelaki kelahiran 3 Juni 1883 itu kerap mengalami diskriminasi sepanjang hidupnya.

Seperti ketika bersekolah di Stovia untuk mengejar cita-cita menjadi dokter, Abdul Muis merasa gerah dengan aturan yang mewajibkan pelajar pribumi untuk berpakaian tradisional. Kala itu, pakaian ala barat semisal celana dan kemeja, hanya boleh digunakan oleh pelajar Eropa atau pribumi yang beragama Kristen.

Karena diskriminasi itu, ia memilih mundur dari Stovia di tahun ketiga. Keputusannya makin bulat setelah menyadari dirinya merasa takut saat melihat darah.

Selepas dari Stovia, Abdul Muis mendapat pekerjaan sebagai juru tulis (klerk) di Departemen Pendidikan dan Agama. Hal ini cukup istimewa mengingat pada masa itu belum pernah ada seorang klerk orang Indonesia asli.

Ia sendiri bisa memperoleh posisi tersebut lantaran mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sejenis sekolah dasar berbahasa Belanda. Abdul Muis bisa memasuki sekolah tersebut berkat ayahnya, Tuanku Laras Sungaipuar, Kepala Adat yang juga orang kaya pemilik perusahaan korek api yang cukup besar.

Walaupun bisa mengasah keahlian berbahasa Belanda hingga fasih, Abdul Muis lagi-lagi merasakan pahitnya diskriminasi. Upahnya sebagai juru tulis, jauh lebih rendah dibanding kolega Eropanya yang berada di jabatan yang sama. Dia pun memilih keluar dari pekerjaan itu.

Sesudah itu, Abdul Muis bekerja sebagai wartawan untuk surat kabar berbahasa Belanda bernama Preanger Bode yang bertempat di Kota Bandung. Ia merasakan ketertarikan terhadap dunia jurnalisme seiring dengan kegemaraannya menulis karangan.

Kala menjadi wartawan itulah, hasratnya melontarkan perlawanan terhadap praktik kolonialisme membuncah. Terlebih di sana dirinya kerap membaca karangan orang Belanda yang menghina dan Bangsa Indonesia.

Dia mencoba menjawab hinaan tersebut dengan membuat tulisan-tulisan berisi pembelaan terhadap bangsanya. Namun karena atasannya menolak memuat tulisan tersebut, ia pun kembali memutuskan untuk angkat kaki.

Abdul Muis kemudian merapat pada surat kabar Kaum Muda sebagai pimpinan redaksi. Pimpinan surat kabar itu terkesan dengan tulisan-tulisan Abdul Muis yang sebelumnya kerap ia kirimkan ke surat kabar De Express yang dipelopori oleh kaum nasionalis.

Di Kaum Muda, ia bahkan memiliki pojok sendiri bertajuk Keok yang diisinya dengan tulisan humor ringan penuh sindiran terhadap Belanda dan kelompok pro penjajah.

Piawai Berdebat
Sepak terjangnya sebagai wartawan ini membuka jalannya mengenal dunia politik. Di awal periode 1900-an, ia menjadi anggota partai politik terbesar, Sarekat Islam. Berkat kepiawaiannya berdebat, tak butuh waktu lama baginya diangkat menjadi pengurus Sarekat Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua untuk daerah Jawa Barat.

Di samping anggota Sarekat Islam, pada kurun waktu yang sama Abdul Muis juga menjadi anggota Indische Partij. Keikutsertaannya ini menyusul perkenalannya dengan pimpinan partai ini, seperti Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat yang notabene adalah pimpinan surat kabar De Express.

Sejalan dengan sepak terjangnya di dunia politik yang kian berkembang, sosoknya pun menjelma sebagai tokoh pemimpin rakyat. Ia pun sering berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia. Pulau Jawa, Sumatra Barat, Toli-Toli hingga Bone pun disambanginya untuk mengobarkan semangat rakyat merebut kemerdekaan.

Kegiatan Abdul Muis itu dianggap Pemerintah Belanda sudah sangat berbahaya. Tak jarang, aktivitasnya membawa dampak besar bagi situasi di daerah.

Sebut saja peristiwa kerusuhan di Toli-Toli yang menyebabkan seorang pembesar Belanda dibunuh oleh rakyat karena terlalu kejam. Dirinya dituduh menghasut warga untuk melakukan pembunuhan itu.

Begitu pula dengan gerakan penduduk di Sumatra Barat yang menolak penerapan pajak yang terlampau tinggi. Akibat mendorong pergerakan itu, Abdul Muis sampai dilarang untuk berkunjung lagi ke daerah tempat ia dilahirkannya itu.

Demikian pula ia memimpin peristiwa pemogokan kaum buruh Pegadaian di Yogyakarta pada 1922 yang dipicu penghinaan seorang pegawai Belanda terhadap pegawai Indonesia. Peristiwa itu berakibat pemecatan terhadap tiga ribu buruh yang terlibat. Sementara Abdul Muis dan rekan-rekannya diburu dan diadili.

Tepatnya pada 1926, Pemerintah Belanda melarang Abdul Muis mengikuti kegiatan politik. Ia pun dijatuhi hukuman, dibuang di Desa Cicangtu, Wanaraja, Garut, Jawa Barat. Bagi seorang politikus seperti dirinya, hidup dalam pengasingan merupakan siksaan berat.

Abdul Muis mengetahui perjuangan merintis kemerdekaan kian ditekan Pemerintah Belanda. Mereka menangkap dan membuang para pemimpin rakyat. Dalam kondisi itu, tak banyak hal yang bisa ia lakukan untuk membantu perjuangan, mengingat mata-mata Belanda selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.

Seiring waktu berjalan, masa pengasingannya di Desa Cicangtu justru menjadi momentum menumbuhkan kembali minatnya dalam mengarang. Kegiatan mengarang semacam menjadi pelipur lara dari sesaknya hidup di pengasingan. Lokasi yang sepi, pemandangan alam indah, dan udara yang sejuk sangat mendukung aktivitas menulisnya.

Refleksi Masa Kecil
Pada masa ini, Abdul Muis mulai mengembangkan ide karangan yang tak bersifat politik. Abdul Muis justru mulai merefleksikan kembali masa kecil dengan keluarga dan kawan-kawan di kampung halaman. Termasuk juga pengalaman kisah cintanya di masa lalu yang melahirkan novel laris, Salah Asuhan.

Minat Abdul Muis mengarang buku semakin menanjak karena buku tersebut sangat digemari masyarakat. Ide ceritanya pun tak hanya seputar adat berbalut kisah cinta, tetapi ia juga merambah tema-tema lain seperti komedi, roman sejarah, dan pengetahuan populer. Sebut saja buku karyanya berjudul Surapati yang dirilis pada 1950 dan Robert Anak Suropati pada 1953.

Selain itu, ia juga aktif menerjemahkan beberapa buku asing ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa di antaranya seperti Sebarang Kara karangan Hector Malot dari Perancis, Tom Sawyer Anak Amerika karangan Mark Twain dari Amerika Serikat, Don Kisot karangan Cervantes asal Spanyol, dan Pangeran Komel karangan pengarang Sunda Memed Sastrahadiprawira.

Abdul Muis tetap aktif menulis untuk mengisi waktu dan menambah pendapatan seiring bertambah usia. Di usia senja itu, ia sempat pindah ke Jakarta untuk mencoba peruntungan, meski akhirnya kembali lagi ke Bandung.

Seusai perang kemerdekaan, ia pun pernah ditawari untuk bekerja di bidang pemerintahan. Namun, tawaran tersebut ditolaknya karena kondisi fisik yang kian lemah. Abdul Muis khawatir tak bisa bekerja maksimal karena penyakit jantung dan tekanan darah tinggi yang sering menyerangnya.

Semangat Abdul Muis untuk terus mengarang pun akhirnya harus menyerah pada penyakitnya itu. Pada 17 Juni 1959, berita duka mengabarkan ia meninggal dunia dalam usia 76 tahun di Bandung, setelah mendapat serangan darah tinggi.

Abdul Muis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra, Bandung. Dua bulan setelahnya, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai pahlawan nasional. (Monica Balqis)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar