c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

08 Maret 2023

14:38 WIB

Yellen: Kerugian Perubahan Iklim Naik Lima Kali Lipat

Nilai kerugian akibat bencana yang dipicu perubahan iklim pada 2022, 2017 dan 2011, mencapai angka tertinggi. Bagaimana dengan Indonesia?

Editor: Fin Harini

Yellen: Kerugian Perubahan Iklim Naik Lima Kali Lipat
Yellen: Kerugian Perubahan Iklim Naik Lima Kali Lipat
Ilustrasi kerugian akibat perubahan iklim. Foto udara bencana tanah longsor di Kecamatan Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (7/3 /2023). Antaa Foto/Kiky Firdaus

WASHINGTON - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen memperingatkan dampak ekonomi dan keuangan dari perubahan iklim telah meningkat hingga lima kali lipat, ditilik dari kerugian akibat bencana, selama lima tahun terakhir dibandingkan pada 1980-an.

Dia menilai, perubahan iklim dapat memicu kerugian nilai aset pada tahun-tahun mendatang, yang dapat mengalir melalui sistem keuangan AS.

Hal tersebut disampaikan Yellen di depan dewan penasihat baru yang terdiri dari akademisi, pakar sektor swasta, dan nirlaba, Selasa atau Rabu WIB (8/3), dilansir dari Antara.

"Ketika perubahan iklim meningkat, bencana alam dan suhu yang memanas dapat menyebabkan penurunan nilai aset yang dapat mengalir melalui sistem keuangan. Dan transisi yang tertunda dan tidak teratur ke ekonomi nol bersih dapat menyebabkan guncangan pada sistem keuangan juga," katanya dalam sambutan yang disiapkan untuk disampaikan pada pertemuan pertama dewan penasihat.

Dia mengatakan, badai hebat dan kebakaran hutan di negara bagian, seperti California, Florida, dan Louisiana, tornado di Selatan dan badai yang meningkat di Pantai Barat menunjukkan bagaimana percepatan perubahan iklim.

Baca Juga: Menkeu: Dana Bersama Bencana Telah Terkumpul Rp7,4 Triliun

Pemerintah AS pada Januari melaporkan bahwa tahun 2022, 2017 dan 2011, nilai kerugian akibat bencana mencapai angka tertinggi, dengan total kerugian setidaknya US$165 miliar.

Lalu, terdapat 18 bencana cuaca dan iklim yang masing-masing menelan kerugian setidaknya US$1 miliar dalam setahun. Termasuk dua tornado di selatan dan tenggara pada Maret dan April, dan kebakaran hutan besar-besaran di barat.

Peristiwa terkait iklim, sebutnya, telah mendorong perusahaan-perusahaan asuransi untuk menaikkan tarif atau berhenti memberikan asuransi di daerah berisiko tinggi, yang dapat menimbulkan konsekuensi buruk bagi pemilik rumah dan nilai properti mereka. Itu pada gilirannya dapat menyebar ke bagian lain dari sistem keuangan, katanya.

Yellen mengatakan, Komite Penasihat Risiko Keuangan Terkait Iklim baru (CFRAC), yang dibentuk Oktober lalu oleh Dewan Pengawas Stabilitas Keuangan (FSOC), akan meningkatkan upaya AS untuk mengurangi risiko perubahan iklim terhadap stabilitas keuangan.

“CFRAC adalah indikasi yang jelas tentang keseriusan regulator AS mengatasi ancaman peningkatan risiko terkait iklim dalam sistem keuangan,” kata John Morton, mantan konselor iklim Yellen yang bergabung kembali dengan Pollination, sebuah perusahaan investasi perubahan iklim, pada Januari.

Dia menambahkan, dengan berbagai ahli yang dimiliki, dewan akan memberi saran kepada FSOC dalam mengatasi risiko yang muncul terhadap stabilitas sistem keuangan AS dari perubahan iklim.

Pertemuan tersebut dilakukan di tengah banyaknya peraturan baru tentang manajemen risiko terkait iklim yang dikeluarkan oleh Kantor Pengawas Mata Uang (OCC), Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) dan Federal Reserve, setelah panel peraturan teratas AS FSOC pertama kali mengidentifikasi perubahan iklim sebagai "ancaman yang muncul" terhadap stabilitas keuangan AS pada Oktober 2021.

Kantor Asuransi Federal juga telah mengeluarkan proposal untuk mengumpulkan data dari perusahaan asuransi untuk menilai risiko iklim. 

Sementara, Bank Sentral AS Federal Reserve pada Januari mengatakan akan melakukan analisis skenario percontohan iklim untuk mempelajari praktik manajemen risiko iklim bank.

Pada April mendatang, Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) akan merilis aturan baru tentang pengungkapan informasi emiten terkait iklim perusahaan.

Tetapi pemerintahan Biden menghadapi tantangan berat dari Partai Republik, yang mengatakan lembaga tersebut telah menulis aturan di luar proses hukum. Para pemimpin Republik ingin menggunakan kontrol mereka terhadap DPR AS untuk membatasi pengawasan administratif terhadap peraturan iklim dan masalah lainnya.

Kerugian Akibat Perubahan Iklim di Indonesia
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menyebutkan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat adanya perubahan iklim, jika tidak ada intervensi kebijakan, mencapai Rp544 triliun sepanjang 2020 sampai 2024.

“Kita lihat potensi hazard yang ada dan setelah dihitung dan dievaluasi potensi kerugian ekonominya mencapai Rp544 triliun,” katanya dalam Media Briefing: Measuring The Progress of Low Carbon and Green Economy di Jakarta, Selasa (9/8/2022).

Medril menuturkan potensi kerugian ekonomi Indonesia tersebut meliputi empat sektor, yaitu pesisir dan laut Rp408 triliun, air Rp26 triliun, pertanian Rp78 triliun dan kesehatan Rp31 triliun.

Di Indonesia, kejadian bencana hidrometeorologi mendominasi. Pada 2021, dari total 5.402 kejadian bencana alam, sebanyak 98% sampai 99% di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi.

Lalu di tahun berikutnya, dari Januari-25 Desember 2022, dari 3.461 kejadian bencana, sebanyak 91,12% merupakan bencana hidrometeorologi. Rinciannya, banjir sebanyak 1,493 kejadian, 1.033 cuaca ekstrem, dan 628 tanah longsor.

Baca Juga: Jokowi Sebut Ketakutan Dunia Bukan Lagi Perang

Menurut Medril, perubahan iklim ini harus segera diatasi melalui berbagai kebijakan ketahanan iklim yang dinilai akan mampu menghindari potensi kerugian sebesar Rp281,9 triliun hingga 2024.

Terlebih lagi, baik Indonesia maupun global saat ini memiliki triple planetary crisis yaitu perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati yang akan mengancam masa depan bumi dan manusia.

Berdasarkan data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 2022, krisis perubahan iklim mengancam sekitar 50% sampai 75% dari populasi global pada tahun 2.100.

Kemudian berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2022, polusi udara dinobatkan sebagai penyebab penyakit dan kematian dini terbesar di dunia hingga terdapat 4,2 juta kematian setiap tahun.

Sementara, berdasarkan Platform Kebijakan-Sains Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem (IPBES) 2019, hilangnya keanekaragaman hayati dapat mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem.

Saat ini terdapat sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan yang menghadapi ancaman kepunahan. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar