26 Agustus 2021
16:35 WIB
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 disebut telah melalui beberapa penyesuaian. Penyesuaian dilakukan karena merebaknya varian delta virus covid-19.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, setidaknya, refocusing APBN 2021 telah dilakukan sebanyak empat kali.
“Bahwa di tahun 2021 ini APBN itu telah empat kali melakukan refocusing,” katanya dalam Sarasehan 100 Ekonom, Jakarta, Kamis (27/8).
Ia menjelaskan, proses refocusing telah menyetel ulang belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).
Pada refocusing APBN 2021 yang kedua, ia mengungkapkan berhasil menghemat belanja belasan triliun dari membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) ASN, TNI, dan Polri dengan tanpa tunjangan kinerja (tukin).
Kemudian, refocusing anggaran juga membuat belanja program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi meningkat.
Program PEN yang tadinya hanya dianggarkan Rp553,1 triliun dinaikkan menjadi Rp699,43 triliun dan naik kembali hingga akhirnya menjadi Rp744,75 triliun.
“Ketika varian delta naik, kita naikkan belanja pen belanja pemulihan ekonomi nasional yang tadinya kita perkirakan sebenarnya di awal tahun itu lebih rendah tapi kemudian kita adjust ke Rp699 triliun lalu kita adjust lagi Rp744 triliun,” terangnya.
Suahasil menjelaskan, tambahan anggaran untuk program PEN tersebut tentunya didapatkan dari refocusing anggaran yang terus menerus. “Dari mana uangnya, dari refocusing lagi refocusing nya kita lakukan terus menerus,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menurutkan, kebijakan fiskal yang disusun pemerintah memang diarahkan untuk memenuhi tiga sifat.
Pertama, kebijakan fiskal disusun agar bisa antisipatif alias juga bisa melihat sekaligus menghadapi keadaan di masa yang akan datang. Kedua, kebijakan fiskal harus responsif yakni respon terhadap apa yang sudah terjadi. Dan yang ketiga kebijakan fiskal harus fleksibel sehingga bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian jika diperlukan.
“Di dalam konteks yang seperti ini kita lihat perubahan-perubahan ini sebagai bentuk antisipatif, responsif, dan fleksibilitas dari kebijakan fiskal,” ujar Suahasil.
Tak Bisa Terus Jadi Bantalan
Lebih lanjut, Suahasil mengatakan APBN tidak bisa terus menjadi bantalan perekonomian nasional.
Setelah pandemi covid-19 berhasil tertangani, konsumsi masyarakat, investasi, dan net ekspor juga diharapkan dapat kembali tumbuh tinggi. Selanjutnya belanja negara yang selama pandemi digunakan sebagai bantalan ekonomi akan dikonsolidasi untuk menurunkan defisit anggaran secara bertahap.
“Secara sederhana, kita menurunkan defisit, tahun lalu defisit kita 6,1% dari PDB (Produk Domestik Bruto), tahun ini 5,7%, dan tahun depan sedang kita bicarakan dengan DPR, kita harap bisa 4,8%,” katanya.
Pada tahun 2023 mendatang, defisit APBN pun diharapkan kembali ke bawah 3% dari PDB. Untuk itu, pemerintah sedang mencari cara meningkatkan pendapatan, terutama dari perpajakan yang menjadi penyumbang terbesar pemasukan negara, tanpa memberatkan masyarakat.
Pasalnya selama ini pajak telah digunakan tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara tapi juga membantu perekonomian masyarakat melalui berbagai insentif .
“Sekarang, logika kita pajak adalah instrumen menangani perekonomian. DJP (Direktorat Jenderal Pajak) tidak alergi lagi bertanya sektor usaha apa yang masih membutuhkan insentif pajak,” ucap Suahasil.
Selain itu, Suahasil mengatakan untuk mencapai target defisit di bawah 3% pada 2023, pemerintah juga akan menyalurkan belanja negara dengan lebih efisien tanpa mengurangi sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Menata ini dalam pengelolaan fiskal jangka menengah menjadi sangat penting,” ujarnya.