c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

05 April 2025

18:00 WIB

Utak-Atik Taktik Bus Pariwisata Hadapi Larangan Karyawisata

Lanskap bisnis perusahaan otobus pariwisata berpotensi berubah ketika pemerintah mengetatkan regulasi hingga melarang kegiatan study tour alias karyawisata.

<p id="isPasted">Utak-Atik Taktik Bus Pariwisata Hadapi Larangan Karyawisata</p>
<p id="isPasted">Utak-Atik Taktik Bus Pariwisata Hadapi Larangan Karyawisata</p>

Ilustrasi pelajar sekolah mengikuti study tour. Shutterstock/moaarif

JAKARTA - Belakangan ini, pemerintah pusat maupun pemda, gencar memberlakukan pengetatan hingga melarang penyelenggaraan kegiatan study tour alias karyawisata.

Bukan tanpa sebab. Berita sedih kerap muncul lantaran berbagai kecelakaan yang merenggut nyawa siswa peserta karyawisata. Semisal pada 2024, terjadi beberapa kecelakaan yang melibatkan rombongan study tour

Salah satunya, kecelakaan maut yang menimpa bus rombongan study tour SMK Lingga Kencana Depok (11/5/2024) di Subang, Jawa Barat. Kasus ini menelan korban 11 orang pelajar dan guru meninggal dunia, serta lainnya mengalami luka-luka.

Kemudian, kecelakaan tabrakan antara bus berisi rombongan siswa SMP PGRI 1 Wonosari, Malang, Jawa Timur, dengan truk di ruas Tol Jombang-Mojokerto (21/5/2024). Diduga, sopir bus mengalami microsleep, dan kecelakaan ini mengakibatkan 2 penumpang tewas dan lainnya luka-luka. 

Ada beberapa peristiwa serupa yang menggugah pembuat kebijakan untuk mengeluarkan larangan study tour atau karyawisata. Ada lagi hal lain menjadi pemicu. Karyawisata terstigma menjadi ajang jalan-jalan saja ketimbang betul-betul menjadi agenda pembelajaran. 

Sayangnya, larangan untuk menghindarkan karyawisata menjadi beban orang tua siswa, atau mencegah jatuhnya korban, justru memicu munculnya korban yang lain. Perubahan regulasi itu diprediksi bakal mengubah lanskap bisnis pelaku usaha terkait kegiatan karyawisata. Tidak terkecuali, jajaran Pengusaha Otobus (PO) pariwisata di Indonesia.

Salah satu pemain otobus, Direktur PO PT Handoyo Magelang, Priyono memproyeksikan, pihaknya bisa kehilangan omzet besar apabila pemerintah menerapkan larangan study tour secara nasional. Menurutnya, itu cukup mencekik bisnis PO, terutama PO Pariwisata.

"Untuk PO Pariwisata dengan adanya peraturan sekarang semakin sulit, (dampaknya) ya omzet menurun. Misalnya, biasa ada jatah Sabtu dan Minggu berangkat, jadi belum tentu berangkat," ungkapnya kepada Validnews, Rabu (2/4).

Priyono membeberkan, sudah banyak perusahaan otobus pariwisata yang mengeluhkan kebijakan pengetatan dan larangan study tour. Sederhananya, jika study tour dilarang, pemesanan unit bus pariwisata bakal turun. Bagi PO yang hanya bertumpu pada jenis layanan bus pariwisata, tentu itu akan menggerus pendapatan dan bisnis secara keseluruhan.

Jika pemesanan bus pariwisata turun, maka perusahaan akan mengurangi jumlah armada beserta tenaga kerjanya, seperti sopir dan kernet. Ditambah lagi, bus pariwisata hanya sedikit yang mengaspal.

Ini berarti rombongan anak sekolah yang notabene konsumen, yang biasanya membelanjakan uang untuk UMKM atau wisata lokal, jadi berkurang.

"Apakah mengambil suatu kebijakan, suatu keputusan, juga tidak mempunyai pertimbangan bahwa objek-objek pariwisata itu banyak UMKM dan lain-lain? Apakah tidak dipertimbangkan dari aturan ini? Jadi yang kena dampak bukan dari angkutan saja," tukas  Priyono.

Priyono menilai, dampak rambatan larangan bisa mengganggu usaha UMKM hingga perputaran ekonomi di daerah tujuan karyawisata. Ia pun menilai kebijakan baru ini cukup kontradiktif dengan kampanye pemerintah yang tengah mendongkrak UMKM. 

"Yang sekarang digalakkan katanya UMKM, tapi ada aturan seperti ini. Kalau bis pariwisata nggak jalan, UMKM di daerah siapa yang mau beli karena nggak ada yang bawa penumpang ke situ," tutur Priyono.

Anjlok Hingga 50%-70%
Ketua Asosiasi Pengusaha Bus Pariwisata Jawa Tengah, Muhammad Abdul Wahid membenarkan, kebijakan baru tersebut memengaruhi bisnis PO, khususnya PO pariwisata. Namun, dia tidak menyebutkan perusahaan mana saja yang mengeluhkan soal pengetatan karyawisata.

"Banyak juga operator yang terdampak, karena memang pekerjaan mereka adalah spesialisasi study tour," ujarnya kepada Validnews, Kamis (3/4).

Wahid menambahkan, beberapa pemda tidak melarang study tour. Yang dilakukan adalah pengetatan perizinan terhadap sekolah yang mau menggelar kegiatan tersebut. Meski demikian, aturan baru itu justru menyurutkan minat pihak sekolah untuk menggelar event belajar sembari berwisata itu. Ketika mengurus perizinan lebih ribet ketimbang biasanya, orang cenderung berpikir lebih baik tidak berangkat sekalian.

"Bukan enggak boleh sama sekali (study tour), tapi syaratnya makin banyak. Cuma yang namanya kepala sekolah daripada ambil risiko, mendingan tidak ada study tour sama sekali," ucap Wahid.

Di sisi lain, pelaku usaha secara gamblang menyampaikan, omzet pengusaha bus pariwisata berpotensi tergerus akibat pelarangan ataupun pengetatan study tour. Bahkan, bisa anjlok sekitar 50%-70%.

Pelaku usaha yang sama, Vice Manager Bus Pariwisata Dedy Jaya, Ratno Robbani mengatakan, larangan study tour sangat memengaruhi pemesanan bus pariwisata. Imbasnya, perusahaan mengalami penurunan omzet hingga menderita kerugian.

"Karena sekarang dengan adanya aturan itu, mereka (pihak sekolah) tidak pesan untuk armadanya. Penurunan atau perubahan (omzet) tersebut mencapai kurang lebih 60%-70%," katanya kepada Validnews, Sabtu (5/4).

Ratno menjelaskan, dalam setahun, PO Dedy Jaya bisa melayani perjalanan study tour sebanyak 180 kali. Itu mencakup pemesanan bus pariwisata dari sekolah tingkat TK hingga SMA. Adapun lokasi favorit kegiatan study tour atau kunjungan industri mayoritas di wilayah Yogyakarta. Umumnya, sekolah menyewa bus sebanyak 1-5 unit untuk perjalanan kurang lebih 2-3 malam.

"Kita hitungannya per hari Rp3,5 juta untuk sewa unit per harinya, tapi belum termasuk tol, parkir, dan tip sopir," papar Ratno.

Matematika sederhananya, jika sewa satu unit bus pariwisata saja senilai Rp3,5 juta untuk 180 pemesanan dalam setahun, penghasilannya sudah tembus Rp630 juta per tahun. Dedy Jaya berpotensi kehilangan omzet ini ketika pemesanan berkurang.

Senada, Priyono mencontohkan, saat periode libur anak sekolah, sekitar Juni atau Juli, biasanya PO Handoyo banyak pemesanan layanan bus pariwisata. Namun, ia memprediksi, pemesanan bakal berkurang ketika ada kebijakan ini. Bahkan, untuk tahun ini, dia mengaku belum ada pemesanan unit bis pariwisata untuk kegiatan itu.

"(Proyeksi penurunan omzet) sekarang saja bisa 50%. Pendapatan katakan target Rp50 juta atau berapa, ternyata cuma masuk sekitar Rp30-Rp35 juta dalam satu bulan," beber Priyono.

Dalam kalkukasinya, PO Handoyo bisa mendapatkan Rp600 juta per tahun jika target omzet Rp50 juta per bulan tercapai. Namun, ketika pemesanan anjlok, omzet pun berkurang hingga setengahnya, menjadi Rp360 juta per tahun.

Tidak Kena Imbas Negatif
Kendati demikian, ada pula bisnis PO yang tidak terdampak dengan kebijakan larangan study tour. Wahid yang juga selaku pemilik Bus Pariwisata Pesona Transport mengaku, pihaknya tidak bertumpu pada layanan bus pariwisata saja.

Dia pun menyebut, secara keseluruhan, omzet Pesona Transport dari kegiatan karyawisata SMP dan SMA kurang dari 10%. Oleh karena itu, dia berani bilang perusahaan otobusnya tidak kena dampak kebijakan baru pemda.

"Kecil lah porsinya, di bawah 10%. Kita study tour kalau ada operator lain yang mengajak. Misalnya, operator lain cuma punya 10 armada, lalu ada tender untuk study tour sebanyak 15 armada, otomatis mereka kurang kan, lalu kita diajak," papar Wahid.

Ia menjelaskan, ketika mendirikan PO Pesona Transport pada 2020, dia sudah matang memikirkan bahwa kebijakan negara yang kerap berubah-ubah harus diantisipasi. Oleh karena itu, core bisnisnya fokus menyediakan layanan transportasi dengan komitmen zero accident.

"Kita cari mana spesialisasi yang dampaknya tidak terlalu bergantung kepada apapun, makanya dari awal mulai pandemi, alhamdulillah kita tidak merasakan efek-efek tersebut," ujar Wahid.

Ini baru satu contoh konkret perusahaan yang mengklaim tidak kena imbas negatif dari kebijakan larangan study tour. Sementara itu, pelaku usaha sendiri menilai, selain rugi finansial, ada sejumlah dampak rambatan yang terjadi akibat kebijakan anyar ini.

Priyono mengatakan, persaingan antarpengusaha layanan bus pariwisata makin ketat. Banyak pemain baru dengan deretan armada masih baru.

Ia khawatir, perusahaan yang baru merintis, dan sudah menggelontorkan modal ratusan juta hingga miliaran rupiah, jadi kelimpungan setelah pemerintah mengubah regulasi secara mendadak. 

"Sekarang kompetisi juga makin ketat ya, terus ada bis-bis baru, modal bis baru bisa Rp2,4-2,5 miliar satu unit bis pariwisata. Terus ini kapan mau pulang modalnya?" ujarnya.

Sesama pengusaha, Ratno juga memetakan di sisi mana saja ada kerugian. Selain pendapatan pengusaha berkurang karena tidak jadi berangkat, kebijakan baru ini membuat obyek wisata, tempat makan, dan lokasi wisata sepi orderan.

"Contohnya, di Jawa Barat yang sudah memberlakukan (larangan study tour), banyak sekali pengusaha hotel dan tempat wisata banyak merumahkan karyawannya," klaimnya.

Pendapatan Sektor Pariwisata Turun
Seperti disinggung di atas, pengetatan hingga larangan study tour dapat menurunkan cuan perusahaan otobus, hingga menyurutkan pendapatan sektor pariwisata dan perekonomian daerah.

Jika aturan baru tersebut berlaku secara nasional, UMKM di daerah dan tempat wisata lokal jadi kena batunya. Pesanan dan pendapatan akan berkurang karena kegiatan belanja surut.

Pengamat Pariwisata sekaligus Dekan Fakultas Hospitality Pariwisata UPH, Diena Mutiara Lemy meyakini, kegiatan mass tourist seperti karyawisata bakal memberikan dampak langsung, yakni perputaran uang di daerah. Ada serangkaian kegiatan belanja yang dilakukan ketika menggelar karyawisata. Diena mencontohkan, sekolah akan menyewa transportasi bus pariwisata, hotel, serta membeli tiket museum atau lokasi wisata pendidikan.

Kemudian, rombongan study tour akan memesan atraksi wisata seperti rafting atau flying fox. Saat berada di lokasi, siswa-siswi dan guru ramai memborong jajanan dari pedagang, makanan di restoran atau warung lokal, serta belanja oleh-oleh.

"Ini juga memberikan dampak kepada usaha-usaha pariwisata. Jadi menurut saya, seberapa besar dampaknya, itu banyak sekali, karena kita hitung saja, sekolah di Indonesia itu ada berapa, mulai dari sekolah yang mahal, dan sekolah yang biasa-biasa," urainya

Para pengamat pariwisata juga memproyeksikan, ketika study tour sekolah resmi dilarang, sektor pariwisata akan kehilangan pasar atau market. Imbasnya, pendapatan pelaku usaha di sektor pariwisata berkurang. Padahal, perekonomian lokal cukup bergantung pada kunjungan wisatawan.

"Misalnya, satu usaha sudah menargetkan cashflow, mungkin dia dapetin perputaran uang, omzet Rp100 juta, lalu tiba-tiba ada yang hilang karena pelarangan study tour. Mungkin dia bisa kehilangan 20% dari itu. Tahun pertama mungkin masih bisa bertahan, lama-lama bisa gulung tikar," katanya.

Apabila larangan berlanjut, Diena melihat, dalam jangka panjang kinerja industri pariwisata bisa melemah secara keseluruhan. Menurutnya, ini bisa dicegah dengan cara pariwisata tidak fokus pada market kegiatan study tour.

Namun, menurutnya, perputaran uang bakal lebih lambat karena satu segmen pendukung pariwisata hilang. Jadi, sektor pariwisata akan membutuhkan butuh waktu untuk memulihkan kehilangan pasar study tour.

Strategi Pertahankan Bisnis Bus Pariwisata
Kebijakan baru ini, dinilai Priyono kian memberatkan bisnis bus pariwisata yang belum mampu rebound atau kembali ke kejayaan sebelum pandemi covid-19.  PO Handoyo bahkan sudah mengurangi armada bus pariwisata sejak pandemi. Dari 50 unit untuk perjalanan wisata, kini tinggal 7-10 unit saja. Ia pun was-was jangan sampai perusahaan memangkas armada lagi gegara larangan study tour ini.

"Kita membaca kok semakin sulit di pariwisata kan gitu. Jadi peminatnya agak berkurang," ujarnya,

Sebagai langkah antisipatif, Priyono mengatakan, para pengusaha bus pariwisata tidak boleh hanya mengandalkan kegiatan study tour. Pelaku usaha harus mencari ceruk pasar lain, membidik konsumen dengan kegiatan selain karyawisata anak sekolah.

Dia mencontohkan, pihaknya melayani semua kegiatan pariwisata, terutama kelompok masyarakat yang hendak berziarah ke makam alias melaksanakan yaroh. Biasanya, paguyuban hingga kelompok kajian banyak memesan bus pariwisata ketika mau pergi ziarah.

"Jadi di bidang pariwisata jangan hanya fokus melayani siswa study tour, nanti klenger. Apalagi sekarang diketatkan seperti ini ya, kita harus bisa membaca situasi" kata Priyono.

Diena pun menyarankan, sektor pariwisata, termasuk perusahaan otobus, harus lebih kreatif dan inovatif mencari market lain. Bisa menyasar liburan keluarga besar, ibu-ibu pengajian, dan lainnya yang bersifat rombongan. Dia mengimbau, supaya jajaran PO memastikan kondisi armada bus pariwisata selalu prima dan layak jalan. Tidak lupa, melakukan pemeriksaan atau pengecekan unit bus, serta mengontrol penugasan sopir dan kernet dengan baik.

"Saya sarankan mulai saat ini, semua para pelaku pariwisata itu bisa menyiapkan manajemen risiko yang baik, lalu lebih inovatif dan bisa punya langkah-langkah antisipatif," imbau Diena.

Kritik Terhadap PO, Sekolah, dan Pemerintah
Pemerintah sendiri, harus berperan memastikan tiap transportasi yang mengaspal dalam keadaan sehat. Di hulu, pemerintah bisa memperketat perizinan pendirian usaha transportasi. Pemerintah, kata Diena dan para pelaku usaha ini, perlu melihat masalah fundamental sektor transportasi, mengkaji, mempertimbangkan sejumlah faktor sebab dan akibat, baru bisa menerapkan kebijakan yang tepat.

"Jadi, jangan hanya langsung melarang, tapi tidak melihat sebenarnya masalah yang fundamental itu apa sih," tuturnya.

Di sisi lain, pengusaha otobus tidak boleh lalai dan selalu memastikan keamanan penumpang. Wahid dan Priyono pun sepakat kecelakaan tempo lalu terjadi salah satunya, karena ada kelalaian dari pihak PO maupun travel agent. Jangan sampai ada armada yang tidak layak jalan, usia bus sudah tua lalu hanya dipoles supaya tetap kinclong, tapi masih mengaspal jalanan demi dapat cuan. Kondisi kendaraan harus sehat dan prima. 

"Kemarin kan kesalahan dari operator juga ya, dan saya berani mengatakan seperti itu. Jadi travel agent itu mencari bis yang harganya murah," kata Priyono.

Selain kesalahan operator bus, Wahid menganggap travel agent atau konsumen yang meminta bis dengan harga murah juga salah. Menurutnya, permintaan seperti ini perlu dibenahi, dan jangan sampai PO malah menyanggupi, lalu berujung mendatangkan armada yang tidak sehat.

"Ya ayolah kita bareng-bareng benahi atau seleksi perusahaan transportasi yang tidak layak. Untuk caranya, saya sudah sering bicara sama Kementerian Perhubungan, harus ada tarif minimal atau seragamkan tarif," ungkapnya.

Namun, mengingat kegiatan masif seperti study tour memberikan banyak dampak positif terhadap perekonomian dan bisnis PO, Wahid menyarankan supaya pemerintah mengkaji ulang pengetatan ataupun larangan study tour.

"Pemerintah juga jangan malas membuat aturan. Intinya kan mereka malas berpikir, 'sudahlah daripada mumet, kita tutup saja' kayak gitu. Padahal yang dimainkan kan hanya ada satu, dua atau tiga yang oknum," tuturnya.

Wahid menambahkan, kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah juga ikut berdampak terhadap perjalanan wisata dan pemesanan bus pariwisata. Diungkapkannya, dengan adanya efisiensi, permintaan rute Semarang-Jakarta-Semarang yang semula mencapai 600 unit sekali jalan, tersisa hanya 300 unit. Banyak bis nganggur, ekonomi pun tidak berputar karena ada pembatasan.

"Itu baru pembatasan, bayangkan kalau larangan keseluruhan, satu nasional kan repot, ekonomi tidak berputar. Padahal, ekonomi penting untuk diputar, kalau perputaran uang berhenti, repot juga, nanti tetap berhenti, (takutnya) fraud semua," imbuhnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar