02 Juli 2022
18:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari, Wiwie Heriyani
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Dampak pandemi covid-19 dalam dua tahun terakhir sejak 2019 telah memukul pertumbuhan ekonomi, pariwisata dan penerbangan dunia. Indonesia tak terkecuali.
Berbagai penerapan pembatasan penerbangan dan syarat tambahan menghambat kemudahan dan akses penumpang. Ujungnya, maskapai penerbangan pun ‘berdarah-darah’ lantaran jumlah penumpang terpangkas habis.
Masa transisi pandemi covid-19 menuju endemi jadi angin segar bagi industri penerbangan. Berbagai aktivitas pulih, termasuk perjalanan. Ibarat buka puasa, masyarakat pun berlomba mengisi kebutuhan, mencari destinasi impian setelah dua tahun nyaris tak kemana-mana.
Data traffic dari Angkasa Pura 1 dan Angkasa Pura 2, menunjukkan adanya proses recovery, khususnya di sektor domestik. Tercatat, hingga bulan Mei 2022 lalu jumlah penumpang mencapai 40 juta atau sekitar 64% seperti masa sebelum pandemi covid-19 pada 2019 yang sebesar 110 juta penumpang.
Sementara dari sisi kargo, mencapai sekitar 553 juta kilogram atau sekitar 98% dibandingkan masa sebelum pandemi yaitu 565 juta kilogram.
Beberapa kajian terkait optimisme pemulihan ekonomi dan industri penerbangan pun telah dilakukan. Salah satunya oleh Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia yakni Indonesia National Air Carriers Association (INACA) bersama Universitas Padjajaran pada akhir 2021 lalu.
Dalam kajian tersebut, disebutkan bahwa pemulihan sektor penerbangan diprediksi mulai membaik pada awal 2022. Sementara itu, penerbangan domestik diperkirakan kembali ke level optimal pada tahun 2024, penerbangan internasional diprediksi mulai membaik pada akhir tahun 2023 dan kembali optimal pada tahun 2024.
INACA mencatat, kombinasi berbagai kebijakan strategi dan juga kerja sama dengan berbagai pihak, meningkatkan kegiatan industri penerbangan. Sayangnya, geliat pemulihan sektor penerbangan, tarif tiket pesawat justru melambung tinggi hingga dua kali lipat sejak April 2022.
Hingga saat ini, hampir seluruh maskapai masih memasang harga tiket dengan tarif di sekitar batas atas (TBA) yang ditentukan pemerintah. Terang ini menjadi sorotan.
Banyak pihak mengeluhkannya. Sebagiannya khawatir, kenaikan tarif tiket pesawat di hampir seluruh maskapai Indonesia, sebaliknya dapat menghambat pemulihan sektor pariwisata.
Lalu, apa yang menyebabkan tingginya tarif tiket pesawat saat ini?
Komponen Biaya Berubah
Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja membeberkan, faktor utama yang memberikan dampak besar terhadap kenaikan tarif pesawat sejak April 2022. Faktor utama itu adalah kenaikan harga bahan bakar pesawat atau avtur, yang kemudian dimasukkan dalam hitungan harga tiket pada setiap jasa penerbangan.
Denon menguraikan, perhitungan kenaikan harga tiket pesawat itu sendiri tidak hanya mempertimbangkan harga avtur.
Ada biaya ground handling, navigasi, dan lintas udara masuk dalam hitungan, namun porsi avtur memang signifikan dalam komposisi biaya.
“Sekarang ini sebetulnya in average itu ya dua kali lipat dari harga sebelum April. Kalau cost component-nya sendiri itu, (porsi) avtur cost production itu ya sekitar 20 persenan. Jadi itu yang memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap cost operational,” ujar Denon, saat dihubungi Validnews, Kamis, (30/6).
Danon memaparkan, kenaikan harga avtur membuat maskapai penerbangan akan sulit untuk tetap mempertahankan anggaran sesuai rencana. Adanya perubahan harga jual avtur per liter, membuat maskapai penerbangan menaikkan harga tiketnya. Kenaikan biasanya disesuaikan berdasarkan jarak tempuh pesawat dan jenis pesawat yang digunakan.
Ada pun kenaikan harga avtur tersebab terkerek kenaikan minyak mentah (crude oil), akibat lonjakan permintaan yang tiba-tiba. Pembatasan aktivitas selama pandemi membuat permintaan anjlok dan harga minyak menyentuh minus dolar.
Seluruh fasilitas penyimpangan penuh dengan minyak yang tak terserap. Buntutnya, perusahaan minyak memangkas produksi minyak. Lantas, lonjakan permintaan tiba-tiba membuat industri minyak kewalahan lantaran memompa bahan bakar tak bisa dilakukan serta merta.
Kini, harga avtur saat ini hampir menyentuh level Rp18.000 per liter atau meningkat 95% dibanding patokan tahun 2017 yang sebesar Rp9.100. Sementara itu, nilai rupiah terdepresiasi, mendekati Rp15.000 atau melemah 14% dibanding patokan tahun 2017 yang sebesar Rp13.000.

Invasi Rusia ke Ukraina turut memperburuk kenaikan harga minyak mentah selama 18 bulan terakhir. Bahan bakar jet saat ini mewakili sebanyak 38% dari biaya rata-rata maskapai penerbangan dengan harga US$120 per barel, naik dari 27% pada tahun-tahun menjelang 2019. Kenaikan harga minyak global inilah yang dinilai membuat biaya tiket pesawat naik sekitar 7%.
Faktor kedua yang menyebabkan kenaikan tarif adalah supply and demand. Kenaikan tarif pesawat ini juga dipengaruhi karena adanya peningkatan pada kebutuhan jasa penerbangan yang tidak seimbang dengan penawaran. Akibat pandemi, sejumlah maskapai menurunkan kapasitas jumlah pesawat dan kursi yang terbatas akibat pandemi covid-19.
“Jadi sekarang availability dari armada masing-masing maskapai itu tidak seperti pada tahun-tahun sebelum covid. Ya tentu harganya akan naik. Karena demand-nya lebih besar daripada supply-nya. Itu dua faktor utama menurut saya yang memberikan dampak kenapa harga tiket menjadi tinggi,” urai Danon.
Faktor selanjutnya adalah pemesanan kursi penumpang yang lebih sedikit akibat minimnya jumlah pesawat yang terbang. Penjualan kursi dengan harga normal dinilai tidak akan cukup untuk memenuhi biaya pemulihan dan lain-lain.
Khusus pada penerbangan domestik di Indonesia, Kementerian Perhubungan sendiri telah memberi izin maskapai penerbangan untuk menetapkan fuel surcharge (biaya tambahan bahan bakar) kepada konsumen terhitung sejak 18 April 2022, yang membuat harga tiket lebih mahal.
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebelumnya telah menetapkan ketentuan batas tarif bawah dan atas. Hanya saja, saat ini tarif yang digunakan untuk tiket pesawat domestik adalah harga yang tertinggi.
Tingginya Lartas Impor Komponen Pesawat
Selain hal-hal di atas. Ada juga faktor lain yang turut membuat harga tiket terbang ke langit. Faktor tersebut adalah larangan dan pembatasan (lartas) impor komponen pesawat.
Selama ini persentase lartas impor onderdil pesawat masih memiliki angka yang besar. Ini berakibat pada tidak stabilnya harga tarif pesawat. Para pelaku usaha di sektor penerbangan ingin persentase lartas impor onderdil pesawat bisa diturunkan.
Presentasi lartas yang masih cukup tinggi yakni 49%, menurut INACA memberikan PR sendiri untuk maskapai agar bisa mempercepat proses repairment pesawat.
INACA tidak menargetkan penurunan impor harus sampai angka tertentu. Namun jika mengacu pada benchmark negara tetangga seperti Malaysia, maka penurunannya hingga mencapai angka 17%.
Selain itu, pemulihan industri penerbangan dunia yang meningkat secara signifikan, dinilai perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan jasa perawatan pesawat udara oleh perusahaan jasa perawatan pesawat atau biasa disebut maintenance, repair and overhaul (MRO) di Indonesia.
“Setelah 2 tahun pandemi pesawatnya itu tidak dalam keadaan operasional itu mereka kan harus masuk ke MRO untuk diinspeksi apakah mereka layak terbang atau enggak. Nah, sekarang MRO nya ini penuh. Apalagi misalnya proses dan prosedur pengadaan sparepart itu juga menjadi kritikal kalau misalnya pemberlakuan lartas itu tinggi,” terang Denon soal pengaruh lartas.
Denon menyebut, alasan pemberlakuan lartas tinggi di tanah air. Dasarnya, karena Indonesia dianggap mampu memproduksi beberapa spare part yang bisa digunakan di dalam pesawat. Sayangnya, meski memang bisa, manufaktur ini kerap bermasalah dengan sertifikasi dari manufaktur pesawatnya.
“Kalau diberikan sertifikasi dari Boeing, Airbus, ya mereka nggak akan bisa dipakai di pesawatnya. Nah, ini proses klasik yang enggak pernah dilakukan,” tukasnya.
Cari Untung?
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai ada celah yang dipakai maskapai penerbangan untuk melakukan pelanggaran usaha di tengah melonjaknya harga tiket pesawat akibat kenaikan harga avtur dunia.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menyerukan, agar Kementerian Perhubungan (Kemenhub) selaku pihak regulator meningkatkan pengawasan terhadap kebijakan pentarifan operator jasa penerbangan.
“Kondisi maskapai memang sangat berat. Kenaikan (harga) avtur gila-gilaan. Ke depan, perlu dikaji aspek affordability konsumen dalam kebijakan pentarifan,” ujar Tulus, kepada Validnews, Kamis, (30/6).
Selain itu, Tulus menilai, rentannya pelanggaran usaha terkait harga tiket pesawat bisa terjadi akibat dampak dari undang-undang penerbangan yang tidak mengatur soal daya beli konsumen dalam kebijakan tarif.
“Mungkin karena maskapai adalah bisnis padat modal. Kalau TBA dinaikkan ya akan seleksi alamiah, bagi maskapai dan konsumen. Konsumen yang tak mampu naik tiket pesawat, maka bisa menggunakan alternatif lain. Sebaliknya, bagi maskapai jika tiket terlalu mahal, dan yang naik pesawat makin turun, maka maskapai akan menyusut, dan bisa bangkrut,” urainya.
Sebaliknya, Denon tak sepakat dengan penilaian YLKI. Dia memastikan pihak maskapai tidak memanfaatkan momen cari untung di tengah melonjaknya harga tiket pesawat saat ini.
Apalagi, kata Denon, salah satunya maskapai Garuda Indonesia baru saja lepas dari proses Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam 2 tahun terakhir sejak pandemi covid-19 di tahun 2019.
“Kalau untuk cari keuntungan saya pikir jauh lah. Kan harga tiket naik baru 3 bulan,” tukasnya.
Kebijakan Penerapan Tarif Pesawat
Pemerintah juga berbicara soal ini. Plt. Dirjenhubud, Nur Isnin Istiartono dalam paparannya di RDP Komisi V DPR RI pada Selasa, (28/6) menjelaskan bahwa penerapan tarif penumpang angkutan udara ditetapkan atas dasar pertimbangan UU Nomor 1 tahun 2009.
Isnin menyebut, dalam penerapan tarif tiket pesawat tentu terdapat aspek perlindungan konsumen sehingga ada Tarif Batas Atas (TBA), kemudian keberlangsungan hidup maskapai dari persaingan tidak sehat yaitu adanya tarif batas bawah (TBB).
“Berdasarkan PM Nomor 20/2019 Pasal 23, evaluasi berkala terhadap penetapan tarif dilakukan secara berkala setiap 3 bulan dan sewaktu-waktu. Dalam hal terjadi perubahan signifikan yang mempengaruhi keberlangsungan kegiatan maskapai, yaitu terjadinya kenaikan total biaya operasi pesawat udara hingga paling sedikit 10% akibat adanya perubahan, misalnya avtur, kurs, dan komponen pesawat,” papar Isnin, Selasa, (28/6).
Adapun ketentuan tentang komponen tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal kelas ekonomi untuk rute domestik tertuang dalam pasal 126 UU 1/2009 dan pasal 2 PM 20/2009, terdiri dari tarif jarak oleh Kementerian Perhubungan, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan.

Soal penghitungan surcharge angkutan udara berdasarkan ketentuan PM 20/2019 Pasal 77 dijelaskan bahwa fuel surcharge dapat dikenakan karena terjadi kenaikan harga bahan bakar dalam jangka 3 bulan berturut-turut yang mengakibatkan kenaikan biaya operasi pesawat di atas 10%.
Untuk tarif angkutan udara perintis, akan ditetapkan setiap tahun oleh Menteri Perhubungan. Ada beberapa pertimbangan sebagai patokan, yang diantaranya biaya operasi penerbangan ditambah keuntungan wajar.
“Kemudian kita perhatikan PDRB masyarakat, daya beli masyarkat, lalu masukan/usulan dari pemda atau koordinator wilayah angkutan udara perintis,” imbuhnya.
Selain beberapa pertimbangan itu, penetapan tarif angkutan udara perintis juga dilakukan evaluasi, yaitu dengan memerhatikan tipe pesawat, waktu tempuh sesuai RAB, realisasi penumpang, besaran PDRB, dan usulan tarif rute baru maupun eksisting.
Isnin menambahkan, lonjakan harga bisa diatasi pada penerbangan perintis. Berdasarkan ketentuan dalam UU penerbangan, subsidi angkutan perintis dibagi atas perintis penumpang, perintis kargo, subsidi kargo, serta subsidi angkutan BBM.
Tahun 2022 ini, subsidi angkutan udara perintis diberikan untuk 228 rute penumpang, dan 42 rute kargo dengan alokasi pagu anggaran sebesar Rp525 miliar.
Siasati Avtur
Sementara itu, President Director of Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi di hadapan Komisi V DPR RI pada Selasa (28/6) menyampaikan kendala-kendala yang dihadapi perusahaan dimana sulit untuk meraih keuntungan di masa pandemi.
Daniel meminta agar Kementerian Perhubungan RI merevisi Tarif Batas Atas (TBA) tiket pesawat agar maskapai bisa mendapatkan keuntungan.
Namun, Denon menyampaikan opsi lain untuk mengais keuntungan. Ia menilai, mengurangi frekuensi penerbangan dan hanya menerbangi pada rute-rute yang memiliki demand tinggi jadi opsi paling memungkinkan untuk menyiasati kenaikan harga avtur dan pelemahan rupiah terhadap US$ yang sangat berdampak pada biaya operasional maskapai penerbangan.
Maklum, kembali menaikkan harga akan membuat demand semakin menyusut.
Pilihan lainnya selain menaikkan tarif batas atas adalah effective flight plan, attitude pilot, pemilihan stasiun pengisian avtur, fuel hedging, penggunaan electric green taxiing system (EGTS), mengoperasikan pesawat hemat bahan bakar, corrective action melalui upaya efisiensi biaya, dan menaikkan tarif batas bawah (TBB). Mengupayakan bisnis cargo juga dinilai sebagai salah satu siasat.
“Referensi airlines saat ini hanya pada rute-rute prioritas. Slot yang masih perlu kita optimalkan, terkait rekstruktirasasi utang dan stimulus, dan upaya negosiasi dengan lessor untuk skema baru sewa pesawat. Namun selain tantangan, juga ada peluang ke depan,” tutup Denon.
