09 Agustus 2022
21:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Dalam perjalanan bisnis, memiliki merek produk atau jasa merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa merek, kegiatan bisnis baik skala kecil maupun besar hampir bisa dipastikan mustahil berkembang, alih-alih bisa dikenal pasar. Merek adalah identitas yang mesti dimiliki.
Melansir KBBI, merek dagang adalah nama, simbol, gambar, huruf, kata, atau tanda lainnya, yang digunakan oleh industri dan perusahaan dagang untuk memberi nama pada barang-barangnya dan membedakan diri dari yang lain, biasanya dilindungi oleh hukum.
Karena itu, merek memiliki posisi strategis dalam riwayat hidup serta tumbuh-kembang sebuah bisnis. Bahkan, SMEsta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop-UKM) menekankan, terdapat 10 alasan mengapa merek atau brand begitu penting dimiliki oleh sebuah produk.
Fenomena sengketa perebutan merek dagang sendiri sudah kerap terjadi, entah antara perusahaan di dalam negeri hingga perusahaan internasional. Salah satu yang belakangan mengemuka, misalnya adalah yang terjadi antara produk kosmetik MS Glow dan PS Glow.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly juga mengamini. Sengketa merek adalah hal yang selayaknya dihindari. Dia pun mengharapkan, sengketa merek dagang tidak muncul kembali di antara para pelaku usaha di Indonesia. Karenanya, pemerintah mendorong dan mewanti-wanti pelaku UMKM untuk segera mendaftarkan mereknya.
“Jangan sampai menjadi sengketa (merek). Setelah maju, menjadi sengketa," katanya seusai acara bertajuk ‘Roving Seminar Kekayaan Intelektual’ di Yogyakarta, Kamis (21/7).
Diuraikannya jika suatu saat merek produk yang diciptakan mulai populer, namun pemiliknya lalai mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), akan ada potensi ditiru dan diakui orang lain.
Bukan hanya perkara saling gugat MS Glow dan PS Glow yang bisa menjadi contoh. Ada banyak contoh kasus sengketa merek dagang lain yang muncul setelah usahanya mengalami perkembangan pesat. Menkumham pun menyoroti, tanpa disadari setelah usaha maju, ada orang lain yang lebih dulu mendaftarkan merek dagang yang sama.
Selain untuk menghindari sengketa, pendaftaran HAKI juga sangat erat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, kata Yasonna, pemerintah ingin menyosialisasikan, mengajak, dan membangun sinergi dengan pemerintah daerah, serta K/L untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendaftaran HAKI.
"Apalagi saat ini, sudah ada peraturan pemerintah yang mengatur bahwa Kekayaan Intelektual bisa menjadi jaminan fidusia untuk perbankan. Ini adalah bentuk support pemerintah bagi para kreator dan inventor," ujarnya.
Per 12 Juli 2022, peraturan kekayaan intelektual sebagai jaminan fidusia telah diteken Presiden dalam PP 24/2022 tentang Ekonomi Kreatif. Beleid mengatur skema pembiayaan yang dapat diperoleh oleh pelaku ekonomi kreatif melalui lembaga keuangan bank maupun non-bank yang berbasis kekayaan intelektual.
Nantinya, sebuah lembaga keuangan akan dibentuk untuk menentukan nilai dari produk kekayaan intelektual. "Semakin tinggi value dan potensi ekonomi dari karya cipta, merek atau paten yang dimiliki tersebut, maka nilai pinjaman yang diberikan pun akan semakin besar," sebut Yasonna.
Hak Eksploitasi Merek
Soal keuntungan pendaftaran merek, Koordinator Humas DJKI Kemenkumham Irma Mariana menerangkan, ada hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik KI untuk jangka waktu tertentu.
Hak eksklusif tersebut berupa hak mengeksploitasi kekayaan intelektual, memberikan izin kepada pihak lain melalui lisensi atau franchise untuk menggunakan kekayaan intelektual tersebut dan/atau melarang pihak lain untuk menggunakannya.
Sebaliknya jika sebuah merek tidak dilindungi, pemiliknya tidak bisa mendapatkan hak atas merek tersebut. Apabila terjadi permasalahan hukum di kemudian hari, jelas pemilik merek yang tidak dapat dilindungi oleh negara, akan mengalami kerugian.
“(Konsekuensi tidak mendaftar merek) dapat menimbulkan kerugian secara materiil maupun non materil, karena merek yang terdaftar saja yang memperoleh perlindungan hukum,” terangnya kepada Validnews, Jakarta, Senin (8/8).
Irma lanjut menekankan, merek yang terdaftar peroleh kesahihan secara hukum, dengan terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Apabila ada pelanggaran merek, pemilik merek sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Irma pun mengakui, potensi ekonomi dan kerugian dari merek yang terjadi akibat ketidakpedulian pelaku ekonomi terkait KI sangat besar sekali. Karenanya, dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mengungkap potensi ekonomis yang menguap. Sebaliknya, pendaftaran merek justru tak memerlukan dana besar.
“Biaya pendaftaran merek untuk umum sebesar Rp1,8 juta, sedangkan untuk pelaku UMKM sebesar Rp500 ribu,” ujarnya.
Soal kesadaran akan kekayaan intelektual, Property Rights Alliance melaporkan, Indeks Hak Properti Internasional (International Property Rights Index/IPRI) Indonesia menduduki peringkat ke-72 dari 129 negara yang disurvei. Dibanding tahun sebelumnya, IPRI Indonesia turun 0,06% dari 5,34 poin menjadi 5,27 poin.
Spesifik, Lingkungan Hukum dan Politik (LP) turun dari 4,64 poin menjadi 4,51 poin; Hak kekayaan Intelektual (IPR) turun 4,38 poin menjadi 4,31 poin; dan Hak Milik Fisik (PPR) bertahan di kisaran 7,0 poin. Pada laporan yang sama, nilai registering property menjadi yang paling mencolok di kisaran 9,0 poin. Adapun untuk perlindungan merek dagang atau trademark protection nilainya hanya 5,02 poin.
Dirjen Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin Reni Yanita memaparkan, Klinik KI Ditjen IKMA sejak 1998-2021 telah memfasilitasi perlindungan KI dalam bentuk pendaftaran terhadap 5270 merek; 1262 hak cipta; 87 desain industri; 17 paten; dan 5 Indikasi Geografis. Selain itu, Kemenperin juga telah melatih 1.165 fasilitator Kekayaan Intelektual di seluruh Indonesia.
Dari data fasilitasi pendaftaran merek itu, sektor IKM yang paling dominan mendaftar HKI adalah komoditi pangan sebesar 56%; diikuti komoditas sandang sebesar 23%; serta komoditas kimia dan bahan bangunan sebesar 10%.
Ketiga sektor ini dominan mendaftar HKI karena berupa fast-moving products yang dijual di pasar modern. Persaingan dagang yang lebih tinggi dinilai menjadi latar belakangannya.
“Hal tersebut terjadi, karena merek sebagai brand dari sebuah produk menjadi penting sebagai unsur pembeda dari produk pesaing sejenis,” sebutnya kepada Validnews, Senin (8/8).
Selanjutnya, ketiga sektor ini bersifat sebagai produk konsumer atau consumer goods yang membutuhkan pemenuhan standar, izin edar, dan/atau sertifikasi produk, dimana dalam pengurusannya membutuhkan sertifikat merek. Selama tiga tahun ini, dari total jumlah pendaftaran yang mencapai 1.398 merek, komoditas makanan dan minuman mendominasi sampai 67,21%.

Tantangan Di Indonesia
Meski begitu, Reni juga mengungkapkan, sejumlah hal masih menjadi kendala pemerintah bersama pelaku industri kecil-menengah dalam melindungi KI. Dalam upaya pendaftaran merek, tidak jarang terdapat kesamaan pada pokok atau secara keseluruhan dengan merek yang telah terdaftar.
Dengan begitu pelaku IKM harus mengganti nama merek menjadi sesuatu yang belum pernah terdaftar. Namun, bagi IKM yang telah menjalankan usaha cukup lama, sering keberatan untuk mengganti nama merek yang telah digunakan karena telah cukup dikenal oleh pasar atau pelanggan.
Terhadap ‘kasus’ seperti itu, Kemenperin melakukan pendekatan persuasif. Yang ditekankan adalah agar IKM tetap mengutamakan perlindungan atas produknya. Dengan begitu, mereka bisa memitigasi adanya ancaman atau sengketa atas penggunaan merek tersebut oleh pihak lain.
Selanjutnya, waktu proses pendaftaran KI yang cukup panjang menyebabkan situasi ketidakpastian dalam berusaha. Dia tak menafikan, kadang pelaku IKM cenderung putus asa dan enggan untuk mengurusnya.
“Selain itu, (membuat) masa manfaat dari perlindungan atas Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar menjadi semakin singkat,” sebutnya.
Ada persoalan lain yang dicermati pengamat bisnis Kafi Kurnia. Dia menyebut, kebijakan pendaftaran merek di Indonesia menggunakan sistem kelas. Seringkali penerapannya menjadi permasalahan sengketa di kemudian hari karena disalahgunakan.
Buat yang belum tahu, kelas merek adalah pengelompokan atas suatu bidang usaha yang dijalankan oleh merek bersangkutan, dan menjadi parameter yang digunakan secara global dalam perlindungan merek. Secara umum, Indonesia memiliki 45 kelas yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Kelas Barang (Kelas 1-34) dan Kelas Jasa (Kelas 35-45).
Bisa dibilang, lanjut Kafi, Indonesia menganut rezim siapa dulu yang mendaftarkan KI. Dengan kondisi ini, banyak orang Indonesia yang mendaftarkan merek-merek terkenal di luar negeri.
“Jadi ketika merek itu masuk ke Indonesia, mereka disandera. Terpaksa harus membayar mahal untuk menebus kepemilikan mereknya,” kata Kafi dalam perbincangan via telepon, Jumat (5/8).
Dia mencontohkan kasus penggunaan merek Cartier di dalam negeri. Aslinya, Cartier merupakan brand kenamaan yang ditemukan tahun 1847 di Paris, Prancis yang menjual beragam aksesoris dan perhiasan eksklusif.
Sayangnya, di dalam negeri, ada pelaku bisnis yang telah lebih dulu mendaftarkan merek Cartier untuk produk baju dan lainnya yang dijual dengan harga murah.
Hal ini juga kerap terjadi dengan merek lain, karena sudah keduluan ada pihak di dalam negeri yang Kafi nilai ‘iseng’ mendaftarkan merek. Sontak, situasi ini malah merugikan pelaku bisnis yang sebenarnya.
“Jadi kalau punya merek dagang tapi tidak didaftarin, takutnya ada yang mendaftarkan lebih dahulu, dia tidak bisa pakai. Bahaya dan kerugiannya itu adalah mereknya disandera,” tambahnya.

Memulihkan Pencurian Merek
Terkait aksi pencurian merek, Irma pun mengajak pihak yang merasa dirugikan untuk segera melapor. Pelanggaran merek termasuk dalam delik aduan. Pihaknya membuka kanal pengaduan melalui https://e-pengaduan.dgip.go.id/.
“Masyarakat juga dapat mengajukan oposisi ataupun keberatan terhadap permohonan merek yang sedang diajukan, jika masih dalam tahap pengumuman,” sebutnya.
Saat ini, pemerintah juga memberikan kemudahan dalam melakukan pengajuan KI-nya melalui dukungan kepada pelaku UMKM untuk pendaftaran KI. Ada insentif tarif pendaftaran dan pemeliharaan untuk UMKM yang diberikan.
Selain itu, DJKI menyediakan sarana-prasarana dalam program unggulan, di antaranya Roving Seminar Kekayaan Intelektual; Mobile Intellectual Property Clinic atau Klinik KI Bergerak; Sertifikasi Pusat Perbelanjaan Berbasis KI; Drafting Patent Camp; Webinar IP Talk; Peluncuran Persetujuan Otomatis Pelayanan Hak Kekayaan Intelektual (POP HKI); serta DJKI Mengajar.
“DJKI juga memiliki program unggulan yang dapat membantu meringankan masyarakat, khususnya bagi pelaku UMK untuk mendapatkan potongan tarif permohonan KI melalui program PNBP Berkeadilan. Saat ini, program tersebut telah sampai pada proses pengkajian pra-kebijakan oleh Balitbang Hukum dan HAM,” sebut Irma.
Beragam upaya pemerintah diakui Kafi sangat baik bagi pelaku usaha. Dia mengapresiasi Kemenkop-UKM yang cukup gencar untuk mempromosikan HAKI dan memberikan kemudahan.
Di sisi lain, dia mendesak sosialisasi agar lebih masif. Banyak pelaku bisnis yang merasa tak mau repot mendaftar merek. Banyak pula yang khawatir terhadap penagihan pajak ketika usaha sudah mulai besar.
“Jadi ini ranah hukum yang jelimet dan banyak celah-celahnya,” sebut Kafi.
Seperti halnya elemen pemerintah; Kemenkumham, Kemenperin, dan Kemenkop UKM, dia juga menyarankan pelaku bisnis punya merek dagang yang unik dan tidak pasaran. Ini membuat kesulitan teknis ketika melakukan proses pendaftaran jadi minim.
“Makanya, dianjurkan membuat nama merek dan logonya seunik mungkin, sehingga sangat susah untuk ditiru. Jangan (referensi) dari yang ada saja,” pungkasnya.