09 Mei 2023
21:00 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Perbincangan soal UMKM tentu bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejumlah pejabat dan ahli ekonomi acap kali menyuarakan soal perekonomian Indonesia yang ditopang oleh para pelaku UMKM, karena menguasai sekitar 99% dari total pelaku usaha.
Pemerintah sendiri mencatat total pelaku UMKM di Indonesia mencapai lebih dari 64 juta unit usaha. Banyak? Pasti.
Apalagi, dari jumlah itu, mereka berhasil menyerap sekitar 97% tenaga kerja, serta berkontribusi kepada PDB di kisaran 60% dan ekspor sekitar 14-15%.
Usut punya usut, ternyata, kondisi seperti ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di regional Asia Tenggara, UMKM terbukti memegang peran vital di perekonomian dan penyerapan tenaga kerja.
Secara keseluruhan, UMKM punya peran hingga 42% dari total PDB di tiap negara Asia Tenggara.
Terlihat sangat penting, tetapi seberapa penting dan seberapa jauh UMKM dapat tumbuh dan berkembang? Sama seperti di Indonesia, level usaha mikro yang mendominasi struktur UMKM kawasan ASEAN dengan porsi mencapai 96%, kontribusinya dalam pembentukan nilai tambah masih cenderung terbatas.
Karena itu, UMKM pun menjadi pembahasan penting dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebagai informasi, negara-negara Asia Tenggara beberapa tahun silam sudah menyepakati penyelenggaraan MEA.
Tepatnya, pada Agustus 2006, saat Pertemuan ke-38 ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Tujuan MEA adalah mengintegrasikan ekonomi 10 negara ASEAN, dengan cara menerapkan sistem perdagangan bebas. Kesepakatan ini mulai berlaku 2016. Setahun sebelumnya, negara anggota ASEAN sudah menyetujui Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2025, sebagai kelanjutan dari MEA 2015.
Salah satu karakteristiknya adalah ASEAN yang tangguh, inklusif, serta berorientasi dan berpusat pada masyarakat.
Pada intinya, ASEAN ingin mencapai suatu masyarakat yang tangguh, inklusif, berorientasi pada rakyat dan berpusat pada rakyat yang mendorong pembangunan secara merata dan pertumbuhan secara inklusif. Termasuk juga mewujudkan suatu masyarakat dengan kebijakan yang kuat bagi pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Selanjutnya, bagaimana implikasinya cetak biru ini buat Indonesia? Dengan menerapkan pasar bebas, produk Indonesia punya peluang untuk dipasarkan di sembilan negara anggota lainnya.
Sebaliknya, Indonesia juga harus menerima serbuan produk dari sembilan negara ASEAN lainnya.
Punya Daya Saing
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) Dewi Meisari menyebutkan potensi produk kuliner hingga fesyen ciptaan UMKM Indonesia, sangat memungkinkan untuk bersaing di ASEAN.
Namun, dia menilai, potensi besar UMKM Indonesia untuk menguasai pasar ASEAN masih belum banyak dioptimalkan, hingga cita-cita merajai pasar Asia Tenggara pun tak kunjung terealisasi.
Menurut Dewi, realita itu terlihat dari sumbangsih UMKM terhadap postur ekspor nasional yang masih rendah. Kemudian, produk yang berkeliaran di e-commerce pun baru 10% asli buatan Indonesia, sedangkan sisanya berasal dari impor.
”Angka 10% itu sudah naik dari tahun 2020 yang baru 6%. Memang ada peningkatan, tapi untuk sebuah bangsa yang besar, yang diperdagangkan di sini justru kebanyakan produk impor," sebutnya kepada Validnews, Senin (8/5).
Dia mengatakan, jangankan bersaing di Asia Tenggara, masyarakat Indonesia pun kerap lebih memilih produk luar ketimbang ciptaan UMKM lokal.
Misalnya saja pada bidang kuliner, masih banyak yang lebih memilih keripik dengan brand tertentu ketimbang keripik singkong buatan UMKM.
”Ini bangsa memang sudah merdeka, tidak dijajah lagi pakai pistol, tapi lewat ekonomi dan budaya. Jadi kalau omong soal realisasi, jelas masih jauh panggang daripada api,” kata Dewi.
Buka Peluang
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengakui, MEA telah membuka peluang sekaligus memberikan tantangan bagi para pelaku bisnis di Indonesia, termasuk di dalamnya UMKM.
Kehadiran MEA membuat UMKM harus bisa bersaing dan tumbuh setidaknya di skala regional Asia Tenggara.
Menghadapi persaingan di Asia Tenggara, dia meyakini secara mendasar produk UMKM Indonesia punya kualitas yang sama bahkan lebih baik dibandingkan negara tetangga.
Dia pun menilai, UMKM Indonesia semestinya memang bisa menjadi penguasa di Asia Tenggara mengingat jumlahnya yang mencapai lebih dari 65 juta pelaku usaha.
Bahkan laporan "ASEAN Investment Report 2022: Pandemic Recovery and Investment Facilitation" yang diterbitkan pada Oktober 2022 menunjukkan, jumlah UMKM Indonesia masih jauh unggul dibandingkan Thailand yang tepat di bawahnya dengan 3,1 juta UMKM.
”Serapan tenaga kerja mencapai 97% dan sumbangan PDB 60,3%, sehingga kami optimistis UMKM Indonesia bisa dan sanggup bersaing di MEA,” kata Isy kepada Validnews di Jakarta, Minggu (7/5).

Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yunita menilai, adanya MEA menghilangkan semua batas hubungan ekonom antarnegara di Asia Tenggara.
Dengan MEA, pelaku IKM dikatakannya, mendapat tuntutan agar lebih kreatif dan inovatif supaya produk mereka bisa laku di pasaran. Soal persaingan, Reni meyakini saat ini terdapat segelintir pelaku IKM yang masih bisa bersaing di level internasional atau setidaknya regional Asia Tenggara. Dengan catatan, SDM-nya harus mumpuni.
”Kalau dilihat jumlahnya sangat besar yang naik kelas, tapi masih perlu beberapa perbaikan. Kita juga tertolong oleh anak muda berpendidikan yang membantu IKM naik kelas,” ujar Reni saat dihubungi Validnews dari Jakarta, Senin (8/5).
Produk Potensial
Lebih lanjut, Isy Karim menyampaikan, pemerintah sejatinya sudah memetakan UMKM-UMKM potensial untuk bertanding menjadi penguasa di Asia Tenggara.
Ada 10 produk utama yang diandalkan Indonesia untuk bersaing, antara lai, udang, kopi, minyak kelapa sawit, kakao, karet dan produk karet, TPT, alas kaki, elektronika, komponen kendaraan bermotor, dan furnitur.
Kemudian untuk 10 produk potensial terdiri dari kerajinan, produk perikanan, obat-obatan herbal, produk kulit, makanan kemasan, perhiasan, minyak nabati, rempah-rempah, alat tulis non kertas, serta peralatan medis.
Tak hanya itu, tiga produk jasa juga dipersiapkan bersaing di ASEAN, seperti sektor Teknologi Informasi yang terdiri dari jasa web design, animasi, hingga desain grafis, lalu sektor tenaga kerja terampil, pariwisata, traditional spa, cultural (franchise).
Terakhir jasa desain yang terdiri dari desain kreatif, seni, arsitektur, konstruksi, dan desain interior.
Isy menambahkan pihaknya juga secara khusus memiliki perhatian pada sektor produk halal dan fesyen muslim. Hal itu tak lepas dari status Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama muslim terbanyak di dunia.
”Indonesia sebagai negara dengan mayoritas populasi masyarakat Muslim terbesar di dunia punya peluang yang baik dalam pengembangan sektor ini,” cetusnya.
Khusus untuk produk halal, sertifikasi halal akan terus digaungkan untuk memberi kenyamanan, keamanan, keselamatan, hingga kepastian ketersediaan produk halal bagi konsumen.
Dia meyakini sertifikasi halal akan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha.
Jaminan produk halal, ungkapnya, akan mendongkrak pemasaran produk baik di dalam negeri maupun luar negeri, khususnya bagi negara-negara yang punya kewajiban sertifikasi halal terhadap produk yang masuk.
Daya Saing
Sayangnya, diakui Isy, produk UMKM Indonesia kerap tertinggal dari aspek teknologi, baik itu teknologi produksi, pengemasan, hingga pemasaran. Faktor tersebut ditengarai sebagai penyebab sulitnya UMKM Indoensia bersaing, setidaknya di kancah Asia Tenggara.
Agar bisa bersaing di MEA, UMKM wajib meningkatkan daya saing produk dan layanan mereka, hingga memperluas jaringan kerja sama maupun akses pasar.
Selain itu, pelaku UMKM juga dituntut untuk meningkatkan kapasitas mereka dengan mempelajari regulasi dan standar internasional di pasar ASEAN.
Karena itu, pemerintah pun berupaya mengedukasi UMKM untuk mengatasi problem itu. Tujuannya jelas, agar mereka bisa memanfaatkan seoptimal mungkin soal keuntungan dari keterbukaan hubungan antarnegara Asia Tenggara, lewat Masyarakat Ekonomi ASEAN.
”Berbagai persiapan infrastruktur, pengembangan produk, hingga promosi online maupun offline itu memang dirancang untuk menembus pasar ASEAN, itu terus dilakukan,” ungkapnya.
Di sisi lain, strategi memfasilitasi akses pembiayaan hingga penguatan jaringan kerja sama UMKM di ASEAN, juga dilakukan oleh pemerintah.
”Tapi, pelaku UMKM juga harus punya komitmen dan inisiatif meningkatkan daya saing hingga mengembangkan bisnisnya supaya bisa bersaing di regional yang semakin terbuka ini,” tuturnya.
Sementara itu, Reni menyebut, terkadang belum ada komitmen yang kuat dari pelaku usaha untuk berkembang dan meningkatkan daya saing.
Misalnya, masih banyak IKM yang enggan membuka lapak di e-commerce, dan chanel digital lainnya.
”Keadaan itu yang membuat kita melakukan sistem jemput bola untuk meningkatkan produktivitas mereka,” serunya.
Artinya, dari penuturan Reni, pemerintah bisa dibilang punya niat untuk mendongkrak setinggi mungkin produktivitas dan kualitas produk pelaku UMKM.
Hanya saja, dalam membina pelaku UMKM agar bisa bersaing di pasar Asia Tenggara, setiap kementerian/lembaga terkait punya cara masing-masing.
Misalnya di Kemenperin, Reni menjabarkan pihaknya secara umum menjalankan program yang memudahkan pelaku IKM untuk mendapat bahan baku, hingga peralatan produksi yang mumpuni.
Kemudian, pengenalan literasi digital mengingat proses bisnis yang akan lebih efisien jika diikutidengan modernisasi, hingga memacu kapabilitas SDM dari pelaku usaha.
”Capacity building juga kita upgrade, hingga perlindungan (hukum) terhadap produk turut kita kenalkan,” imbuh Reni.
Perluasan Pasar
Sementara untuk perluasan jaringan pasar, Ditjen IKMA hingga kini secara proaktif melakukan edukasi soal ekspor ke pelaku IKM, dengan harapan memotivasi mereka untuk menjajal pasar luar negeri.
Beriringan dengan itu, Reni menyebut pihaknya beberapa kali telah mengikutsertakan pelaku usaha ke pameran bertaraf internasional.
“Tapi memang yang terpenting itu adalah komunitas. Misalnya kita terkendala kontainer, dengan adanya kelompok itu bisa membuat biaya jauh lebih murah karena kalau sendiri, biayanya besar,” ucapnya.
Sementara di Kementerian Perdagangan, pembinaan UMKM untuk scaling up bisnis mereka lebih condong ke pemanfaatan akses digital.
Salah satunya, ialah program Fasilitator Edukasi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertujuan menghasilkan tenaga pengedukasi e-commerce kepada pelaku UMKM.
Dengan adanya program itu, Isy Karim menyebut tenaga fasilitator bisa punya peran yang lebih dalam membantu dan mendampingi UMKM supaya lebih paham semua seluk-beluk penjualan daring.
Tenaga fasilitator itu, sambungnya, diharapkan tersebar di daerah-daerah yang menjadi fokus pengembangan ekosistem e-commerce.
“Mereka bisa berasal dari universitas, badan kewirausahaan kampus, inkubator bisnis dan tech-startup, komunitas wirausaha, komunitas bisnis, dan lain-lain,” tandasnya.
Singkatnya, tenaga fasilitator diharapkan bisa memiliki kemampuan untuk membangun awareness PMSE bagi pelaku usaha di daerah, membangun pembelajaran PMSE yang profesional, membangun brand bagi usaha di daerah, melakukan pendampingan legalitas usaha, membangun akses pasar dan pemasaran di PMSE, hingga menggarap ekspor lewat platform digital.
Sementara soal ekspor, Isy menjelaskan, pihaknya turut memberikan fasilitasi promosi melalui InaExport, yakni platform pelayanan satu pintu fasilitasi ekspor nonmigas dalam rangka menghubungkan pelaku usaha atau eksportir Indonesia ke buyer internasional.
“Tak hanya menawarkan keuntungan dan membantu penjualan, InaExport juga membantu UMKM orientasi ekspor agar mendapatkan akses dan informasi terkait kebutuhan calon pembeli di luar negeri,” pungkas Isy.
Kesadaran Untuk Berkembang
Sepaham Isy dan Reni, Dewi mengakui, pemerintah tak bisa bekerja sendirian untuk membina UMKM. Dia menilai pelaku UMKM pun harus punya kesadaran untuk berkembang.
Apalagi dalam hal mengoptimalkan potensi MEA, sulit rasanya dicapai jika mereka tidak menunjukkan kerja keras.
”Mana mungkin tembus pasar ASEAN jika tanpa desain dan kemasan yang bagus? Artinya kalau dia adalah tipe pengusaha yang sedikit-sedikit mengeluh, memang itu potensinya hanya di komplek (perumahan) saja,” tegas Dewi.
Sejatinya, kata Dewi, persoalan pengembangan UMKM tak sebatas dari program pemerintah yang berjalan kurang efektif, melainkan juga minimnya kesadaran pelaku usaha untuk berkembang.
Dewi mengakui masih banyak pengusaha yang malas meningkatkan kualitas diri, di mana mereka menginginkan hasil instan tanpa ingin merasakan jatuh bangun perjalanan bisnis.
Jadi, tantangan UMKM sebenarnya adalah kualitas SDM dari sang pemilik atau founder. Karena itu, Dewi kerap mengusulkan ada program beasiswa kewirausahaan, sehingga pelaku bisnis bisa belajar lebih serius untuk menumbuhkembangkan usaha mereka.
Skema pembinaan atau pelatihan yang hanya sekelebat, menurutnya tidak akan berdampak sedikitpun terhadap kinerja UMKM.
“Mental kita masih jauh dengan orang Thailand dan Singapura. Mungkin, tidak sebanding dengan seujung kuku mental mereka. Untuk tembus MEA dan bisa bersaing, pendekatan harus dengan beasiswa, tidak bisa bimtek atau ikut pameran sekali dua kali, lalu business matching, ujung-ujungnya hanya bikin malu,” tandasnya.