28 Januari 2025
18:42 WIB
Trump Jilid 2 Akan Pasang Tarif Impor Tinggi, Ekonom: Persulit Akses Ekspor RI
Ekonom menilai terdapat kemungkinan AS memberlakukan hambatan perdagangan berupa tarif impor tinggi secara langsung ke Indonesia, dan akan mempersulit akses ekspor ke negara tersebut.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Ilustrasi Trump Bawa AS Fokus ke Energi Fosil.Shutterstock/Ded Pixto,Jonah Elkowitz
JAKARTA - Lembaga riset Center of Reform on Economics (CORE) menilai masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kedua kalinya ini berpotensi mempersulit penetrasi pasar ekspor Indonesia ke negara adidaya tersebut.
Pasca pelantikan sebagai presiden, Trump kerap mengeluarkan pernyataan yang cukup menggemparkan global. Di antaranya, pengenaan tarif impor tinggi, tidak mendukung pengembangan kendaraan listrik dan berbalik ke energi fosil, hingga keluar dari perjanjian iklim Paris dan menarik diri dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Khusus perdagangan, Presiden Trump berencana mematok tarif impor yang lebih tinggi ke depannya. Ada beberapa negara yang sudah dibidik, antara lain China, Meksiko dan Kanada.
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal pun mencontohkan, AS akan memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang yang diimpor dari China. Rencananya, ada pengenaan tarif bea masuk sebesar 10% per 1 Februari 2025.
Presiden Trump juga berencana untuk mengenakan tarif impor sebesar 25% pada Kanada dan Meksiko pada Februari mendatang.
Baca Juga: Trump Deklarasi Darurat Energi Nasional, Janjikan Kebangkitan Bahan Bakar Fosil AS
Namun tak hanya tiga negara tersebut, Faisal menilai AS akan menyasar negara-negara penyumbang defisit untuk dikenakan tarif impor tinggi. Defisit neraca perdagangan berarti kondisi impor lebih tinggi dari ekspor.
"Kemudian untuk Trump jilid 2 bukan hanya menyasar China, tapi juga negara-negara penyumbang defisit cukup besar selain China sekarang juga disasar, seperti Vietnam dan Meksiko," ucapnya kepada Validnews, Selasa (28/1).
Kebijakan baru soal penetapan tarif impor tinggi bakal berdampak negatif, termasuk ke Indonesia. Salah satunya, RI berpotensi kesulitan mengakses pasar ekspor AS.
"Pengenaan tarif semua negara termasuk Indonesia akan kena dampak negatifnya. Makin tinggi tarif yang dikenakan, makin besar juga dampaknya terhadap potensi berkurangnya penetrasi ekspor ke Amerika," ujarnya.
Sebagai informasi, data Kementerian Perdagangan menunjukkan Indonesia mengantongi surplus neraca perdagangan dengan AS. Pada 2023, nilai surplusnya mencapai US$11,96 miliar. Meski turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$16,56 miliar, namun pada periode 2019-2023 tren surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai 12,36%.
Untuk 2024, sepanjang Januari-November, nilai surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$12,82 miliar atau tumbuh 18,12% dibandingkan Januari-November 2023.
GSP
Hingga saat ini, Trump belum mengumumkan untuk mengerek tarif impor dari negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Namun, Faisal tetap mewaspadai kebijakan baru yang bakal diterbitkan Presiden AS itu.
"Intinya, tetap akan mempersulit akses pasar ekspor ke Amerika Serikat. Itu untuk tarif umum, belum lagi Generalized System of Preferences (GSP)," tuturnya.
Baca Juga: Donald Trump Putuskan AS Keluar Dari Perjanjian Iklim Paris 2016
GSP merupakan program unilateral yang memberikan tarif impor rendah kepada negara-negara berkembang dan miskin. Manfaat GSP bagi Indonesia, yakni dapat meningkatkan ekspor produk ke pasar AS.
Faisal mengaku khawatir apabila ke depannya AS akan memberikan hambatan tarif kepada Indonesia. Sebagai contoh, menganulir atau mengurangi program GSP.
"GSP itu special tariff yang diberikan ke negara miskin dan berkembang, yang sekarang dinikmati produk ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) kita, alas kaki juga. Dengan GSP dikurangi atau dihambat, ini akan mempersulit akses pasar ekspor ke Amerika," tutup Faisal.