c

Selamat

Selasa, 23 April 2024

EKONOMI

01 Juli 2021

20:03 WIB

Terganjal (Lagi) Oleh Pandemi

Pemerintah optimistis dengan target pertumbuhan ekonomi. Pengamat, sebaliknya merasa sangsi.

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Fitriana Monica Sari,

Editor: Fin Harini

Terganjal (Lagi) Oleh Pandemi
Terganjal (Lagi) Oleh Pandemi
Pembeli di Pasar Kebayoran, Jakarta, Kamis (1/7/2021). Konsumsi masyarakat menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi. ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga

JAKARTA–Setelah menggodok secara matang dan mempertimbangkan masukan banyak pihak, pemerintah pusat memastikan memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat untuk Pulau Jawa dan Bali.

Kebijakan yang berlaku mulai tanggal 3–20 Juli 2021 tersebut diumumkan oleh Presiden Joko Widodo melalui YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (1/7).

"Saya memutuskan untuk memberlakukan PPKM darurat sejak tanggal 3 Juli hingga 20 Juli 2021 khusus di Jawa dan Bali," kata Jokowi.

Nantinya, PPKM darurat akan membatasi aktivitas-aktivitas masyarakat secara lebih ketat. Kepala Negara menyebut, kebijakan tersebut ditempuh dalam merespons lonjakan kasus covid-19 beberapa waktu belakangan dan penyebaran varian baru virus corona.

Beberapa hari belakangan, kasus covid-19 memang benar kian melonjak. Kian mengkhawatirkan. Teranyar, Rabu (30/1) kemarin, penambahan kasus terkonfirmasi positif covid-19 harian di Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi, yakni mencapai 21.807 orang.

Total kumulatif kasus yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu menembus 2.178.272 orang.

Lonjakan ini dikhawatirkan bakal mengganggu pemulihan ekonomi. Bahkan, Pemerintah pesimistis target maksimal pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2021 yang telah diproyeksikan yakni sebesar 8,3% secara tahunan atau year on year/yoy dapat tercapai.

"Waktu bulan lalu kami menyampaikan proyeksi kuartal II kita antara 7,1 hingga 8,3. Seiring dengan kenaikan covid-19, upper end-nya mungkin akan lebih rendah," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Senin (21/6).

Sering Meleset
Sejatinya, bukan hal baru jika nantinya target pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 tak mencapai target. Pasalnya, tahun-tahun sebelumnya target pertumbuhan ekonomi juga meleset.

Tahun 2019, misalnya, pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Namun realisasinya, hanya mencapai 5,02%. Padahal kala itu, belum terjadi pandemi covid-19.

Begitupun dengan tahun berikutnya, Pemerintah menargetkan Indonesia akan menjadi negara dengan penghasilan tinggi atau high income pada 2045.

Untuk mencapai target tersebut, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam ringkasan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,4% hingga 6,0%. Dalam rancangan RJPMN itu, ekonomi nasional pada 2020 ditargetkan tumbuh 5,3%. 

Namun di luar dugaan, karena adanya dampak pandemi, Bendahara Negara akhirnya merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 menjadi di kisaran minus 2,2% hingga minus 1,7%. Realisasinya ternyata masih macet, dengan kontraksi minus 2,07%.

Tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam RAPBN 2021 dipatok sebesar 4,5–5,5%. Akan tetapi, pemerintah melalui Menkeu lantas merevisi pertumbuhan ekonomi pada 2021 menjadi berada di rentang 4,5–5,3%. Angka tersebut lebih rendah dari target semula.

Nyatanya, pada kuartal I-2021, ekonomi masih belum mampu mencapai pemulihan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan angka positif. Ekonomi masih mengalami kontraksi sebesar minus 0,74%.

Jika menyelisik lebih jauh ke belakang, pertumbuhan ekonomi nasional selama sepuluh tahun terakhir kurang menggembirakan karena tren penurunan. Kondisi itu makin diperparah pada 2020 akibat penyebaran virus corona.

Mulanya, pertumbuhan ekonomi pada 2010 sebesar 6,22%. Tahun 2011, turun tipis 0,05% menjadi 6,17%. Selanjutnya pada tahun 2012, turun lagi sebesar 0,14% ke 6,03%.Tahun 2013, melemah 0,47% ke angka 5,56%. Tahun 2014, anjlok sebesar 0,55% menjadi 5,01%. Lalu, tahun 2015, turun 0,13% ke 4,88%.

Pelemahan terhenti pada tahun 2016, dengan naik 0,15% menjadi 5,03%. Tahun 2017, menguat 0,04% ke 5,07%. Puncaknya pada tahun 2018, tumbuh 0,10% menjadi 5,17%. Sayangnya, pada 2019, berbalik turun 0,15% ke angka 5,02%.

Pada tahun 2020, anjlok sebesar 7,09% menjadi minus 2,07%. Pandemi covid-19 menjadi biang kerok, membuat proses pemulihan ekonomi nasional makin lama.

Nasib Perekonomian
Meski pesimistis target maksimal tak tercapai, namun Menkeu Sri Mulyani menekankan ekonomi pada kuartal II-2021 akan tinggi. Sebab, beberapa indikator utama atau leading indicator menunjukkan adanya proses pembalikan dan pemulihan ekonomi.

Karena basis realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2020 yang terkontraksi dalam yakni minus 5,3% yoy maka sangat memungkinkan kuartal II-2021 tumbuh positif.

Apalagi, pada kuartal I-2021, ekonomi Indonesia sudah keluar dari zona merah.

"Jadi ini tentu di satu sisi adalah rebound atau natural base effect yang terjadi. Di sisi lain juga menggambarkan memang ada geliat perekonomian," katanya.

Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah akan tetap melihat faktor yang menopang dan mendukung pemulihan ekonomi, yaitu pengendalian wabah, vaksinasi, serta protokol kesehatan.

Sejumlah narasumber di Kementerian Keuangan punya optimisme sama. PPKM darurat yang akan diberlakukan mulai 3 Juli 2021 nanti, baru akan berasa dampaknya pada ekonomi kuartal III.

"Kuartal II sudah lewat, berarti enggak meleset. Kuartal III yang akan kena dampak," kata salah satu pejabat di Kemenkeu kepada Validnews melalui pesan singkat, Kamis (1/7).

Konsekuensi diberlakukannya PPKM darurat lebih lama, adalah kontraksi pada ekonomi kuartal III. Namun walau diprediksi turun, Kemenkeu tetap optimis ekonomi di kuartal III-2021 tetap positif, tidak minus seperti di periode yang sama tahun sebelumnya, yakni terkontraksi minus 3,5%.

Dia menambahkan, semua sektor mulai bergerak di kuartal II, meskipun beberapa masih di zona negatif. Pemerintah sendiri juga akan kembali memberi bantuan sosial.

Sejumlah pengamat mengungkapkan sebaliknya; pesimis. Perkembangan kasus covid-19 yang kembali melonjak belakangan ini, bakal menjadi faktor yang cukup menentukan kondisi perekonomian.

Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia melihat, penambahan kasus covid-19 akhir-akhir ini dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi di Indonesia.

Bahkan, Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan kepada Validnews, Rabu (30/1), penambahan kasus menghalangi target pertumbuhan ekonomi yang disasar pemerintah di kuartal II-2021.

"Dengan terjadinya (kenaikan kasus covid-19) di Juni, menurut saya, peluang pertumbuhan ekonomi untuk kemudian bisa mencapai 7% seperti yang diproyeksikan pemerintah itu besar kemungkinan tidak akan terjadi," ujar Yusuf.

Namun, lanjut dia, karena kuartal II sudah melewati bulan April dan Mei, di mana kinerja ekonomi di bulan tersebut tidak begitu jelek, artinya peluang untuk bisa tetap tumbuh di kuartal II itu masih ada.

Dengan melihat kondisi seperti sekarang, CORE memproyeksikan maksimal pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2021 akan berada di kisaran 4%-an.


Ekonom Bank Permata, Josua Pardede berpersepsi sama. Menurutnya, pada April–Mei 2021, tanda-tanda pemulihan cukup signifikan. Sementara baru beberapa hari terakhir ini mulai berkurang lagi mobilitas masyarakat.

Ujungnya, pada bulan Juni angkanya tidak sebaik April dan Mei. Namun, hal itu dinilainya tidak memengaruhi cukup signifikan kinerja ekonomi kuartal II-2021. Ia memprediksi ekonomi kuartal II masih ada di kisaran 5-6%.

"Dengan adanya momentum lebaran, stimulus dari pemerintah untuk bansos, berbagai insentif, pembayaran THR, karena momentum itu lah kondisi yang cukup positif April-Mei ini bukan berarti bisa dihapuskan oleh kondisi di bulan Juni. Memang tentunya melambat, tapi artinya lebih rendah dari perkiraan awal sebelumnya," tuturnya kepada Validnews, Selasa (29/6).

Kepala Ekonom BCA, David Sumual memproyeksi pessimistic scenario pertumbuhan ekonomi kuartal II berada di angka 6%.  

Sementara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menaksir pertumbuhan paling rendah, yakni 2-4%.

Meski sama-sama di CORE, Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal dan Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah justru memiliki jawaban berbeda. Faisal memproyeksi ekonomi kuartal II tumbuh 4%, sementara Piter memproyeksi bakal tumbuh 3–4%.

Akan tetapi, para pengamat punya pandangan sama. Hampir semua sektor bakal tumbuh atau membaik di kuartal II, seperti sektor yang berkaitan ekspor impor, konsumsi rumah tangga, makanan dan minuman, jasa infokom, pertanian, industri manufaktur, konstruksi, perdagangan, dan jasa kesehatan. Yang terdampak parah, seperti perhotelan, juga diprediksi tumbuh.

Dampak PPKM
Sementara, soal PPKM darurat yang akan diberlakukan mulai lusa, sejumlah pengamat menitik-beratkan pada efektivitas dalam fungsi pengawasan. Jika selama 3–20 Juli 2021 PPKM darurat di Pulau Jawa dan Bali ternyata efektif serta cepat menekan angka penyebaran kasus covid-19,  pasti berkonsekuensi pada ekonomi pulih lebih solid. Begitupun sebaliknya.

“Jika kasus harian tidak mengalami penurunan atas pemberlakuan PPKM darurat yang skala lebih ketat lagi, yang terjadi justru ekonomi makin menurun di kuartal III. Ekonomi perkiraan bisa negatif hingga minus 0,5–minus 1% di kuartal III-2021 akibat pemberlakuan dari PPKM,” jelas Bhima kepada Validnews, Kamis (1/6).

Mirisnya bila kasus hariannya masih tinggi, ditambah okupansi di rumah sakit tinggi dan biaya kesehatan bengkak, kegagalan PPKM akan berimbas berat.

Pemutusan hubungan kerja atau PHK massal, khususnya di sektor-sektor yang pembatasan sosialnya diperketat, seperti sektor ritel, makanan dan minum, industri manufaktur, serta perdagangan dan logistik, ada di depan mata.

Namun, memperpanjang PPKM darurat juga punya dampak. Dengan diberlakukannya PPKM darurat, konsumsi masyarakat berpeluang untuk melambat dibandingkan periode sebelumnya. Pada saat sama, ada kewajiban pemerintah yang harus dilakukan.

“Bantuan masyarakat dari pemerintah itu menjadi esensial untuk menjaga konsumsi mereka untuk tetap berada di level yang relatif baik,” ungkap Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet.

Kemudian, lanjut dia, dana pemulihan ekonomi nasional atau PEN untuk perlindungan sosial juga menjadi menu wajib yang harus disediakan pemerintah ketika mengeluarkan kebijakan PPKM darurat.

Adapun, sektor yang esensial tetapi membutuhkan bantuan dari pemerintah adalah sektor transportasi. Pemerintah juga bisa fokus pada sektor penyediaan akomodasi makanan dan minuman. Karena, dengan kebijakan PPKM darurat, sektor ini akan terdampak cukup hebat.

Hal yang juga perlu diperkuat adalah pertanian. Menariknya, terdapat tren masyarakat yang sebelumnya bekerja di kawasan industri terdampak pandemi, kemudian memutuskan tinggal di kawasan pertanian.

Berdasarkan data yang dimiliki Celios, serapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami kenaikan menjadi 29,5% per Februari 2021, lebih tinggi dari porsi pada Februari 2020 lalu, yakni 29,2%.

Pengembangan sektor pertanian dinilai dapat menurunkan gap ketimpangan antara desa dan kota yang punya dampak tautan banyak.  

Integrasi pengembangan sektor digital juga bisa jadi sasaran fokus perhatian. Digitalisasi identik dengan sektor jasa, tetapi industri manufaktur pun butuh teknologi untuk meningkatkan efisiensi sekaligus output.

Salah satu yang jelas harus diingat ini adalah momentum emas bagi pengembangan sektor pertanian dengan teknologi modern.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar