14 April 2023
20:20 WIB
Editor: Fin Harini
SOLO – Minggu sore di jalur pedestrian Ngarsopuro, Solo, Anastasia Kartika Santati duduk menghadap sebidang alat tenun. Jemarinya lincah tak henti bergerak.
Sebentar dia memajukan deretan bilah-bilah plastik yang terselip di antara helaian benang yang terpasang memanjang pada alat tenun tersebut.
Sejurus kemudian, usai menyelipkan benang menyilang pada helaian memanjang, dia kembali memundurkan bilah-bilah plastik tersebut. Berulang kali, bilah plastik itu maju mundur. Tak lama, sehelai kain dengan motif cantik pun terwujud.
“Untuk tenun kartu, mesinnya memang di kartu ini. Jadi, kartu ini yang membentuk motif yang kita inginkan,” papar Anas, sapaan akrabnya, kepada para pengunjung Solo Art Market (SAM) yang mampir ke booth miliknya, beberapa waktu lalu.
SAM, yang menjadi ajang pengrajin menggelar karyanya, rutin digelar setiap pekan pertama dan ketiga di jalur Pedestrian Ngarsopuro. Anas menjadi salah satu seniman yang turut memamerkan karya-karyanya.
Sembari mendemonstrasikan cara menenun, Anas kerap menjelaskan rinci proses pembuatan tenun kartu kepada pembeli yang mampir.
Tak berbeda dengan proses menenun pada umumnya, terdapat benang pakan dan benang lungsing atau lusi. Benang lungsin adalah benang tenun yang disusun sejajar memanjang. Pada deretan benang lungsin ini lah benang pakan diselipkan.
Karena itu, benang lungsin dipasang kencang dengan diikat di kedua ujungnya, agar proses memasukkan benang pakan lebih mudah. Deretan benang ini yang akan menentukan lebar kain yang diinginkan.
Bedanya dengan tenun lainnya, ada bilah-bilah berbentuk segi empat yang disematkan di benang lungsin pada tenun kartu. Ada lubang di tiap sudut bilah tersebut, tempat benang lungsin “berpegangan”. Bilah-bilah inilah yang disebut kartu, karena memang bentuknya mirip kartu.
Pergerakan kartu ini lah yang akan menciptakan motif yang diinginkan. Misalnya, untuk membentuk motif melengkung, kartu nomor berapa saja yang harus diarahkan maju, dan kartu mana yang mundur. Tentunya, susunan warna benang pada benang lungsin juga berpengaruh pada pembentukan motif.
Kepada Validnews, Anas menceritakan bagaimana dia kini mahir menenun. Sebenarnya sang suami yang terlebih dulu mengenal teknik tenun kartu. Anas kemudian melihat hasil tenun kartu sangat cocok untuk melengkapi produk tas rajut atau crochet tapestri, kerajinan yang sudah lebih dulu ditekuni.
Tapestri adalah teknik merajut menggunakan aneka warna benang untuk menghasilkan motif. Umumnya tenik ini akan menghasilkan hasil rajutan yang cukup tebal dibandingkan rajutan biasa. Pasalnya, pada teknik yang biasa, hanya digunakan satu benang saja, tapi tapestri menggunakan beberapa benang.
Anas menyebut hasil tenun kartu juga memiliki motif yang mirip tapestri. Hanya lebih tipis. Karena itu, dia menilai, strap atau tali dari tenun akan jadi pelengkap yang pas untuk tas tapestri bermotif etnik.
Ana pun mewujudkan niat mendalami seni memenun pada 2019. Saat itu, Anas yang belajar secara otodidak mulai mencari referensi ilmu menenun dari berbagai sumber. Salah satunya lewat buku bertajuk Tablets At Work karya Claudia Wollny.
“Bisa dibilang ini seperti kitab sucinya tenun kartu,” ujarnya soal buku yang sarat tentang pengetahuan soal tenun kartu itu.
Makin belajar, semakin dia ingin mengetahui seluk beluk tenun kartu. Dia pun merogoh kocek untuk membeli buku terbitan luar negeri lainnya. Dari buku inilah dia mengetahui teknik tenun kartu telah digunakan suku Mamasa di Sulawesi Barat.
“Kartunya terbuat dari tanduk kerbau. Jadi makin ke sini, makin sadar ternyata nenek moyang kita luar biasa,” imbuhnya.
Ciptakan Alat
Hasil karya pertama yang jauh dari kata rapi membuat Anas terus mencoba keahlian baru ini. Seiring waktu, dia semakin piawai membaca pola, memperkirakan kebutuhan benang yang diperlukan untuk menghasilkan hasil tenunan sesuai panjang dan lebar yang diinginkan.
Tak lama, dia juga kian mahir memadu-padankan warna agar motif yang dihasilkan terlihat “muncul”.
“Sama seperti merajut, ini kerajinan yang sangat matematis. Kita harus menghitung berapa kali maju lalu berapa kali mundur untuk menciptakan motif,” katanya.
Hal lain yang dikulik Anas adalah alat untuk memudahkan produksi. Menurut Anas, komponen penting dari tenun kartu adalah kartunya. Jadi sebenarnya tidak diperlukan alat tenun khusus. Asal ketegangan benang lungsin cukup, kegiatan menenun bisa dilakukan.
“Jadi enggak perlu alat sebenarnya. Bahkan ada yang mengikatkan ujung benang lungsin ke pintu atau kursi, lalu ujung lainnya diikat ke pinggang penenun, itu udah bisa,” paparnya.
Hanya saja, cara ini dianggap Anas justru menyulitkan. Dia tak bisa duduk lama di lantai. Dia harus sering berhenti menggarap tenunnya. Saat melepas benang lungsin dari pinggang pun perlu kehati-hatian agar benang tidak kusut.
Karena itu, Anas dan suami mulai mencari-cari alat yang tepat. Berganti-ganti, perbaikan sana sini, hingga akhirnya terciptalah alat sesuai yang dimaui Anas.
“Ini generasi kelima alat tenunnya,” ucap Anas.
Alat temuan Anas dan suaminya ini berupa bidang, yang dilengkapi satu penjepit benang lungsin di sisi yang dekat dengan tubuh penenun. Di ujung satu lagi, benang dibiarkan menjuntai dan diberi pemberat berupa baut-baut untuk menciptakan ketegangan benang.

Ciptakan Produk
Urusan alat selesai, Anas makin lancar memproduksi tenun kartu. Berbagai motif dihasilkan. Ukurannya bermacam-macam. Namun, pertanyaan lain muncul, selain untuk strap tas, apa lagi kegunaan kain hasil tenun kartu ini?
“Saat SAM seperti ini, saya sering ditanya konsumen ‘ini bisa dipakai jadi apa saja?’ Kalau suku Mamasa memang membuat hanya sepotong kain gitu, mungkin buat hiasan pakaian. Jadi saya mulai mikir, ini bagusnya dipakai untuk apa, kegunaannya apa,” katanya.
Strap tas pun berkembang menjadi strap kamera. Lalu, Anas berinovasi membuat gelang, gantungan kunci hingga gantungan kartu atau lanyard dari tenun kartu.
Ide-ide pemakaian tenun didapatkan dari internet. Dia mengaku merasa terbantu dengan ketersediaan ide di ‘perpusatakaan besar dunia maya’ itu. “Tapi, memang permintaan konsumen juga membuat produk berkembang,” imbuhnya.
Anas menetapkan harga produk sesuai dengan ukuran. Harga strap dibanderol mulai dari Rp275.000, tergantung lebar dan panjangnya. Sementara, harga gelang mulai dari Rp20.000 dan lanyard Rp125.000. Konsumen bisa custom panjang dan lebar, serta motif dan paduan warna yang diinginkan.
Keunikan produk dari tenun kartu ini membuat minat konsumen cukup tinggi.
Untuk memperoleh pesanan yang diinginkan, antriannya sudah mencapai tiga bulan. Maklum, produksi dilakukan secara manual dan memakan waktu. Sebagai gambaran, untuk gelang dengan lebar kurang lebih 1 cm, Anas hanya bisa memproduksi kisaran 5-6 buah per hari.
Hingga kini Anas masih nyaman memasarkan produknya lewat Instagram @anastasiacraft.id. “Tak punya toko offline. Tokonya ya SAM ini,” katanya sambil tertawa.
Karena proses produksi yang cukup panjang ini, omzet yang bisa diraup Anas masih terbatas. Per bulan, omzet dari kerajinan tenun kartu ini masih di bawah Rp5 juta. Biar begitu, ini tak membuatnya risau. Kualitas tenun yang dihasilkan, dan kepuasan pembeli cukuplah buatnya, sementara ini.