07 Juli 2021
16:43 WIB
Penulis: Zsasya Senorita
JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, dua pendorong terkuat untuk transisi energi yang sedang berlangsung adalah teknologi digital dan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Karena itu, untuk menjaga stabilitas sistem ketenagalistrikan dan mengakomodasi peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, diperlukan digitalisasi dan modernisasi infrastruktur kelistrikan
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial menuturkan, upaya digitalisasi dan pemanfaatan teknologi informasi komunikasi juga dilakukan melalui pendekatan Internet of Things (IoT), contohnya Smart Grid yang memungkinkan adanya komunikasi antara supply dan demand listrik. Implementasi smart grid sendiri disebutnya telah masuk dalam perencanaan pemerintah.
“Implementasi Smart Grid telah masuk sebagai program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” terangnya secara tertulis, Rabu (7/7).
Hingga saat ini, terdapat lima lokasi pengembangan smart grid yang telah dilakukan di Sistem Jawa Bali. Meliputi Advance Metering Infrastructure (AMI) untuk pelanggan PLN di Jakarta, serta Digital Substation Sepatan II, Digital Substation Teluk Naga II, Reliability Efficiency Optimization Center (REOC) pada sistem milik Indonesia Power.
Kemudian Remote Engineering, Monitoring, Diagnostic and Optimization Center (REMDOC) pada sistem milik PT PJB.
Wacana Super Grid Nusantara juga disebut Ego sebagai solusi potensial untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan, dengan tetap menjaga sistem kelistrikan yang stabil dan aman. Super Grid ini akan menghubungkan jaringan listrik antar pulau besar serta Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara.
“Super grid memungkinkan setiap wilayah untuk mengimpor dan mengekspor pasokan listrik di saat adanya krisis kekurangan atau kelebihan energi berbasis EBT,” ucapnya.
Dalam rangka meningkatkan investasi EBT, Ego mengatakan, pemerintah telah memberikan insentif fiskal dan non-fiskal seperti tax allowance, fasilitasi bea masuk, serta tax holiday.
“Kami terus berusaha untuk dapat memberikan bentuk-bentuk insentif dan instrumen keuangan baru dalam meningkatkan minat para investor,” ujarnya.
Ego menyebutkan, untuk mencapai target-target dalam pembangunan EBT, dibutuhkan regulasi yang dapat memberikan kepastian dan keamanan berusaha.
Pemerintah sendiri disebutnya telah membuat Rancangan Peraturan Presiden terkait harga pembelian tenaga listrik EBT dan perbaikan peraturan Menteri ESDM terkait PLTS Atap, serta terus mendorong penyelesaian Rancangan Undang-Undangan EBT.
Pilihan Mutlak
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyatakan, transisi energi adalah pilihan mutlak untuk Indonesia. Ia optimistis, pemerintah mampu berkontribusi optimal dalam menyelesaikan komitmen terhadap adaptasi perubahan iklim pada Paris Agreement.
Percepatan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan diyakini secara cepat membantu menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dan mengerem kenaikan suhu tidak lebih dari 2 derajat celcius.
Dalam lima tahun terakhir, sambung Dadan, EBT dinilai telah menunjukan perkembangan signifikan dalam memberikan sumbangsih terhadap ketenagalistrikan, penggunaan bahan bakar, hingga pemanfaatan secara langsung.
"EBT tidak hanya digunakan untuk listrik, tapi juga bahan bakar. Ada juga yang tidak masuk dua-duanya. Tapi bisa digunakan secara langsung dalam bentuk heat (panas)," jelasnya beberapa waktu lalu.
Dadan menyampaikan EBT mampu menambah kapasitas pembangkit sebesar 2 Gigawatt (GW) dalam lima tahun terakhir. "Angkanya mungkin tidak terlalu besar apalagi untuk target ke depan, tapi bisa menjadikan dua kali lipat," tegasnya.
Melihat realisasi tersebut, Dadan optimis pemerintah mampu menjawab tantangan dalam mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada 2025, dimana pada akhir 2020 lalu telah mencapai 11,3%.
Target ini diyakini dapat tercapai dengan mengakselerasi potensi EBT yang cukup lengkap dan tersebar merata di seluruh Indonesia. Pasalnya pemerintah telah mendata, potensi EBT Indonesia dapat mencapai 400 GW, bila dikonversikan menjadi listrik.
Jumlah tersebut, KESDM nilai, setara 6,5 kali lipat kapasitas pembangkitan saat ini.
Secara rinci, Kementerian ESDM mengumumkan, potensi EBT di Indonesia terdiri dari energi surya 207,8 GW, energi air 75 GW, angin 60,6 GW, bioenergy 32,6 GW, panas bumi 23,9 GW, dan energi gelombang samudera 17,9 GW.
Pemerintah menargetkan penggunaan EBT pada pembangkit di Indonesia pada 2025 akan mencakup 23%. Sementara minyak dan gas masing-masing 25% dan 22%. Sementara, batubara di level 30% dari total kapasitas pembangkit yang diprediksi mencapai 135,5 GW saat itu.