02 Agustus 2022
20:28 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Setidaknya sejak setahun belakangan, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM terus menggelorakan formalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kemudahan penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui online single submission (OSS) pun ditawarkan dengan kepada pelaku usaha.
Kementerian Investasi/BKPM tentu tak bekerja sendirian. Instansi yang dipimpin oleh Bahlil Lahadalia itu berkolaborasi dengan pihak lain, sebut saja Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian BUMN.
Melalui OSS, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa para pelaku UMKM perlu menyempatkan waktu maksimal 30 menit mengurusnya, dan tanpa dipungut biaya untuk mengurus legalitas usaha mereka.
NIB yang diurus oleh pelaku UMK dengan risiko rendah juga akan berperan sebagai perizinan tunggal, termasuk SNI dan sertifikasi halal.
Bahlil menambahkan bahwa 'bagi-bagi' NIB yang dilakukan pemerintah tak lepas dari jumlah pelaku UMKM informal di Indonesia yang nyaris menyentuh 50%. Besarnya porsi yang informal ini menyebabkan penyaluran kredit perbankan terhadap UMKM masih terbilang rendah.
"Atas perintah Pak Erick Thohir (Menteri BUMN), serta kolaborasi dengan Menteri Koperasi dan UKM, kami sekarang kerjanya hanya membagikan NIB kepada nasabah-nasabah supaya mereka mendapat kredit yang layak, salah satunya lewat KUR," ucap Bahlil saat membagikan NIB di Jakarta, pertengahan Juli lalu.
Geliat warga menyambut kemudahan ini memang signifikan. Catatan Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan sejak 4 Agustus 2021 hingga 28 Juli 2022 kemarin, telah terbit sebanyak lebih dari 1,6 juta Nomor Induk Berusaha melalui OSS. Penerbitan NIB itu terbagi atas beberapa segmen, yakni usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha besar.
Segmen usaha mikro menjadi yang dominan dalam hal penerbitan NIB itu. Bayangkan saja, sebanyak 1,49 juta NIB yang terbit diperuntukkan bagi usaha mikro atau sekitar 92,83%. Sementara usaha kecil hanya 82.683 NIB, usaha menengah 13.585 NIB, dan usaha besar 19.117 NIB.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot Tanjung membeberkan data tersebut kepada Validnews. Secara rinci, ia menyebut sekitar 84,8% pendaftar NIB melalui OSS masuk dalam kategori usaha perseorangan.
"Pelaku (usaha) dalam negeri yang paling banyak dan belum memiliki NIB adalah UMKM, sehingga kami saat ini fokuskan kepada UMKM," ujar Yuliot di Jakarta, Kamis (28/7).
Untuk mempercepat penerbitan NIB, Yuliot mengungkapkan pemerintah punya sederet program yang kemudian diikuti penyerahan perizinan usaha itu di berbagai daerah di Indonesia.
"Pemda dalam hal perizinan berusaha hanya diperbolehkan menggunakan OSS RBA dan tidak boleh membuat sistem sendiri," tegasnya.
Ketidakpastian Pembiayaan
Gaung formalisasi UMKM memang terus digalakkan oleh pemerintah, setidaknya dalam setahun terakhir. Nomor Induk Berusaha pun digadang-gadang punya beragam manfaat bagi para pelaku usaha, mulai dari kemudahan akses kredit, akses pasar lewat pengadaan barang/jasa pemerintah, ataupun perlindungan hukum.
Sistem OSS Risk Based Approach (RBA), kata Yuliot, bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mengurus legalitas usaha mereka. Layanan berbasis web itu bisa diakses lewat medium PC ataupun smartphone, selama ada sambungan internet.
"Dengan adanya legalitas usaha, UMKM akan mendapat pembinaan, akses pasar untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta akses pembiayaan usaha," tuturnya.
Tak sekadar kemudahan mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR), UMKM yang telah mengantungi NIB bisa mengakses pembiayaan dari perbankan umum mengingat Kementerian Investasi/BKPM telah menjalin koordinasi aktif dengan bank-bank BUMN dan perbankan lain.
"(Pembiayaan.red) yang bisa diakses KUR dan perbankan umum. Kami sudah kerja sama dengan perbankan, termasuk dengan bank-bank BUMN," sebutnya.
Apa yang diklaim pemerintah ternyata tak diamini pelaku usaha. Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (AKUMINDO) Edy Misero menyayangkan kondisi di lapangan sedemikian manis.
Edy mengungkapkan bahwa saat ini institusi perbankan yang konvensional atau pemegang kebijakan pelaksana KUR masih memberikan persyaratan lain di luar kepemilikan NIB.
Kebijakan untuk membebaskan agunan pada kredit di bawah Rp100 juta pun masih belum terimplementasi dengan baik. Perbankan masih tetap meminta agunan berapapun besaran kreditnya. Hal ini tentu memberatkan para pelaku UMKM yang tak punya banyak aset.
"Ada iming-iming bahwa bisa mendapatkan bantuan KUR, apa benar? Karena persyaratan untuk bantuan KUR sendiri itu walaupun pada tingkat yang tidak besar, namun ternyata tak semudah itu," terangnya kepada Validnews di Jakarta, Senin (1/8).
Sepaham, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (AKUMANDIRI) Hermawati Setyorinny mengamini bahwa para pelaku UMKM tak memperoleh kemudahan persyaratan mengakses pembiayaan, sekalipun sudah mengantongi NIB.
Kriteria usaha produktif minimal enam bulan, usia pelaku usaha 21-60 tahun, hingga lolosnya tahapan Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) dan Sistem Informasi Layanan Keuangan (SILK) nyatanya masih dipersyaratkan kepada UMKM.
"Jadi seandainya punya NIB, tapi tidak lolos (persyaratan) ya sama saja tidak bisa mendapat pembiayaan, bahkan setelah punya NIB," kata Hermawati.
Oleh karenanya, Edy Misero meminta pemerintah menata ulang soal NIB ini. Harus ada kejelasan soal manfaat yang diterima oleh UMKM. Jika mereka tak terbantu ketika memiliki NIB, dia yakin para pelaku usaha enggan untuk melegalkan bisnisnya.
Meski begitu, dia tak menampik bahwa kebijakan soal Nomor Induk Berusaha sangatlah positif dan on the right track. Tetapi, pemerintah dimintanya harus mempertajam sosialisasi, akan apa yang para pelaku UMKM dapatkan ketika usaha mereka menjadi formal.

Sosialisasi Dan Pendampingan
Hermawati tak menampik, NIB merupakan kombinasi dari niat baik untuk tujuan yang positif dari pemerintah. Namun, yang terpapar di lapangan, bukan hanya soal ketidakpastian pembiayaan. Ada juga kendala juga terjadi pada faktor sosialisasi. Dia mengungkapkan masih banyak pelaku UMKM di daerah yang belum punya kesadaran akan mengurus NIB.
Diamini, NIB akan membuat negara mengantungi database UMKM yang selama ini berantakan. Tetapi, jumlah 1,6 juta NIB yang terbit dari Agustus 2021-Juli 2022 itu pun tak sebanding dengan populasi UMKM di Indonesia yang mencapai lebih dari 60 juta unit usaha.
Untuk itu, harus ada ajakan terhadap organisasi-organisasi terkait untuk melakukan sosialisasi soal manfaat NIB itu. Dan, selayaknya pendamping harus ditunjuk oleh pemerintah, bukan relawan.
"Negara sulit membuat pendamping sesuai dengan jumlah UMKM. Satu pendamping untuk 100 UMKM pun sulit, sehingga saya sampaikan agar ada ajakan bagi organisasi untuk menyosialisasikan itu," tandasnya.
AKUMINDO memperkirakan baru sekitar 20% UMKM yang melek digital. Catatan itu menjadi cerminan bahwa masih banyak UMKM yang kesulitan mengakses OSS. Menurut Edy, tak mudah bagi mereka (UMKM) yang berpendidikan rendah untuk memahami cara-cara mengurus legalitas usaha mereka.
"Jadi, harus ada pendampingan dimana mereka bisa mengakses NIB masing-masing. Itu yang sedang kita lakukan, ada pendampingan pihak ketiga supaya mereka (UMKM) lebih mudah," jabarnya.
Selain dengan sistem 'jemput bola', Edy pun berharap pelaku UMKM punya inisiatif untuk mengunjungi kantor dinas terkait guna mengurus NIB. Layanan satu atap, lanjutnya, harus berjalan optimal untuk mendampingi UMKM melegalkan usaha mereka.

Seratus Ribu NIB
Sebagai informasi, Kementerian Investasi/BKPM mencatatkan kapasitas penerbitan NIB melalui OSS saat ini ada di angka 7.000-8.000 NIB per harinya. Catatan ini tak membuat Presiden Joko Widodo puas dan meminta agar per hari bisa diterbitkan 100.000 NIB.
Untuk itu, Menteri Bahlil Lahadalia mengajak seluruh pihak terkait, khususnya pemerintah daerah agar mau berkolaborasi memenuhi target ambisius tersebut. Dia yakin target itu dapat terwujud dengan kerja sama yang baik antara bupati, wali kota, gubernur, dan kementerian.
"Presiden Jokowi itu kalau punya target pasti tercapai. Tadinya, saya dikasih target dari 2 ribu NIB menjadi 7 ribu. Begitu 7 ribu tercapai, menjadi 100.000 dan ini adalah tantangan tersendiri," kata Bahlil dilansir dari Antara, beberapa waktu lalu.
Soal target, Edy Misero mengakui bahwa target yang dipatok Presiden Jokowi sangatlah ambisius. Lonjakan target dari capaian yang sudah diraih sangatlah signifikan, yakni dari 7.000-8.000 NIB menjadi 100.000 NIB per hari.
Dia mewanti-wanti, beberapa hal, khususnya soal infrastruktur teknologi harus diperhatikan untuk mencapai target. Apabila belum mendukung, pemerintah wajib memperbaiki aspek tersebut dalam rangka pemenuhan target 100.000 NIB/hari.
"Dari sisi pelaksana pemerintah, infrastruktur sudah memadai atau belum? Ini kan lonjakannya tidak main-main dari 8.000 menjadi 100.000. Kalau infrastruktur teknologi belum mendukung, segeralah perbaiki," pesannya.
Di sisi lain, Edy dan Hermawati lagi-lagi menekankan pentingnya pendamping yang lebih banyak. Beragam organisasi atau asosiasi yang peduli dan concern terhadap keberlangsungan UMKM di Indonesia, bisa jadi mitra. Mereka bisa diajak apabila pemerintah ingin bersinergi.
"Kami siap diajak bersinergi karena kepengurusan kami ada di beberapa kota, menyebar di seluruh Indonesia dengan anggota UMKM-nya," pungkas Hermawati.