c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

29 Agustus 2025

20:33 WIB

Tak ‘Anget-Anget Tahi Ayam” Lestarikan Batik Betawi

Mengendus potensi bisnis dari minimnya batik Betawi, Siti Laela dan Trisulo mendirikan Batik Betawi Terogong. Belasan tahun lewat, bisnis ini berhasil mengatasi tantangan.

Penulis: Ahmad Farhan Faris

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Tak &lsquo;Anget-Anget Tahi Ayam&rdquo; Lestarikan Batik Betawi</p>
<p id="isPasted">Tak &lsquo;Anget-Anget Tahi Ayam&rdquo; Lestarikan Batik Betawi</p>

Siti Laela (62) dan suaminya Trisulo (66) memegang kain Batik Betawi Terogong. ValidNewsID/Ahmad Farhan Faris

JAKARTA – Di sebuah rumah berpagar hijau gang kecil di bilangan Cilandak Barat, tamu hilir mudik datang siang itu. Tak hanya warga lokal, warga negara asing juga kerap bertandang. Tujuan utamanya cuma satu, mencari buah tangan khas Betawi.

Si empunya rumah, Siti Laela (62), seorang pensiunan PNS Guru Bahasa Inggris dan suaminya Trisulo (66) memang menjalankan bisnis batik khas Betawi. Usaha ini diberi nama Batik Betawi Terogong, sesuai nama kawasan tempat pasutri ini berdomisili.

Saat berbincang dengan Validnews, Mpok Laela -sapaan akrab Siti Laela- menceritakan Batik Betawi Terogong yang sudah berdiri dari 2012 semula tak dimaksudkan sebagai bisnis. Saat itu, ia dan keluarga hanya prihatin melihat batik Betawi menghilang, tak ditemukan di pasaran. Banyak batik dijual di Jakarta, tapi justru tak ada batik yang memiliki motif khas Betawi.

Hilangnya batik Betawi dari pasaran itu membuat Mpok Laela dan keponakan, berniat untuk belajar membatik. Di saat bersamaan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat itu dipimpin Fauzi Bowo menawarkan pelatihan batik.

Gayung bersambut, pada 2011, Mpok Laela mengikuti pelatihan membatik yang diadakan Pemprov DKI selama kurang lebih enam bulan.

“Di Jakarta ini banyak dijual batik dari berbagai daerah. Di Jakarta sendiri orang Betawinya dulu pernah punya batik, kemudian enggak ada lagi batiknya. Atas keprihatinan itu, saya berserta keluarga besar ikut pelatihan secara gratis. Setelah pelatihan, tahun 2012, kami mencoba untuk mandiri, membuat batik Betawi Terogong ini. Itu sih awal mulanya,” kata Mpok Laela kepada Validnews pada Kamis (28/8).

Membuka Bisnis
Sejak 2012-2013, Laela bersama keluarga mulai coba praktek membuat batik berbekal ilmu dari pelatihan. Namun, karena semua masih menekuni profesi masing-masing, belum ada keinginan untuk menjadikan Batik Betawi Terogong sebagai bisnis.

"Kita buat batik aja, profesi utama saya guru mengajar Bahasa Inggris di SMK. Suami saya bekerja di perusahaan swasta, dan ponakan-ponakan saya pun bekerja. Jadi ketika kita mendirikan batik, itu enggak semata-mata untuk bisnis dulu," ungkap Laela.

Namun, setelah satu tahun membuat Batik Betawi, Laela mengaku mulai timbul keinginan untuk menjual produknya itu. Akhirnya, ia menyemangati keponakan-keponakannya untuk merintis bisnis Batik Betawi.

"Kita coba aja, Insya Allah kalau kita usaha, nanti ada jalannya, ada waktunya, kalau kita akan dilihat orang," imbuhnya.

Hitungan Laela, ada potensi bisnis di balik keindahan dan keunikan motif Batik Betawi. Salah satunya, jarang ada pengrajin batik, khususnya orang Jakarta asli atau orang Betawi. Karena itu, persaingan terbilang minim. Ini pula yang melatarbelakangi lumayan ramainya kunjungan pencari batik ke kediaman Siti Laela, seperti siang itu.

“Ini jarang orang Jakarta yang mau bikin batik, orang Betawi yang bikin batik, dan memang jarang juga ada pembuatan batik, pengrajin batik di Jakarta ini. Itu sih peluang saya,” ujarnya.

Bukan cuma itu, Laela melihat penduduk yang tinggal di kawasan Terogong masih 50% orang Betawi. Jika warga diajak membatik, maka kawasan ini akan berubah menjadi kampung batik yang menarik untuk dikunjungi. Apalagi, rumah Mpok Laela juga berbatasan daerah elit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

“Kan kita berbatasan dengan daerah elit Pondok Indah ya, dan tamu-tamu saya dari daerah-daerah melihat, oh ternyata di sini masih ada kampung yang membuat batik,” ucapnya.

Keputusan menjalankan bisnis dijalankan serius. Laela dan suami berbagi peran dalam mengembangkan usahanya ini. Laela melakukan promosi keluar, sedangkan Tri mengelola keuangannya.

Tak Anget-anget Tahi Ayam
Alhamdulillah, sebut Laela, jalan untuk memperkenalkan bisnis Batik Betawi Terogong terbuka.  Lurah Cilandak Barat sudah tahu kalau Laela membuat batik Betawi, meskipun saat itu belum mulai berjualan. Akhirnya, Laela diajak Lurah Cilandak Barat untuk mengikuti pameran.

“Kita bawalah ke pameran itu hasil karya kita, waktu itu kita masih batik tulis, kita belum punya cap. Nah, akhirnya kita ikut pameran hingga terbuka jalannya,” katanya.

Di situ, Laela bertemu Wakil II None Jakarta Utara 1989, yakni Kasandra Putranto. Kala itu, Laela menyebut Kasandra takjub melihat ada Batik Betawi, bahwa ternyata ada orang Jakarta yang mau bikin batik. Lalu, Kasandra bersedia membantu promosikan dengan berkunjung ke rumah Batik Betawi Terogong.

“Alhamdulillah, memang betul apa yang dia (Kasandra) omongin. Begitu seminggu setelah pameran, dia datang ke sini, bilang senang banget ternyata orang Betawi membatik. Karena stereotype orang Betawi kan males,” ujarnya.

Laela mengaku, sesungguhnya rasa heran itu tak hanya datang dari orang lain. Keluarga sendiri pun sempat meragukan niatan Laela dan suami membesarkan bisnis Batik Betawi Teragong ini.

“Waktu awal saya bikin juga orang pada gini termasuk keluarga, ah bikin batik, nanti juga anget-anget tahi ayam. Saat saya membuat batik baru selesai S2. Orang pada ngeledekin, abis ngambil S2 belajar batik, bukannya jadi dosen,” ungkapnya.

Nyatanya, bisnis ini terus berjalan bahkan berhasil melewati pandemi covid-19. Padahal, pembatasan untuk menahan laju penyebaran virus membuat aneka bisnis terhenti.

“Saya sih bersyukur banget ya pada saat covid-19, justru kita pesanan tetap ada. Pada saat covid-19, pesanan kita tetap ada, malah waktu itu ada beberapa instansi yang pesan. Emang sih agak turun, tapi turunnya tuh enggak drastis sampai kita enggak bisa gaji, enggak. Tetap Alhamdulillah, tetap jalan,” katanya lagi.

Trisulo (66), Suami Siti Laela sedang melipat kain Batik Betawi Terogong. Validnews/Ahmad Farhan Faris 

Batik Betawi Ondel-ondel Dipromosikan None Jakarta
Setelah Kasandra berkunjung ke toko batiknya, Laela dijanjikan untuk dibantu promosikan dan dikenalin dengan Maudy Koesnaedi, mantan None Jakarta yang memerankan Zaenab dalam film ‘Si Doel Anak Sekolahan’.

“Akhirnya Maudy bilang, ya udah saya bantu deh. Tapi Mpok jangan batik tulis, kita maunya batik cap. Di situ kita mulai bikin cap,” jelas Laela.

Saat itu, Laela mengatakan Maudy memesan batik cap motif ondel-ondel. Tapi, kata Laela, Maudy berpesan agar motif ondel-ondelnya jangan yang serem. Dari situ, Laela membuat beberapa desain ondel-ondel untuk dipilih Maudy.

“Akhirnya pas udah ketemu yang cocok sama Mbak Maudi. Akhirnya kita punya motif ondel-ondel Maudy namanya, karena itu dia pesenan pertama,” kata Laela.

Kata Laela, batik motif ondel-ondel yang dipesan Maudy akhirnya dipakai acara pentas seni di Gedung Jakarta. Ketika itu, Laela juga disuruh membuka stand untuk memajang produk-produknya Batik Betawi tersebut. Di ajang ini, jejaring Laela dengan orang-orang masyhur di Ibu Kota Jakarta berkembang.

“Alhamdulillah, dikenalin Mbak Sandra, dikenalin Mbak Maudy, dari Mbak Maudy terus saya dikenalin salah satu mantan anaknya mantan Gubernur Jakarta Pak Sutiyoso, namanya Bu Yessy Sutiyoso. Dari situ Alhamdulillah terus merambat-merambat,” imbuhnya.

Pada 2015, Laela diajak Kasandra lagi dalam acara perkumpulan pengusaha perempuan yang mengundang Miss Universe. Saat itu, Laela ditawari Kasandra untuk mengajarkan Miss Universe belajar batik tanpa bayaran. Tentu saja, Laela menerima tawaran Kasandra meskipun tidak dibayar karena menganggap promosi juga.

“Kan saya promosi waktu itu. Ya enggak apa-apa, enggak dibayar. Akhirnya saya diajak di acara itu. Waktu itu acaranya di Alam Sutra,” katanya.

Di ajang itu, Laela tak hanya membuat orang terpukau karena batiknya, tapi juga kemampuannya berbahasa Inggris. Tak banyak yang tahu kalau Laela memiliki latar belakang Pendidikan S2 Bahasa Inggris. Namun saat Miss Universe datang dan menyapanya, ia lantas mengajak ngobrol Miss Universe sekitar 15 menit.

“Kan ada wartawan luar (media asing) juga banyak. Sampai wartawannya bilang ke saya, Bu ngomongnya yang kenceng. Setelah selesai berbincang, akhirnya wartawan sebagian ngerubutin Miss Universe, sebagian ke saya. Karena kan tampilannya kayak gitu, dampingin Miss Universe. Dari situ pada mau main ke toko batik saya. Jadi mulailah sedikit-sedikit dikenal,” ungkapnya.

Karena itu, Laela mengingatkan agar tetap tekun kalau ingin memulai usaha karena pasti akan diberi jalan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, ia pun tak menyangka produk Batik Betawi Terogong justru pertama dipakai oleh orang-orang terkenal seperti Kasandra, Maudy Koesnaedi dan Yessy Sutiyoso.

“Alhamdulillah, makanya saya bilang, kalau usaha itu kaga usaha takut, pasti ada jalannya. Saya kan 2 tahun, dari 2013 itu enggak jualan, cuman bikin-bikin. Cuman kita yakin aja, pasti kalau usaha, kalau kita sabar, pasti ada hasilnya. Itu ceritanya,” kata Laela.

SDM Jadi Tantangan Utama
Laela mengungkapkan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan produk Batik Betawi Terogong, salah satunya sumber daya manusia (SDM). Saat ini, Laela hanya memiliki dua orang karyawan yakni Roni dan Yoyo. Tugas keduanya membuat batik cap dan merendam kain batik dengan warna sesuai pesanan.

“Kita sih sebetulnya lebih ke SDM (tantangannya). Dulu awal-awal buka, kita ibu-ibunya banyak bantu. Memang salah satu saya melestarikan batik, saya juga pengen pemberdayaan orang-orang sekitar. Ini kan di depan itu ada yayasan,” kata Laela.

Usai mengantar anaknya, Laela ingin mengajak ibu-ibu sekitar untuk belajar batik. Awalnya memang banyak yang ikut, tapi lama-lama satu persatu menyerah dan mundur.

“Jadi saya lebih ke SDM. Kaya yang gambar masih tetap bapaknya (suami Laela). Saya batik tulis. Padahal pesanan batik tulis ada terus,” ucapnya.

Saat ini, Laela mengatakan karyawan hanya dua orang laki-laki untuk mengecap dan mewarnai kain batik. Makanya, ia cari strategi jika mendapatkan pesanan lebih dari 100 potong Batik Betawi Terogong. Caranya, kata dia, kerja sama dengan rekannya di Cirebon tapi semua bahan, warna dan lainnya dari Batik Betawi Terogong demi menjaga kualitas.

“Jadi semuanya kita nentuin bahannya ini, warnanya ini, karena kan warna batiknya macam-macam. Kita dari awal belajar jaga kualitasnya, itu kualitas yang nomor satu, premium. Makanya Alhamdulillah, orang kadang enggak kecewa kalau pakai batik kita, enggak luntur. Kualitas makanya kita jaga. Jadi kalau kita pesanan banyak, kita kirim ke sana, ke rekanan kita, tapi semuanya dari sini gitu, bahan bakunya,” ungkapnya.

Meski sulit mencari SDM, Laela bersama suaminya Tri tetap mengembangkan produk Batik Betawi Terogong. Kata Laela, sebetulnya yang membedakan Batik Betawi Terogong dengan batik lainnya lebih pada warna. Menurut dia, batik-batik Betawi itu biasanya warna cerah atau nge-jreng. Untuk prosesnya, kata dia, hampir semua batik cap dan batik tulis itu memiliki kesamaan.

“Yang membedakan sebenarnya warna, kita warna-warna cerah. Kita juga motif-motif sih. Motif kita lebih enggak hanya yang ini. Kita ngikutin tren aja. Jakarta tuh kayak apa sih. Lebih banyak tentang Jakarta. Kalau saya ngikutin pakem batik Betawi itu ngejreng, sementara orang kan enggak suka ini nge-jreng. Emang yang pakai batik Betawi itu orang Betawi? Malah bukan orang Betawi. Jadi kita ngikutin selera pasar aja sih,” ujarnya.

Berdasarkan pantauan, tempat kerja Roni dan Yoyo berada di sudut pojok dekat rumah Laela. Tempatnya tidak terlalu besar berukuran 3x5m, hanya ditutup bilik papan, atapnya juga pakai asbes dan alasnya pakai konblok yang sudah terlumuri cipratan warna-warna.

Ketika berkunjung, Roni terlihat sedang mengecap beberapa kain batik. Sedangkan, Yoyo tampak lagi merebus pewarna dan merendam kain batik yang sudah dicap. Mereka jam kerjanya mulai pukul 08.00 WIB sampai jam 16.00 WIB.  Roni yang sudah jalan 4 tahun bekerja di Batik Betawi Terogong bercerita, saban hari paling maksimal mengecap batik 10 kain untuk motif yang agak rumit. “Kalau sehari cap yang rumit itu standarnya 10 kain. Kalau yang gampang motifnya, ngecap bisa 10 lebih,” kata Roni.

Menurut dia, bahan-bahan cap, kain dan warna didatangkan dari di Pekalongan, Jawa Tengah, dan Cirebon, Jawa Barat. “Di sini cuma proses gambar, di sini motif aja. Misalkan kita kasih gambar ondel-ondel, nanti yang nge-cap tembaga di Pekalongan,” singkat Roni.

Kata Laela, limbah dari proses ngecap dan pewarna tidak dibuang tapi didaur ulang. Karena, Laela mengatakan pihaknya sudah bekerja sama dengan lembaga pemerintah untuk melakukan daur ulang limbah batiknya. Hanya saja, Laela tidak berkenan menyebut nama institusi yang digandengnya itu.

“Limbah enggak dibuang, didaur ulang. Pengelolaan limbahnya kerja sama dengan lembaga pemerintah. Dan, Alhamdulillah juga tidak pernah banjir akibat limbah batik kita,” katanya.

Omset Sekitar Rp40 Juta per Bulan
Laela mengatakan sistem pemasaran yang digunakan selain dari mulut ke mulut, Batik Betawi Terogong hanya mengandalkan media sosial seperti Instagram atau Facebook, tapi tidak jual online di marketplace. Ia juga tidak menitipkan produknya ke butik-butik batik atau toko rekanannya.

“Enggak (titip di butik rekanan). Mereka aja yang pada datang ke sini. Jadi, saya beli gitu. Nanti saya enggak pakai brand Ibu ya? Kalau orang beli putus. Ya mau berapa, mau berapa gitu. Banyak sih yang udah, butik-butik yang beli gitu. Saya enggak online, kita media sosial aja. Kita punya IG, ada Facebook. Lebih ke situ aja. Saya juga punya langganan kerja sama dari Friendship Force Internasional. Jadi udah kalau batik itu ke Terogong,” tegasnya.

Dari cara pemasaran itu, Batik Betawi Terogong mendapatkan omzet hingga Rp40 juta per bulannya. Diakui, angka ini tidak menentu tiap bulannya, namun jika dirata-rata, jumlahnya ada di kisaran itu.

“Berapa ya sebulan kira-kira, dia (suami) yang ngitung. Tergantung sih di pajak kan 12%. Ya mungkin sekitar Rp40-an, Rp50-an lah rata-ratanya sih sebulannya,” kata Tri, suami Laela.

Rata-rata harga Batik Betawi Terogong yang ditawarkan berbeda-beda antara batik tulis dan batik cap. Adapun, kisaran harga batik cap itu mulai dari Rp175 ribu sampai ratusan ribu dan tergantung dari kualitas bahannya juga.

“Kalau batik cap itu mulai Rp175, mulainya ya sampai sembilan ratusan (ribu), tergantung bahannya. Ya karena bahannya ada sutra, ada katun biasa, ada katun primisima, ada dobi (dobby). Tapi kalau batik batik tulis itu mulai Rp900 ribu sampai di atas Rp2 juta, karena kan sutra,” ungkap Laela.

Siti Laela (62) Sedang membatik batik tulis di pendopo rumahnya. Validnews/Ahmad Farhan Faris 

Pembelinya Banyak WNA
Sejak usaha batik dari tahun 2015, Laela menyampaikan sudah banyak produknya yang terjual tapi tidak mengetahui berapa jumlah pastinya. Menurut dia, kebanyakan pelanggan Batik Betawi Terogong orang kantoran dan jarang anak muda. Laela bersyukur usahanya terbantu karena lokasi tokonya dekat sekolah internasional dan kawasan elit Pondok Indah.

“Pembeli-pembeli kita dari situ-situ. Jadi biasanya nyambung juga sih. Dari JIS dari 2014, 2015 kita memang kerja sama. Setahun dua kali saya dipanggil ke sana untuk ada anak-anak belajar batik. Kadang-kadang ada event, kita disuruh pameran di sana. Yang paling kita seringnya di sana aja, karena kita kan cuma pasang meja. Dan yang memperkenalkan kita ke orang-orang asing lebih banyak itu JIS,” katanya lagi.

Selain itu, Laela juga buka pelatihan atau workshop seperti di apartemen mengundang orang-orang asing yang ingin belajar batik. Banyak pelanggan asing itu yang akhirnya menjadi teman.

“Jadi ada orang Jerman, dia di sini dokter, di WHO kerjanya. Itu dia ke sini pengen batik, dia beli alatnya juga. Sampai sekarang malah hubungan kita jadinya sama orang-orang asing itu kayak temen aja,” ungkapnya.

Pengalaman unik juga dialami Laela dengan pembeli asal Jepang. Pasalnya, mereka kerap meminta teman yang ke Indonesia untuk membeli batik Laela.Namun demikian, Laela belum ada niat atau rencana untuk melakukan ekspor produk Batik Betawi Terogong meskipun pelanggannya sekarang banyak warga negara asing. Memang, Laela mengaku pernah mengirim produknya ke sejumlah negara tapi bukan dalam bentuk yang besar.

“Orang Jepang tuh udah kayak MLM aja. Bersyukurnya ya itu. Karena kan dia juga lihat kualitas, jadi dia kasih tau temennya, beli di sini. Itu dia mungkin udah rantai ke berapa nih. Malah ada yang udah bikin batik di negaranya sendiri di Jepang,” cerita Laela.

Hingga kini, batik ondel-ondel tetap jadi produk yang paling populer, meskipun ada motif lainnya seperti flora atau fauna.Dan, satu yang menjadi keluhannya adalah sulitnya mencari penerus. 

“Kita sih udah pernah ngirim ke India, pernah ngirim ke mana-mana sih. Tetapi baru secara pribadi, enggak dalam jumlah ekspor, enggak. Karena namanya juga pengrajin kecil, UMKM. Saya kalau ekspor, enggak ya. Karena memang secara kita produk kecil-kecilan. Kalau itu kan perlu tenaga, sementara saya udah makin tua, belum ada yang regenerasi, masih susah. Jadi kita sih tetap produk apa adanya,” jelas dia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar