15 Juni 2024
17:36 WIB
Starlink Dan Lanskap Baru Industri ISP
Kehadiran Starlink menuai respons pro dan kontra berbagai kalangan. Starlink juga diyakini akan mengubah lanskap persaingan ISP di Tanah Air
| Ilustrasi seseorang mengakses akun melalui gawai untuk masuk ke pemancar jaringan internet Starlink. Shuttertock/Hadrian |
JAKARTA - Masuknya Starlink ke Indonesia terus menuai pro dan kontra. Satu yang paling santer adalah, bagaimana lanskap persaingan bisnis penyedia layanan internet alias internet service provider (ISP) setalah ini?
Berbeda dengan ISP lainnya di Indonesia, layanan internet Starlink berbasis satelit orbit rendah atau low earth orbit (LEO) dengan ketinggian 500 hingga 1.400 km yang mampu memberikan layanan latensi rendah. Tentu, layanan internet milik SpaceX besutan Elon Musk ini, berbeda dengan jaringan internet berbasis teknologi kabel seperti fiber atau serat optik dalam pengiriman data internet.
Sistem satelit yang digunakan Starlink memanfaatkan sinyal radio melalui ruang hampa, dan ini telah ada selama beberapa dekade lalu. Bukan hanya Starlink, di dunia ada juga pemain dengan jaringan serupa, seperti Oneweb, HughesNet, Viasat, dan Amazon.
Di sisi lain, sama seperti layanan jaringan internet berbasis kabel fiber optik yang terhubung ke rumah (fixed broadband) maupun frekuensi radio ke seluler (handphone), Starlink juga terhubung ke jaringan internet melalui pintu gerbang atau disebut gateway yang dikendalikan dan dipantau oleh Network Operation Center (NOC).
Gateaway ini berfungsi menghubungkan jaringan satu dengan jaringan lainnya yang memiliki sistem aturan (protokol). Gateaway ini juga berperan sebagai ‘penunjuk arah’ dari jaringan milik ISP ke jaringan internet global. Jadi, seluruh aktivitas jalur di jaringan ISP ini dapat terdeteksi melalui kantor operasional (NOC).
Gandeng BUMN
Melalui laman resmi Telkom, Direktur Utama Telkomsat Lukman Hakim Abd. Rauf menyampaikan, sejak 15 Mei 2024 Telkomsat dan Starlink resmi bekerja sama memberikan layanan segmen enterprise di berbagai wilayah Indonesia. Kerja sama ini pun memungkinkan Telkomsat menyediakan layanan bisnis berbasis Starlink, dengan paket bisnis yang ditawarkan melalui website Starlink.
Telkomsat, telah menggelar layanan backhaul Starlink sejak 2022 dengan memanfaatkan hak labuh yang telah diberikan pemerintah. Hak labuh sendiri merupakan hak untuk menggunakan satelit asing yang diberikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) kepada penyelenggara telekomunikasi.
"Infrastruktur backhaul yang digelar oleh Telkomsat ini mampu memberikan layanan konektivitas satelit yang berkualitas, dengan menjamin kedaulatan dan keamanan data nasional,” tulis Lukman dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (14/6).
Telkomsat juga mengklaim, kerja sama antara pihaknya dan Starlink ini menjadi bentuk komitmen untuk terus berupaya mendukung program pemerintah, dalam percepatan pemerataan konektivitas di seluruh wilayah Indonesia. Khususnya wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Beragam isu
Nah, pada akhir Mei lalu, sempat ramai diberitakan jika Menkominfo Budi Arie Setiadi mendesak Starlink untuk mendirikan NOC di Indonesia. Pihaknya pun memberikan tenggat waktu tiga bulan untuk mendirikan NOC, setelah Starlink beroperasi.
Tak berselang lama, Direktur Telekomunikasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo Aju Widya sari mengungkapkan, Starlink telah memperoleh seluruh izin yang diperlukan untuk beroperasi. Bahkan seluruh kewajiban, salah satunya penyediakan NOC di Indonesia yang telah dilakukan Starlink.
“NOC sudah ada sebelum izinnya terbit, diuji coba di Karawang Tepatnya (NOC) di Cibitung, tapi itu bisa remote gateway. Jadi yang di Cibitung itu bisa di-remote ke Karawang,” ucap Aju.
Berkaitan dengan NOC, selanjutnya Menkominfo Budi Arie menyatakan, Starlink di Indonesia sudah memenuhi persyaratan yang berlaku di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dia pun mengklaim pihaknya akan terus mengupayakan pengawasan dan pengendalian.
“Jadi mereka bisa bilang NOC sudah ada, nanti kita cek karena izin baru April, dan terus kita monitoring dan evaluasi, karena izin ISP labuh per tahun. Jadi kalau tahun depan mereka enggak comply (menyesuaikan) dengan kebijakan kita, ya, wassalam,” kata Budi Arie dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi I DPR RI, Senin (10/6).
Pada intinya, Budi Arie menegaskan, hadirnya Starlink tidak menjadikannya anak emas pemain ISP di tanah air. Baik Starlink maupun pelaku ISP lainnya, menjalankan hak dan kewajiban yang sama kepada pemerintah.
Beragam isu soal hadirnya Starlink di Indonesia memang terus bergulir. Tak lama menyinggung keberadaan NOC Starlink, publik pun dikejutkan dengan pernyataan Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mengungkapkan, investasi Starlink di Indonesia dari data Online Single Submission (OSS) yang dimiliki pihaknya, diketahui senilai Rp30 miliar dengan pekerja sebanyak 3 orang.
“Saya jujur, ini Starlink ini investasinya Rp30 miliar. Ini data OSS, ya, tenaga kerjanya 3 orang yang terdaftar,” ucap Bahlil dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (11/6).
Bahlil mengaku tidak mengetahui lebih detail bentuk investasi sekaligus operasional dan teknis lainnya dari Starlink. Ini karena pihaknya tidak mengurus secara langsung, hanya mengurus pendaftaran Nomor Induk Berusaha (NIB) dan izin dasar saja.
Mendengar pernyataan tersebut, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah menilai, kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup VSAT (JARTUP VSAT) dan ISP yang dilakukan Starlink tidak masuk akal, jika hanya bermodal Rp30 miliar. Pasalnya, kata dia industri telekomunikasi memiliki karakteristik high capital expenditure dan high expenditure.
Dia menyebutkan untuk melakukan usaha penyelenggaraan telekomunikasi JARTUP VSAT dan izin iSP seperti yang dilakukan Starlink, maka modal yang dibutuhkan seharusnya lebih dari Rp30 miliar. Pasalnya, agar Starlink bisa beroperasi di seluruh Indonesia, maka membutuhkan minimal 9 stasiun bumi yang dijadikan hub. Nah, minimal investasi untuk membangun 1 stasiun bumi seperti yang dimiliki BAKTI Kominfo di proyek Satria saja senilai US$5 juta atau Rp82,4 miliar (kurs Rp16.486).
Tak hanya itu, untuk bisa menjangkau seluruh Indonesia, Starlink juga setidaknya memiliki minimal 3 NOC dengan 15 orang tenaga kerja per hari (3 shift) per NOC. Nilai investasi untuk 1 NOC juga menurut Trubus, minimal US$1 juta atau setara Rp16,4 miliar.
“Investasi Rp30 miliar yang disampaikan Menteri Bahlil dinilai dapat dilakukan, jika NOC dan kantor Starlink menggunakan layanan virtual. Seluruh kendali dilakukan dari kantor pusat mereka,” ungkap Trubus dalam keterangannya yang diterima Validnews, dikutip Jumat (14/6).
Karena tidak masuk akalnya besaran investasi yang dilakukan Starlink, Trubus pun menilai, Kominfo telah mengabaikan prosedur (maladministrasi) dan telah melakukan perilaku koruptif menjelang masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Kuat sekali dugaan maladministrasi pada penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi Starlink. Kayaknya ada tekanan politik luar biasa yang dialami Kominfo ketika penerbitan izin Starlink ini. Harusnya Ombusdman dan APH dapat melakukan investigasi mendalam pemberian izin Kominfo tersebut. Menurut saya ini tak wajar dan terkesan instan. Maladministrasi itu mengarah perilaku koruptif,” beber Trubus.
Validnews pun berupaya mengkonfirmasi beragam kabar tersebut kepada pihak Starlink. Namun hingga berita ini ditulis, tak kunjung ada respons dari pihak Starlink.
Lebih lanjut, Direktur Jenderal Pengendalian Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemenkominfo, Wayan Toni Supriyanto menegaskan, pihaknya tidak memberikan batasan minimum investasi untuk penyelenggaraan VSAT dan ISP.
“Yang jelas saat ini mereka melalui PT Starlink Service Indonesia berinvestasi untuk menyelenggarakan penyelenggaraan VSAT dan ISP. Modal investasi tergantung penyelenggara masing-masing karena Kominfo, kan, memang nggak punya persyaratan modal minimum untuk penyelenggaraan jaringan/jasa telekomunikasi, termasuk berapa modal minimum untuk JARTUP VSAT dan ISP,” tegas Wayan saat dihubungi Validnews, Rabu (12/6).
Kendala ISP Lokal
Senior Manager Marketing Biznet Adrianto Sulistyo mengungkapkan, pengembangan internet di dalam negeri memang masih memerlukan usaha ekstra, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Jadi, untuk menjangkau kawasan pelosok dan daerah-daerah Indonesia lainnya, perlu infrastruktur yang mumpuni.
“Sangat diperlukan membangun infrastruktur untuk pemerataan akses jaringan internet di seluruh wilayah dan area di Indonesia,” ucap Adrianto kepada Validnews, Selasa (11/6).
Maka dari itu, Adrianto mengaku jika Biznet pun membangun kabel bawah laut yang di-launching di Juni ini. Kabel tersebut membentang dari Pulau Jawa, Sumatra, Bangka (BNCS). Pembangunan serupa juga masih berlangsung untuk menghubungkan Lampung, Banda, dan Aceh yang ditargetkan rampung di akhir 2024.
“Biznet aktif masuk ke kota-kota kecil, tujuannya untuk melakukan pemerataan akses internet yang sama dengan di kota Jakarta. Sehingga membantu perekonomian daerah tersebut,” tuturnya.
Asal tahu saja, pelanggan Biznet saat ini didominasi untuk produk Business to Consumer (B2C) sekitar 60% dan Business to Business (B2B) sekitar 40%. Jumlah tersebut menurut Adrianto meningkat signifikan untuk B2C seiring datangnya pandemi covid-19. Dia melihat, terjadi peralihan pengguna internet dari kantor ke rumah, menyesuaikan kebijakan yang marak berlaku saat itu, work from home (WFH).
“Pelanggan, pun, mencari penyedia internet rumahan yang memberikan kualitas setara internet di kantor, cepat dan berkualitas. Alhasil, Biznet menangkap peluang pasar tersebut, maka hadirlah Biznet Home untuk segmen perumahan dengan bandwith mulai dari 50-300 Mbps yang dibanderol mulai dari Rp250 ribu per bulan,” jelas Adrian.
Senada, Chief Sales & Marketing Officer PT Link Net Tbk Ronald Chandra Lesmana menyampaikan, kendala pada industri layanan internet ISP terbesar pada permasalahan infrastruktur.
“Mulai dari biaya pemasangan dan pemeliharaan yang tinggi, hingga sulitnya infrastruktur menjangkau akses layanan untuk daerah yang berada di kawasan remote dan rural,” ujarnya kepada Validnews, Jumat (14/6).
Link Net yang menyediakan layanan bagi pelanggan residensial melalui brand First Media dan pelanggan enterprise dengan brand Link Net Enterprise. Hingga kuartal I-2024 tercatat untuk jaringan First Media telah menjangkau 3.800.000 pelanggan home passed di 37 kota di Indonesia.
Adanya pandemi yang mengubah pola kerja masyarakat yang hampir seluruhnya bekerja dari rumah, turut mendongkrak jumlah pelanggan. Menurut Ronald, pada kuartal II-2020 tercatat Link Net menambah 62.340 pelanggan baru.
Ancaman Layanan Direct to Cell
Kembali ke Starlink, hal lain yang juga ramai diberitakan lagi adalah wacana layanan Direct to Cell yang sebagian akan mulai bisa digunakan pada tahun depan. Menyitir laman Starlink Indonesia, Starlink memberikan layanan bagi pengguna bisnis salah satunya Direct to Cell. Layanan ini adalah inovasi yang memungkinkan pengguna untuk bisa mengirim SMS, menelepon, dan menjelajah internet di manapun mulai di darat, danau, atau perairan pesisir.
Tak hanya itu, Direct to Cell juga akan menghubungkan perangkat Internet of Things (IoT) dengan standar LTE umum. Inovasi ini juga dapat berfungsi dengan ponsel LTE yang sudah ada. Sehingga pengguna tidak memerlukan perubahan pada perangkat keras, firmware, atau aplikasi khusus, memberikan akses tanpa batas ke teks, suara, dan data.
Di laman tersebut, untuk Direct to Cell pada SMS bisa beroperasi pada 2024 ini, sementara suara, data, dan IoT beroperasi pada 2025 mendatang.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, sekaligus pengamat ekonomi digital Heru Sutadi menyatakan, kehadiran Starlink tentu berpotensi mengganggu pelaku ISP lokal lainnya. Pasalnya, baik ISP lokal maupun Starlink, keduanya merupakan operator telekomunikasi yang memiliki kesamaan layanan dan bermain secara head to head, yakni internet broadband.
Ancaman gangguan ISP lokal pun semakin besar jika Starlink benar mengimplementasikan Direct to Cell. Namun menurut Adrianto dari Biznet, Starlink menggunakan basis satelit sehingga memiliki target pasar yang berbeda dengan penyedia internet berbasis kabel fiber atau serat optik seperti Biznet.
Penggunaan satelit, membuatnya mampu menjangkau daerah yang lebih kecil. Sementara pelanggan Biznet, menurutnya, saat ini menjangkau kota-kota besar hingga kabupaten di Indonesia.
“Dengan market yang berbeda, bicara soal ancaman atau persaingan, menurut kami kehadiran Starlink justru bisa saling melengkapi satu sama lainnya. Bisa bersama-sama men-deliver bandwith yang besar dan dapat memberikan pilihan jaringan internet baru bagi masyarakat Indonesia,” jelas Adrianto.
Sementara itu, Vice President Communications and Social Responsibility Telkomsel Saki H Bramono melihat, tantangan persaingan bisnis fixed broadband akan semakin dinamis. Apalagi masing-masing pemain terus menawarkan harga yang semakin terjangkau dan kecepatan yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, menurutnya para pelaku bisnis telekomunikasi harus tetap relevan dan mengedepankan prinsip customer centric.
“Ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan fixed broadband yang memberikan kecepatan internet andal dan memberikan ragam nilai tambah dengan tetap menjaga kualitas layanan,” kata Saki kepada Validnews, Jumat (14/6).
Saki menilai, rencana Direct to Cell yang masih wacana dan akan digarap Starlink tersebut memiliki potensi untuk mengubah lanskap industri telekomunikasi di Indonesia. Saat ini pun industri telekomunikasi di Indonesia sangat dinamis dengan persaingan yang tak terpisahkan.
Saki menjelaskan, saat ini IndiHome sebagai penyedia layanan Fixed Mobile Covergence (FMC) terluas Indonesia, telah menjangkau di 514 kota/kabupaten, dengan total bentang jaringan kabel serat optik sepanjang 176.663 kilometer (km). Hal ini berhasil menggaet 159,7 juta pelanggan mobile dan 8,9 juta pelanggan fixed broadband atau internet yang diberikan melalui saluran tetap (kabel).
Begitupun menurut Ronald dari PT Link Net Tbk, kehadiran teknologi atau pemain baru seperti Starlink, merupakan hal yang terhindarkan. Hal ini tentu mengharuskan pemain lama terus berinovasi.
“Kondisi ini tentunya memacu semua operator, termasuk Link Net untuk terus berinovasi. Kami yakin dengan inovasi yang fokus pada pengalaman pelanggan dan menghadirkan nilai lebih dalam layanan, dapat menjaga kepuasan dan kesetiaan pelanggan,” jelas Ronald.
Validnews pun mengonfirmasi rencana inovasi Direct to Sell ini ke Kominfo. Dirjen PPI Kemenkominfo Wayan Toni Supriyanto menegaskan, seluruh pelaku usaha ISP harus taat dengan regulasi yang ada.
“Kami belum bisa berpendapat karena mereka masih wacana. Yang jelas mereka harus menyesuaikan regulasi yang ada. Harus memenuhi UU Telekomunikasi,” serunya kepada Validnews.

Harapan Buat Pemerintah
Direktur ICT Institute, Heru pun berharap, pemerintah bisa menjadi watchdog; atau pengawas dalam industri jaringan internet ini. Seluruh pemain di jaringan internet, kata Heru, harus bisa bersaing secara sehat, menjalankan hak dan kewajiban yang sama.
“Tentu kompetisinya akan semakin ketat. Saya meyakini, ini akan menggerus sebagian pasar ISP dan data seluler, apalagi jika kompetisi yang sehat ini tidak dijaga,” ungkap Heru.
Heru khawatir jika persaingan keduanya tidak sehat, maka masyarakat yang akan menjadi korban. Sebagai contoh, di awal peluncuran Starlink, mungkin saja masyarakat memperoleh penawaran harga yang murah. Namun begitu pasar berhasil dikuasai, maka bisa saja Starlink mempermainkan harga.
Pemerintah juga disarankan bisa memisahkan wilayah peruntukan ISP lokal dan Starlink. Starlink diarahkan untuk memberikan layanan di wilayah tertentu seperti terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) atau di kapal laut. Karena menurutnya selama ini pemerintah memberikan keleluasaan beroperasi bagi Starlink.
“Ini harus sama-sama kita pantau, kalaupun pemerintah tidak bisa berpihak pada lokal karena ekosistemnya belum matang, maka diharapkan kompetisi yang sehat bisa berjalan terus,” jelasnya.
Usulan yang sama dari Telkomsel. Mereka berharap pemerintah bisa menciptakan iklim usaha yang berkeadilan.
“Pemerintah dapat terus menciptakan equal playing field dengan keadilan dalam pemberlakuan pemenuhan kewajiban penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia, kepada setiap pelaku dan penyedia layanan, termasuk Starlink,” jelas Saki.
Keadilan tersebut, mulai dari kewajiban pendirian badan usaha yang berkedudukan di Indonesia, penerapan kebijakan perpajakan dan kewajiban pembayaran PNBP. Kemudian, kewajiban pemenuhan kualitas layanan (QoS), tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hingga aspek potensi interferensi, aspek perlindungan dan keamanan data, serta aspek kedaulatan bangsa.
Ronald mengaku, pihaknya mendukung langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam menciptakan iklim bisnis yang sehat dan kondusif. Pemerintah juga dianggap telah berhasil mengedepankan inovasi dan teknologi, serta mendukung perkembangan industri telekomunikasi dan digital.
Namun, dia berharap, seluruh pemain yang beroperasi di industri ISP, apapun teknologi yang ditawarkan, memenuhi semua aspek kewajiban, mulai dari sisi lisensi, compliance, kualitas layanan, perlindungan konsumen, infrastruktur, hingga aspek perpajakan.
Menjawab semua kekhawatiran itu, Menkominfo Budi Arie dalam Raker dengan Komisi I DPR RI pada Senin (10/6) lalu pun menyatakan, tak perlu ada kekhawatiran akan ancaman Starlink mendominasi pasar ISP di Indonesia. Pasalnya, menurut dia, rata-rata market share Starlink di negara lain, masih di bawah 1%
“Nggak usah khawatir Starlink, karena data terakhir Starlink itu di Amerika Serikat cuma 0,2% dari market share 0,2%. Di Kanada cuma 0,5%, di Australia juga 0,5%, dan Selandia Baru juga cuma 0,8% pengguna Starlink,” tandas Budi.