16 Agustus 2025
13:40 WIB
Sri Mulyani Ungkap Alasan Transfer Ke Daerah 2026 Menyusut
Dialihkan ke belanja pemerintah pusat, anggaran transfer ke daerah dalam RAPBN 2026 menyusut 24,8% dari Rp864,1 triliun pada outlook 2025 menjadi Rp650 triliun.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan alokasi Belanja Pemerintah Pusat dalam RAPBN 2026 saat Konferensi Pers Nota Keuangan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Jumat (15/8) ValidNewsID/Siti Nur Arifa
JAKARTA – Anggaran transfer ke daerah (TKD) mengalami penyusutan 24,8% dari Rp864,1 triliun pada outlook APBN 2025 menjadi Rp650 triliun dalam RAPBN 2026. Hal ini disebabkan oleh peralihan anggaran ke belanja pemerintah pusat yang meningkat 17,8% dari Rp2.663,4 triliun menjadi Rp3.136,5 triliun.
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pengalihan anggaran dalam RAPBN tersebut justru membuat belanja pemerintah pusat ke daerah meningkat dan dapat dirasakan oleh masyarakat daerah secara langsung.
“Kalau TKD mengalami penurunan, kenaikan dari belanja pemerintah pusat di daerah itu naiknya jauh lebih besar,” ujar Menkeu Sri dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat (15/8).
Baca Juga: Realisasi Transfer ke Daerah Semester I/2025 Capai Rp400,6 Triliun, Ini Rinciannya
Spesifik, Menkeu menjelaskan belanja pemerintah pusat dengan manfaat yang diterima langsung oleh masyarakat daerah diproyeksikan mencapai Rp1.376,9 triliun. Anggaran tersebut akan tersalurkan melalui program-program prioritas pemerintah yang jika ditelisik seharusnya menjadi tugas dan fungsi pemerintah daerah.
Misalnya, Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda dengan anggaran Rp27,9 triliun; preservasi jalan dan jembatan Rp24,9 triliun; bendungan dan irigasi Rp12 triliun; Kopdes Merah Putih Rp83 triliun; lumbung pangan Rp22,4 triliun; kampung nelayan dan pergaraman nasional Rp6,6 triliun, dan masih banyak lagi.
“Ini semuanya letaknya di daerah, dinikmati oleh masyarakat di daerah, sehingga memang APBN dari sisi belanja pusat cukup besar yang dilakukan oleh pemerintah pusat langsung kepada masyarakat di daerah. Belanja K/L dan transfer ke daerah ini menjadi satu kesatuan,” ujar Menkeu.
Kemampuan Fiskal
Menanggapi penyusutan TKD dalam postur RAPBN 2026, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan Presiden Prabowo Subianto menginginkan adanya perbaikan lewat penyatuan program-program pusat dan daerah.
Dirinya tidak mempermasalahkan anggaran TKD yang menyusut menjadi Rp650 triliun lantaran ditopang oleh kegiatan dan program pusat. Namun, eks-Kapolri ini menggarisbawahi kemampuan fiskal dari setiap daerah berbeda.
“Tentunya kita juga melihat kemampuan fiskal dari daerah-daerah… ada daerah-daerah yang memang fiskalnya kuat, karena PAD-nya kuat, ada juga yang fiskalnya sedang, tapi ada juga yang fiskalnya lemah, karena sangat bergantung dari transfer keuangan ke daerah, dari Menteri Keuangan, dari pusat,” ujar Menteri Tito
Dirinya mengungkap, hingga saat ini rata-rata pendapatan asli daerah (PAD) di tingkat provinsi sudah mencapai 51,99% dari total pendapatan daerah (TPD), di mana ada satu provinsi yakni Maluku Utara yang bahkan memiliki PAD di kisaran 72%.
Namun, terdapat beberapa provinsi yang masih memiliki PAD jauh di bawah rata-rata seperti Papua Barat Daya dan Papua Pegunungan, Jambi, Aceh, Maluku, Lampung, dan masih banyak lagi, yang menurut Tito masih sangat bergantung pada anggaran TKD dari pemerintah pusat.
Karena itu, Tito mengaku pihaknya selalu memberikan masukan terkait daerah mana yang perlu diprioritaskan dalam menerima TKD berdasarkan data yang ada.
Baca Juga: Sri Mulyani Pangkas Dana Transfer Ke Daerah Rp50,59 Triliun
“Data-data seperti ini sangat berguna untuk kami berikan masukan kepada Kementerian Keuangan ketika mengalokasikan transfer keuangan daerah di 552 provinsi, kabupaten, kota se-Indonesia,” ujar Tito.
Sebagai catatan, dana TKD sebesar Rp650 triliun dalam RAPN 2026 terdiri dari dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp45,1 triliun; dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp373,8 triliun; dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp155,1 triliun; dana otonomi khusus sebesar Rp13,1 triliun; dana keistimewaan DIY sebesar Rp0,5 triliun; dana desa sebesar Rp60,6 triliun; dan insentif fiskal sebesar Rp1,8 triliun.
Sehingga dengan adanya kebijakan ini, dalam melaksanakan belanja pusat Kementerian/Lembaga yang melaksanakan program prioritas pemerintah harus bersinergi dengan pemerintah daerah.
“Daerah-daerah yang PAD-nya rendah sekali, atau di daerah yang provinsi baru itu masih nol, mereka sangat bergantung pusat, ini diberikan atensi supaya pemerintahan tetap berjalan baik dan kemudian program-program yang menjadi kewajiban minimal, pendidikan kesehatan dan lain-lain itu tetap berjalan sambil di-backup oleh pemerintah pusat, ini strateginya,” pungkas Mendagri Tito.