c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

EKONOMI

02 Agustus 2024

19:07 WIB

Sri Mulyani: Penurunan Permintaan Dalam Dan Luar Negeri Bikin PMI Manufaktur Turun

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mensinyalir, penurunan PMI manufaktur Juli 2024 terjadi karena pergerakan permintaan barang yang mengalami moderasi.

Penulis: Khairul Kahfi

<p>Sri Mulyani: Penurunan Permintaan Dalam Dan Luar Negeri Bikin PMI Manufaktur Turun</p>
<p>Sri Mulyani: Penurunan Permintaan Dalam Dan Luar Negeri Bikin PMI Manufaktur Turun</p>

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala Rapat KSSK III/2024 untuk asesmen Kuartal II/2024, Jakarta, Jumat (2/8). Validnews/Khairul Kahfi

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mensinyalir, penurunan PMI manufaktur Juli 2024 terjadi karena pergerakan permintaan barang yang mengalami moderasi. Adapun penurunan PMI Manufaktur saat ini ke level 49,3% melanjutkan tren negatif penurunan dalam beberapa bulan terakhir.

“Satu, yang menyebabkan penurunan adalah permintaan baru, artinya demand side dari barang-barang manufacturing itu mengalami moderasi (penurunan)… Demand itu bisa domestik tapi juga bisa ekspor,” katanya usai konpers KSSK Hasil Rapat Berkala Rapat KSSK III/2024 untuk asesmen Kuartal II/2024, Jakarta, Jumat (2/8). 

Identifikasinya, penurunan PMI manufaktur dari sisi domestik terjadi karena kondisi permintaan musiman maupun kompetisi terhadap barang-barang impor. Jika benar karena kompetisi terhadap barang impor, utamanya akan berdampak pada produk konsumsi.

“Jadi kita akan terus melakukan investigasi demand side untuk domestik,” jelasnya.

Adapun penurunan permintaan dari global bisa terjadi lantaran ekonomi dari negara-negara tujuan utama dagang RI mulai menunjukkan kecenderungan pelemahan, seperti AS dan Tiongkok. Sri pun optimistis penurunan permintaan yang terjadi itu bisa dikompensasi dengan ekspor dengan India.

Namun, optimisme perdagangan internasional dengan India tidak bisa diharapkan secara baik bisa mendorong PMI manufaktur Indonesia. Lantaran ekspor tersebut lebih terdongkrak bukan berasal dari barang manufaktur unggulan RI.

Sementara ini, barang manufaktur yang diproduksi RI cenderung bersifat padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Sehingga belum mencerminkan manufaktur yang sekarang masif di Indonesia, terutama hilirisasi. 

“Dan juga untuk ekspor yang sifatnya manufaktur seperti CPO yang merupakan kuat (produk andalan) di pasaran seperti India,” sebutnya.

Pihaknya pun siap untuk melihat dampak penurunan ini dan dampaknya terhadap situasi seluruh makroekonomi nasional. Yang jelas, pihaknya akan melihat secara detail atas moderasi permintaaan saat ini.

Di sisi lain, Menkeu pun menyampaikan, indeks kepercayaan bisnis yang naik atau bergerak terbalik dengan PMI manufaktur yang menurun. Capaian ini bahkan mengalami level yang tertinggi jika diukur sejak Februari 2024.

“Jadi ini ada anomali ya, dimana dilihat menurun makanya kita harus bedah lagi. Tapi dari sisi indeks kepercayaan bisnis dari pelaku manufaktur ini levelnya di bulan Juli justru tertinggi dibandingkan atau diukur dari semenjak Februari,” paparnya. 

Pemerintah pun berkomitmen untuk mengeksplor indeks kepercayaan bisnis untuk mengembalikan performa manufaktur RI. Raihan ini juga menggambarkan optimisme produsen manufaktur bahwa penjualan dan produksinya akan meningkat seiring dengan kondisi pasar di tahun depan yang diekspektasikan menguat.

Adapun kondisi penurunan dan lemahnya permintaan hari ini sudah disadari oleh produsen. Karenanya optimisme produsen tahun depan tidak terpengaruh banyak oleh situasi pelemahan permintaan hari ini. 

“Itu memberikan harapan, sehingga kita harapkan koreksi PMI ke zona kontraktif ini sifatnya sementara. Kemudian kita juga lihat volume penjualan, tadi sudah meningkat dan ini juga berkaitan dengan optimisme mereka,” urainya. 

Menyambut peluang optimistis produsen manufaktur itu, pemerintah berjanji akan bergegas untuk mengakomodasi meningkatkan daya saing pelaku industri. Lewat konfigurasi kebijakan dengan Kemendag dan Kemenperin yang bertanggung jawab pada sektor terhadap manufaktur, logistik perdagangan, dan persaingan usaha.

“Kita akan mendukung melalui instrumen-instrumen yang kita miliki,” tegasnya.

Janjikan Penguatan Kebijakan Manufaktur Ke Depan
Jika lesunya manufaktur Indonesia terjadi karena serangan impor, Menkeu Sri menyampaikan, pemerintah akan melakukan langkah korektif. Pasalnya terjangan barang impor ini dikategorisasi sebagai praktik perdagangan tidak adil (unfair trade practice).

Bisa saja, pemerintah akan menggunakan instrumen Peraturan Menkeu (PMK), kebijakan anti-dumping, dan lainnya. “Ini kami berkoordinasi dengan Menteri terkait, yaitu perdagangan dan perindustrian,” paparnya.

Kemenkeu juga tidak segan menggunakan instrumen fiskal untuk bisa terus mendorong sektor manufaktur agar tetap bisa meningkatkan daya tahan eksternal Indonesia, seperti yang diterapkan kepada industri logam dasar yang telah bertumbuh double digit saat ini.

Lainnya, pemerintah juga akan terus memperkuat subsektor manufaktur dalam meningkatkan performa rantai pasok global (supply chain). Apalagi, saat ini akomodasi insentif kebijakan tersebut diterapkan secara masing-masing sektor dan tidak ditetapkan sama atau homogen.

“Kalau (insentif) perumahan, industri konstruksi, atau pendukung konstruksi, kita menggunakan kayak DTP atau insentif perpajakan, Pak Gubernur (BI) menggunakan likuiditas, Pak Mahendra (OJK) menggunakan kebijakan sektor keuangan,” urainya.

Sekali lagi, upaya penguatan ini dilakukan sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap proteksi dan memperkuat industri dalam negeri, sekaligus rantai pasoknya. Kemenkeu akan terus melihat peluang penguatan itu per industri, terutama industri yang banyak menyerap tenaga kerja, seperti tekstil, garmen, dan lainnya.

Pemerintah juga akan mengupayakan kondusivitas penguatan kebijakan sektor moneter dan keuangan. Harapannya, PMI manufaktur yang terkoreksi hari ini tidak berlangsung lama dan segera pulih, ditambah dengan kondisi global yang akan terus membaik.

“Ini yang akan kita terus usahakan, sehingga PDB kita di kuartal kedua dan sampai akhir tahun akan tetap terjaga momentumnya (naik),” paparnya. 

Terpisah, Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu menginformasikan, PMI Manufaktur Indonesia per Juli 2024 tercatat pada level 49,3%. Komponen tingkat output dan permintaan baru dalam PMI termoderasi, terutama akibat gejolak geopolitik global.

Meski demikian, komponen Indeks Kepercayaan Bisnis terhadap prospek produksi ke depan berada pada level tertinggi sejak Februari 2024. Produsen optimistis, volume penjualan akan meningkat dan kondisi pasar akan kembali menguat di tahun depan.

Hal tersebut sejalan dengan proyeksi IMF untuk pertumbuhan ekonomi 2025 yang naik ke 3,3%, dari kondisi 3,2% di 2024.

“Terlepas dari dampak negatif gejolak geopolitik terhadap rantai pasok global, kondisi saat ini sekaligus menjadi momentum bagi pelaku industri untuk terus memperkuat daya saing dan berinovasi dalam aktivitas perdagangan global,” urai Febrio, Jumat (2/8). 

Selain itu, inflasi harga input yang dalam tren penurunan diharapkan turut menopang kinerja ke depan. Selaras dengan momentum tersebut, dukungan kebijakan pemerintah terus dioptimalkan sehingga sektor manufaktur diharapkan dapat turut membantu penyerapan lapangan kerja di tengah stagnasi global. 

“Secara keseluruhan, Pemerintah masih optimis dengan kinerja sektor manufaktur. Pada kuartal kedua lalu, penanaman modal pada industri logam dasar tumbuh double digit, sejalan dengan semangat transformasi industri,” tambahnya.

Adapun, pihaknya juga akan tetap memperhatikan beberapa subsektor industri nasional yang tengah menghadapi kondisi tidak mudah dengan situasi global saat ini.  

“Pemerintah terus berkolaborasi dengan semua pihak untuk langkah-langkah mitigasi,“ urai Febrio.

Di tengah moderasi level PMI Indonesia, beberapa negara mitra dagang utama Indonesia juga mengalami tantangan yang sama, seperti Tiongkok (49,8%), Amerika Serikat (49,5%), dan Jepang (49,1%). 

Sementara itu, negara-negara tetangga juga menunjukkan tren perlambatan aktivitas sektor manufaktur, seperti Malaysia dan Australia yang masing-masing berada pada level 49,7% dan 47,5%.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar