c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

28 Juni 2025

18:00 WIB

Soal Pajak E-Commerce, Ekonom: Belajar dari DST Kanada, Kebijakan Jangan Parsial!

Ketika pajak hanya dikenakan kepada pedagang kecil-menengah e-commerce, tetapi tidak kepada perusahaan global yang mereguk revenue miliaran, maka di situlah keadilan fiskal gagal terwujud.

Penulis: Fin Harini

<p id="isPasted">Soal Pajak <em>E-Commerce</em>, Ekonom: Belajar dari DST Kanada, Kebijakan Jangan Parsial!</p>
<p id="isPasted">Soal Pajak <em>E-Commerce</em>, Ekonom: Belajar dari DST Kanada, Kebijakan Jangan Parsial!</p>

 Pelaku UMKM melakukan siaran langsung penjualan pakaian melalui aplikas i belanja daring (e-commerce) di Studio Nukadua Thrift, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (23/10/2024). AntaraFoto/Abdan Syakura

JAKARTA - Pemerintah Indonesia berencana memberlakukan PPh Pasal 22 untuk pedagang e-commerce. Marketplace seperti Tokopedia dan Shopee akan ditunjuk sebagai pemungut pajak atas transaksi pedagang yang beromzet di atas Rp500 juta per tahun.

Pemerintah menyebut kebijakan ini bukan pajak baru, melainkan perubahan skema pelaporan pajak dari mandiri menjadi pemungutan otomatis di sumber transaksi.

Seperti halnya pedagang pasar tradisional yang membayar retribusi pasar, pedagang digital kini dikenakan pungutan langsung oleh pengelola platform.

Tujuannya jelas, menyederhanakan administrasi, meningkatkan kepatuhan, serta menutup celah shadow economy yang selama ini lolos dari radar fiskus.

“Namun pertanyaannya, mengapa hanya marketplace lokal yang disasar? Bukankah revenue digital Indonesia sebagian besar dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix?” sebut Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Sabtu (28/6).

Pertanyaan tersebut diajukan, lantaran ia menilai seharusnya keadilan fiskal menuntut kontribusi seimbang dari semua pelaku ekonomi digital tanpa memandang batas negara.

Hal tersebut juga membuka banyak pertanyaan lain seperti mengapa negara sulit memajaki raksasa digital dan pedagang online? Atau, mengapa hingga hari ini Indonesia masih kesulitan menarik pajak secara adil dari aktivitas ekonomi digital? Mengapa pemerintah lebih memilih menargetkan pedagang di marketplace lokal dibandingkan perusahaan teknologi global?

“Masalahnya sederhana tetapi kompleks, bagaimana memajaki aktivitas ekonomi yang tak mengenal batas negara, tanpa menimbulkan retaliasi dagang dan beban administrasi yang melumpuhkan pertumbuhan digital,” katanya.

Masalah ini mengemuka seiring langkah Kanada memberlakukan Digital Services Tax (DST) pada Juni 2024.

Belajar dari Digital Services Tax (DST) Versi Kanada
DST Kanada mengenakan pajak 3% atas pendapatan digital perusahaan teknologi global dengan omzet di atas €750 juta dan revenue di Kanada di atas $20 juta.

Pajak ini bersifat retroaktif sejak Januari 2022, menargetkan pendapatan iklan, data pengguna, dan online marketplace yang selama ini tak tersentuh pajak korporasi Kanada.

Presiden Trump pada 27 Juni 2025 merespons keras dengan memutus negosiasi dagang AS-Kanada, menuduh DST sebagai diskriminasi terhadap perusahaan AS.

Google pun mengenakan surcharge tambahan kepada pengiklan di Kanada untuk menutup beban DST.

Achmad menilai, sesungguhnya terdapat kesamaan urgensi antara Indonesia dengan Kanada.

“Digital economy kita dikuasai raksasa teknologi global, sementara pajak yang dipungut hanya PPN PMSE 11% dan tidak menyasar keuntungan yang ditarik keluar negeri,” katanya.

Skema PPh 22 e-commerce yang menargetkan marketplace lokal memang menutup celah shadow economy domestik, namun meninggalkan lubang besar dalam keadilan fiskal digital karena tidak menyasar revenue raksasa digital global yang mengekstrak nilai ekonomi Indonesia tanpa kontribusi fiskal proporsional.

Ia memberikan analogi sederhana. Yakni, pedagang kaki lima dan pedagang toko resmi di sebuah pasar. Keduanya dikenakan retribusi pasar. Namun, di atas mereka ada pengusaha besar yang memanfaatkan ruang publik tanpa bayar sewa, hanya membayar biaya operasional.

Situasi itulah, menurut Achmad, yang terjadi pada ekonomi digital Indonesia saat ini. Marketplace lokal dipajaki, UMKM digital diatur kepatuhannya, sementara perusahaan global hanya dikenakan PPN PMSE tanpa DST atas keuntungan mereka.

“Kanada memahami hal ini dan memutuskan mengambil risiko fiskal dan diplomasi,” imbuhnya.

Dengan DST, mereka mengukuhkan kedaulatan fiskal atas revenue digital di wilayah yurisdiksi mereka.

Namun risikonya tinggi, termasuk ancaman retaliasi tarif impor AS dan terganggunya perundingan dagang.

Karena itu, Indonesia saat ini memilih jalur aman dengan menunggu kesepakatan multilateral OECD sambil menata reformasi domestik melalui PPN PMSE dan rencana PPh 22 untuk pedagang marketplace.

Ketidakadilan Fiskal 
Jika ditelaah lebih dalam, Achmad menilai PPh 22 untuk pedang marketplace menunjukkan ketidakadilan fiskal mendasar. Pajak adalah instrumen negara untuk mendistribusikan kembali nilai tambah yang dihasilkan aktivitas ekonomi kepada pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Ketika pajak hanya dikenakan kepada pedagang kecil-menengah marketplace lokal, tetapi tidak kepada perusahaan global yang mereguk revenue miliaran, maka di situlah keadilan fiskal gagal terwujud.

“Pelajaran dari Kanada jelas. Kedaulatan fiskal di era digital memerlukan keberanian dan diplomasi fiskal,” papar Achmad.

Tanpa kebijakan fiskal yang melibatkan perusahaan global, Indonesia akan terus berada di posisi lemah, hanya menjadi pasar tanpa mendapatkan kontribusi fiskal yang proporsional.

“Revenue iklan digital yang dominan dinikmati Google dan Meta, penjualan aplikasi Apple, cloud computing Amazon Web Services, serta layanan streaming global lainnya akan terus mengalir keluar tanpa pajak keuntungan,” imbuhnya.

Karena itu, katanya, DST bukan sekadar tambahan penerimaan, melainkan instrumen untuk menegakkan keadilan ekonomi.

Hal ini sama seperti retribusi pasar bagi pedagang kaki lima atau pajak kendaraan bagi pengguna jalan raya, pajak digital adalah kontribusi atas pemanfaatan infrastruktur internet, bandwidth, dan ekosistem digital yang dibangun negara.

Tanpa itu, negara hanya menjadi pelayan pasar digital global tanpa memperoleh distribusi nilai tambah bagi pembangunan nasional.

Namun, keberanian fiskal tanpa diplomasi akan memicu risiko geopolitik. Kanada berani menghadapi retaliasi AS.

“Indonesia perlu berhitung cermat. Karena itu, dukungan terhadap konsensus global OECD untuk DST multilateral menjadi penting,” kata Achmad.

Tetapi, ia mengingatkan, jika negosiasi OECD terus tertunda, maka keberanian fiskal unilateral tetap diperlukan agar Indonesia tidak terus kehilangan potensi penerimaan dari sektor digital.

Kebijakan PPh 22 marketplace patut diapresiasi sebagai langkah awal penertiban shadow economy domestik. Namun, pemerintah juga perlu menyiapkan kerangka DST nasional yang menargetkan revenue digital perusahaan global, agar tercipta level playing field yang adil.

Jika tidak, maka UMKM digital lokal akan merasa dizalimi oleh negara sendiri, sementara perusahaan asing justru bebas mengekstrak nilai ekonomi Indonesia tanpa kontribusi.

“Pajak digital bukan semata menambah penerimaan. Ini adalah instrumen distribusi keadilan ekonomi digital. Sama seperti jalan tol udara yang dinikmati raksasa global dan pedagang digital lokal, kontribusi fiskal mereka adalah amunisi pembangunan negara. Kebijakan fiskal digital Indonesia harus berani, bijak, dan komprehensif,” jelas Achmad.

Kesiapan Indonesia, lanjutnya, bergantung pada keberanian pemerintah menegakkan kedaulatan fiskal dengan diplomasi multilateral yang cerdas dan regulasi domestik yang terintegrasi.

“Pajak digital adalah masa depan penerimaan negara di era ekonomi berbasis data, cloud, dan platform global. Dan masa depan itu harus dipersiapkan hari ini, bukan besok,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar