07 Oktober 2021
21:00 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan tidak lantas semua penduduk yang memiliki NIK akan membayar pajak.
“Saya ingin tegaskan di sini dengan adanya UU HPP, setiap orang pribadi yang punya pendapatan hingga Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun orang pribadi single tidak kena pajak,” katanya dalam Konferensi Pers UU HPP, Jakarta, Kamis (7/19).
Seperti diketahui, Pemerintah menyepakati usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menaikkan lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5% dari penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta menjadi Rp60 juta.
Sedangkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tetap. PTKP tidak berubah yaitu sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk orang pribadi lajang, tambahan sebesar Rp4,5 juta diberikan untuk wajib pajak (WP) yang kawin dan masih ditambah Rp4,5 juta untuk setiap tanggungan, maksimal 3 orang.
Ini artinya masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap terlindungi dan tidak membayar pajak penghasilan sama sekali.
Sementara, dengan kenaikan batas lapisan (layer) tarif terendah ini, masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah disebut mendapatkan manfaat untuk membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya.
Sebagai ilustrasi WP orang pribadi dengan penghasilan Rp9 juta per bulan yang sebelumnya harus membayar sebesar Rp3,4 juta setahun, kini cukup hanya membayar PPh sebesar Rp2,7 juta setahun.
Di sisi lain, perubahan tarif dan penambahan lapisan (layer) PPh orang pribadi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar, dimaksudkan untuk lebih mencerminkan keadilan, bagi orang pribadi yang lebih mampu harus membayar pajak lebih besar.
Hal ini juga tercermin dalam pengaturan kembali natura (fringe benefit) di mana pemberian natura untuk pegawai tertentu atau kalangan tertentu ditetapkan menjadi objek pajak penghasilan bagi penerimanya.
“Yang jelas berikan perhatian dan keberpihakan kepada masyarakat yang pendapatan rendah dan ciptakan bracket baru yang memiliki pendapatan dan sumber pendapatan lebih tinggi bayar lebih tinggi ini disebut asas keadilan dan gotong royong,” kata Sri Mulyani.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OFP mengatakan urgensi NIK dijadikan NPWP karena NIK akan digunakan menjadi data sentral. Ia bilang, beberapa instrumen seperti data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos).
“Oleh karena itu, NPWP juga mengintegrasikannya ke NIK sehingga kita bisa petakan ini masyarakat masuk kelompok mana sehingga bisa mudah mengategorikan siapa saja WP kita ini, mana yang bisa dipajaki, mana yang tidak. Ini butuh waktu,” katanya.
Bagaimana Perlindungan Data?
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengatakan, data yang disampaikan WP tidak dapat dibagikan, disebarluaskan, atau diberikan kepada pihak lain. Hal ini tertuang pada Pasal 34 UU HPP.
“Hukumnya jelas di situ. Dan secara konteks prinsip terus akan kita jaga,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk kepentingan administrasi NPWP nantinya akan beralih menjadi NIK. Transisi pasti akan dilakukan terkait pemadanan NPWP dan NIK.
“Dengan kementerian yang terkait yang mengurusi masalah kependudukan ini,” imbuh Suryo.
Sebelumnya, pemerintah resmi mewajibkan NIK untuk pelayanan publik, salah satunya digunakan untuk NPWP. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2021 Pencantuman Dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan Dan/Atau Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam Pelayanan Publik.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, penggunaan NIK menjadi NPWP akan meningkatkan kesadaran untuk wajib pajak.
“Bagi masyarakat yang belum punya NPWP, cukup mencantumkan NIK saja. Bagi yang punya NPWP silahkan dicantumkan NIK dan NPWP,” katanya dalam keterangan resmi, Jakarta, Rabu (6/10).
Zudan menjelaskan, semua penduduk yang mempunyai NIK terdaftar otomatis menjadi wajib pajak. Tentunya tidak akan semua wajib pajak membayar pajak karena ada kategori dan ketentuannya.
Ia menjelaskan, percepatan satu data telah diawali dari Perpres Nomor 62 Tahun 2019 tentang Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati. Perpres ini ditujukan untuk menjaga agar semua layanan publik berbasis NIK.
“Jadi sudah diawali perpres. Kemudian ditegaskan kembali dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2021,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah tengah menuju era satu data dengan NIK sebagai basisnya. Penerapan akan dilakukan ke seluruh pelayanan publik. Jadi, ke depan NIK sebagai kunci akses dalam pelayanan publik.
“Ini adalah satu tahapan yang kita desain agar semua masyarakat mulai peduli dengan yang namanya Single Identity Number. Single identity number itu yang diterjemahkan menjadi NIK, yakni satu nomor tunggal bersifat unik, dibuat satu kali dan berlaku seumur hidup,” imbuhnya.
Zudan mengakui dengan integrasi NIK untuk pelayanan publik ini akan terbangun tradisi baru. Ia juga bilang, sebenarnya ketentuan menggunakan NIK ini sudah ada di Perpres Nomor 62 Tahun 2019 di bagian lampiran.
Untuk itu, pemerintah mendorong pelayanan publik dengan akses data ke Dukcapil. “Maka dulu di 2015 masih 30 lembaga yang kerja sama. Sekarang sudah 3.904. Naik banyak sekali,” ujarnya.