17 Mei 2025
08:43 WIB
SKK Migas: Cadangan Gas Besar RI Terkendala Infrastruktur
Penemuan gas beberapa tahun ke belakang cukup besar. Hanya saja, sebagian besar potensi gas di wilayah timur, terkendala infrastruktur penyaluran untuk kelangsungan distribusi di Indonesia barat.
Editor: Khairul Kahfi
Sejumlah petugas PGN memeriksa instalasi pipa gas. Antara/HO-PGN.
JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengungkapkan, penemuan gas di dalam negeri beberapa tahun belakangan cukup besar. Hanya saja, potensi yang ada terkendala infrastruktur penyaluran untuk kelangsungan distribusi.
Pasalnya, temuan gas tersebut sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia, sementara permintaan (demand) masih terpusat di Indonesia bagian barat.
"Kita banyak temuan cadangan gas, tapi daerah timur Indonesia. Jadi, bagaimana bawa cadangan gas menjadi produksi dan dikirim ke end user yang ada di Jawa dan Sumatra," kata Vice President Komersialisasi SKK Migas Ufo Budiarius Anwar di Jakarta, Jumat (16/5) melansir Antara.
Baca Juga: SKK Migas: Tren Produksi Gas Terus Naik, Infrastruktur Harus Siap
Ufo mengatakan, gas telah menjadi salah satu sumber energi yang semakin diminati. Meski termasuk sumber energi berbasis fosil namun gas dinilai lebih bersih.
'Nilai' tersebut yang membuat konsumsi gas bumi hampir dipastikan terus meningkat, sejalan dengan strategi transisi energi yang diusung pemerintah. Apalagi temuan cadangan migas dalam beberapa tahun terakhir didominasi gas.
Sayangnya, masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan temuan gas ini. Terdapat kesenjangan cukup besar antara lokasi atau sumber pasokan dengan lokasi demand. Untuk itu, harus disiapkan berbagai metode penyaluran atau supply, baik gas pipa maupun dengan beyond pipeline seperti LNG.
Berdasarkan data SKK Migas di 2024, rata-rata penyaluran gas bumi mencapai 5.613,43 BBTUD, dengan pemanfaatan gas bumi sekitar 60% lebih diperuntukkan untuk kebutuhan domestik. Sementara, sekitar 24,17% untuk ekspor LNG serta ekspor gas pipa yang diekspor ke Singapura 6,95%.
Ufo menuturkan, dengan kondisi banyaknya gas yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik, dapat dipastikan gas merupakan lokomotif penggerak ekonomi energi di Indonesia.
"Gas itu lokomotif energi Indonesia sangat cocok dengan transisi energi. Masalahnya ya infrastruktur tadi. Gas paling banyak, digunakan paling besar kelistrikan, pupuk. Ada city gas (atau) jargas itu adalah potensi kurangi LPG impor," jelas Ufo.
Meski pasokan gas secara kumulatif masih berada dalam kondisi surplus, dia kembali mengingatkan, ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan gas di berbagai wilayah telah menunjukkan kecenderungan yang semakin lebar.
"Untuk tahun ini saja masalah pasokan gas cukup dirasakan. Pemerintah memutuskan untuk melalukan swap gas yang diekspor ke Singapura menjadi LNG. Ini membuat kebutuhan gas sampai Juni tahun ini sudah tercukupi," kata Ufo dalam diskusi Strategi Penguatan Sektor Gas Bumi Indonesia yang digelar Energy Editor Society (E2S).
Sementara itu, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Pertamina Hulu Energi (PHE) Rachmat Hidajat mengakui, dengan adanya temuan gas di wilayah timur Indonesia membuat Pertamina sangat berharap kolaborasi dan keterlibatan pemerintah untuk bisa memastikan ketersediaan pasar konsumen gas.
"Harapan ke depan inventory kita banyak, tapi stranded field dan marginal. Belum bisa optimasi semua. Butuh kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Karena bagaimana caranya agar market mudah akses ke kita," ungkap Rachmat.
Pemerintah Perlu Siapkan Infrastruktur Dasar
Pada kesempatan sama, Anggota Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto menegaskan, infrastruktur dasar gas sudah seharusnya bisa disiapkan pemerintah. Tanpa infrastruktur dasar memadai, akan ada peningkatan biaya yang ujungnya akan berdampak pada harga gas.
"Kita enggak mempunyai infrastruktur dengan pipa. Ada tambahan ongkos kalau bukan pipa (LNG)," ungkap Sugeng.
Baca Juga: PGN Fokus Bangun Sejumlah Proyek Infrastruktur Gas Bumi Strategis
Dia pun menekankan, keterlibatan pemerintah jadi kunci untuk bisa menguatkan sektor gas bumi Indonesia. Dia mencontohkan pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang akhirnya diambil alih oleh negara setelah gagal dibangun dulu oleh Rekind dan Bakrie Grup.
"Nanti dari ujung Aceh sampai Jawa Timur pipa tersambung Jawa dan Sumatera. Jadi kaya (Lapangan Gas) Arun akan menjadi receiving terminal storage, baru alirkannya melalui pipa dan itu bisa murah," kata Sugeng.
Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, pemerintah harus terus menggenjot upaya integrasi maupun penyediaan infrastruktur gas. Upaya ini menjadi salah satu kunci untuk bisa meredam potensi kekurangan pasokan gas di beberapa wilayah di Indonesia.
Penuturannya dari berbagai data, sekitar 80% cadangan gas berada di Indonesia timur, kendati lokasi konsumen berada di bagian barat.
"Kalau bangun pipa, investor tanya berapa lama cadangan lewat. Kalau 5-10 tahun bangun pipa kemudian kalau balik modal 15 tahun, enggak akan dipilih. Kemudian opsi paling logis mengubah jadi LNG dengan skala kecil lebih mahal, sementara konsumen barat sudah terbiasa dengan harga gas murah, ini yang perlu diluruskan," jelas Komaidi.
Untuk itu, salah satu 'alat' yang bisa dimanfaatkan adalah keterlibatan badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta yang memiliki modal kuat untuk bisa mendorong pemanfaatan gas domestik.
"Badan usaha ini berperan penting dan utama serta menjadi mitra strategis pemerintah dalam penyiapan infrastruktur gas bumi dalam mendukung hilirisasi gas bumi," katanya.