10 September 2021
21:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Bak tidak ada habisnya jika mengulas dampak negatif penggunaan plastik, tanpa disadari kondisinya kini kian memprihatinkan. Betapa tidak, produk yang dipercaya dekomposisinya bisa makan waktu ratusan tahun ini, tingkat konsumsinya masih terlihat anteng di dalam negeri.
Mengutip laporan World Resources Institute atau WRI Indonesia 2021, penggunaan plastik sekali pakai menimbulkan pertumbuhan sampah plastik secara eksponensial. Tidak mengherankan, peningkatan jumlah sampah plastik yang terbuang semakin cepat dan besar.
Hitungan per 2015 saja, sekitar 6.300 Mt sampah plastik di laut telah dihasilkan di seluruh dunia hingga saat ini. Jumlah sebanyak itu, sama dengan total sampah plastik di laut selama 50 tahun sebelum masuk abad 21.
Adapun jenis plastik sekali pakai yang paling bermasalah, di antaranya adalah kantong plastik belanja, pembungkus makanan, kemasan minuman plastik, plastik saset, dan lainnya.
Jika tren ini berlanjut, ditaksir sekitar 12.000 Mt sampah plastik akan berakhir di tempat pembuangan akhir atau lingkungan alami pada 2050.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2018 memperkirakan, kerugian ekonomi akibat pencemaran plastik di laut mencapai US$ 14 miliar/tahun. Penyebabnya, rusaknya perikanan dan berkurangnya pariwisata.
Hasil pemantauan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekitar 45% sampah dari Jakarta yang berakhir di Teluk Jakarta, didominasi kemasan sekali pakai berbahan plastik. Beberapa di antaranya, botol plastik (7%); gelas plastik (9%); penutup plastik (4%); bungkus plastik tipis (7%); bungkus plastik tebal (6%); sedotan (6%); dan perkakas plastik (6%).
Pemerintah sendiri sejatinya telah berkomitmen melarang penggunaan plastik sekali pakai secara nasional sesuai PermenLHK 75/2019. World Resources Institute (WRI) Indonesia menyarankan, terdapat tiga hal yang bisa dilakukan untuk mencapai target pengurangan sampah sekali, pakai hingga awal 2030.
Pertama, mendorong transformasi produsen untuk menciptakan sistem pengumpul dan pendauran produk kemasan plastik, sambil mengurangi jenis plastik sekali pakai. Kedua, membangun regulasi yang mendukung efisiensi pemakaian dan pemanfaatan kembali plastik. Ketiga, mendorong inovasi pengurangan plastik sekali pakai oleh berbagai pihak.
Produk Inovatif
Melihat kondisi tersebut, inovasi menjadi kata kunci untuk Puti Shania Sastrosatomo yang tergerak menciptakan produk yang bisa mengubah gaya hidup dan kebiasaan masyarakat menggunakan pembungkus makanan. Visinya, menciptakan dunia tanpa sampah plastik.
Tidak sendirian, bersama delapan orang teman dalam mata kuliah Integrative Business Experience (IBE) di SBM Institut Teknologi Bandung, ia sepakat mendirikan Boenkus By Beeyond Co., September 2018. Tepatnya, waktu Naya, panggilan akrabnya, menduduki tahun kedua bangku perkuliahan.
Usahanya ini didirikan untuk fokus menciptakan produk yang ramah lingkungan untuk menggantikan plastik sekali pakai. Salah satu produk jagoannya adalah pembungkus makanan berlapis lilin lebah atau beeswax wrap. Ia terinspirasi dari kebiasaan kakak salah seorang temannya yang sudah menerapkan zero waste dengan menggunakan produk tersebut.
Peluang pasar memang terbuka lebar. Ketika kesadaran untuk mengurangi sampah plastik mulai muncul, produk pengganti plastik masih jarang beredar di pasaran.
Kalaupun ada, harga produk impor masih terlampau. Ia mengingat, kala itu produk impor serupa asal Australia dan Taiwan, biasa dijual mencapai Rp300 ribu/kemasan isi tiga.
"Sedangkan menurut kami, sebenarnya sustainability product tidak harus lebih mahal. Karena tujuan awal bukan hanya berdampak ke lingkungan saja, namun juga ke gaya hidup penggunanya," serunya kala dihubungi Validnews di Jakarta, Selasa (31/8).
Menurut penilaian Naya, harga produk alternatif yang terlampau tinggi hanya akan membuat esensi dari prinsip guna ulang dan berkelanjutan memudar. Apalagi, masa hidup produk yang hanya setahun dan mesti di-coating ulang, membuat produk impor terlihat merepotkan dan tak ramah kantong.
Harga Terjangkau
Karenanya, Boenkus pun hadir menjawab hal itu dengan menghadirkan produk yang lebih terjangkau. Ia pun membanderol produknya sebesar Rp100 ribu/kemasan, untuk tiga buah kain beeswax dengan ukuran berbeda-beda.
Naya yang menjabat sebagai Marketing Officer Boenkus juga mengakui proses pencarian material yang tepat pada tahap awal, memang begitu menantang. Bersama teman-temannya, ia melakukan trial and error secara manual.
Boenkus pun harus menjalani berbagai riset dan pengembangan untuk mendapatkan campuran lilin lebah yang paling pas untuk produknya. Hasil trial and error pun menyimpulkan, bahan terbaik untuk pembungkus adalah lilin lebah murni.
"Jadi produk kita semuanya organik. Proses RnD kita fokuskan berjalan sekitar tiga bulan sampai kurang lebih satu semester lamanya," ujar Naya.
Pada tahap produksi selanjutnya, Boenkus yang bermarkas di Bandung memberdayakan belasan perempuan di sekitar sentra produksi yang berawal di kos-kosan. Mulai dari menjahit, melapis produk dengan lilin hingga pengemasan dilakukan perempuan-perempuan tersebut.
Untungnya, beban biaya produksi utama lilin lebah yang berasal dari lokal juga relatif lebih murah. Praktis kondisi yang ada menunjang produk beeswax wrap yang lebih murah.
"Saat itu Boenkus juga hanya menghadapi satu kompetitor yang menjual cukup mahal, karena tahu saingannya produk impor saja. Jadi daripada main di pasar yang sama (mahal), kita ada di pasar beda sekalian," ujarnya.
Dirinya pun mengklaim produk buatannya mampu terurai jauh lebih cepat dari plastik, jika terkubur di tanah dalam kurun waktu lima tahunan. Hanya saja, dirinya lebih menyarankan customer untuk menggunakan ulang produknya untuk masa pemakaian yang lebih lama.
Makanya, alih-alih dibuang, Boenkus bersedia menerima produk yang sudah mulai “luntur” dari pembeli, untuk di-coating ulang. Jadi, pembeli tidak perlu untuk membeli pembungkus baru.
"Pattern (variatif) jadi keunikan kami dibanding yang lain. Karena kalau bukan vendor sendiri, pattern-nya terbatas di (pola) garis atau warna saja. Sedangkan kalau kita bisa pattern apa saja," jelasnya.
Mencoba Bertumbuh
Pada tahap awal, Naya bercerita, kesembilan penggagas Boenkus menemukan hambatan untuk pemasaran. Pasalnya, ceruk pasar produk pembungkus lilin lebah masih sangat kecil, bahkan di wilayah perkotaan atau kampus yang relatif lebih open minded sekalipun.
Banyak yang masih belum mengetahui produk buatannya beserta kegunaannya di kehidupan sehari-hari. Bahkan, ia mengalami sendiri, menjual produknya di lingkungan kampus lebih sulit ketimbang menawarkannya ke kelompok ibu-ibu. Menurutnya, mahasiswa masih cenderung memilih produk pembungkus yang lebih praktis dan sekali pakai.
Namun, seiring berjalannya waktu, penjualan produk Boenkus mulai mengalami kenaikan di bulan keenam Boenkus berjalan. Hal ini tak terlepas dari dukungan atau endorse dari influencer Eva Celia yang dikenal juga sangat perhatian pada isu lingkungan.
Membludaknya pesanan pun bertahan hampir setahun lamanya. Boenkus sempat kewalahan menerima order, sampai-sampai harus menerapkan sistem pre-order kepada para konsumen.
Sekian bulan berjalan, Naya dan rekan-rekannya bisa menyimpulkan, sekitar 80% pangsa pasar utama Boengkus adalah ibu-ibu muda berusia 30 tahun ke atas. Konsumen terbesar Bonegkus bisa dibilang adalah mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu berkegiatan di dapur dan mendekorasi ruangan rumah.
"Makanya pattern juga bertujuan untuk bisa dipajang di kulkas atau meja makan. Kan, kalau anak kuliahan belum ke arah situ," ujarnya.
Masuk tahun kedua, Boenkus masih fokus berkutat untuk meningkatkan penjualan. Tak hanya ditawarkan secara daring, kegiatan luring semacam workshop hingga even pun dilakoni karena terbukti bisa mendongkrak penjualan hingga 100%.
Boenkus juga sering diminta untuk mengisi stok produk custom di banyak toko sekitar 30-50 kemasan per bulan. Saat ini, produksi pun dipecah menjadi dua bagian, untuk produksi kain di Bandung dan coating beeswax di Jakarta.
Sayang seribu sayang, pertumbuhan bisnis yang sudah mulai hadir di tengah-tengah Boenkus, mesti terganjal pandemi yang terjadi di awal 2020. Pertumbuhan penjualan yang tengah menanjak pun harus tersengat dan tergerus cukup dalam.
Boenkus yang biasanya per tahun bisa meraup pemasukan seratusan juta rupiah, kini hanya tersisa puluhan juta rupiah per tahun dari kegiatan penjualan yang masih eksis.
Paling kentara, toko-toko di luar kota paling banter hanya menyetok 5 kemasan Boenkus per bulan. Penurunan penjualan pun berimplikasi pada penurunan produksi yang jatuh menyusut.
"Sedangkan produksi beeswax juga tidak dalam jumlah kecil-kecil, namun sekaligus besar. Sehingga kondisi berat saat pandemi juga kita sempat melakukan pergantian pegawai," kisahnya.
Fokus Bertahan
Untungnya, Boenkus telah terbiasa menerapkan penjualan secara daring dan luring. Jauh sebelum semua pihak menyadari betapa penting berdagang di toko digital di masa kekinian, penjualan daring sudah dijajalnya.
Sebelum pagebluk, penjualan antara toko fisik dan digital, tercatat seimbang, porsinya 50-50. Namun, kini penjualan didominasi pembelian dari e-commerce.
Di awal pandemi mendera Tanah Air, Boenkus mencoba mempertahankan penjualan lewat inovasi di dua produk baru selain pembungkus lebah lilin. Yaitu snack bag dan produce bag yang terbuat dari katun organik lokal.
Snack bag diperuntukkan untuk menyimpan kudapan ringan yang tahan air dan minyak. Sementara produce bag, berguna untuk membawa barang belanjaan berupa sayuran dan buah dengan jumlah yang lebih besar.
Namun, lanjut Naya, memang instabilitas suasana bisnis di dalam negeri selama pandemi, begitu sulit dihadapi Boenkus. Gangguan berupa pembatasan mobilitas orang di banyak tempat, sukses mengganjal operasional produksi.
Boenkus harus terkendala izin operasi, kenaikan biaya dan rumitnya pengiriman produk ke luar negeri. "Pernah (kirim) ke Singapura, tapi PPKM bikin shipping-nya jadi lebih mahal dan ribet. Jadi kita sedang mengurangi itu dulu dan fokus mempertahankan penjualan Jawa-Bali. Produksi di pabrik juga kadang boleh 100%, tiba-tiba enggak boleh operasi, kita ikut itu (peraturan)," terangnya.
Ke depan, Naya bilang, pihaknya untuk sementara tak menelurkan produk baru, sampai ada kejelasan penanggulangan pandemi. Hal itu dimaksudkan untuk menghemat biaya dan beban pengeluaran yang masih naik-turun.
Kendati pembaruan pola untuk ketiga produk baru, sebenarnya sangat mungkin bisa menarik minat konsumen. Namun, stok yang ada, perlu untuk terlebih dulu terjual agar tak menumpuk di gudang.
"Sebagai UMKM, kami sekarang fokus mengembangkan komunitas dan kolaborasi, sesuatu yang memang masih bisa dilakukan dari rumah secara aman. Makanya fokus Boenkus sampai covid-19 mereda adalah surviving," tegasnya.