26 Oktober 2022
20:54 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menyebutkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sedang dihadapkan pada ancaman resesi. Padahal dampak pandemi covid-19 terhadap perekonomian Indonesia belum pulih sepenuhnya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebelumnya memprediksi resesi global akan mulai terjadi pada 2023, yang disebabkan adanya kenaikan suhu bunga acuan segara agresif oleh bank sentral di berbagai negara guna meredam laju inflasi.
Resesi secara sederhana diartikan sebagai suatu keadaan di mana perekonomian suatu negara sedang memburuk. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang melambat, produk domestik bruto yang negatif dan peningkatan jumlah pengangguran.
"Konteks kepemimpinan duet presiden dan wapres yang akrab disapa Jokowi dengan Ma’ruf Amin tentunya tidak dapat dipisahkan dari periode pertamanya sebagai Presiden. Presiden mengawali periode pertamanya dengan kondisi yang tidak ideal,” sebutnya melalui siaran pers, Rabu (26/10).
Saat itu, pemerintah menghadapi pelemahan harga komoditas menekan neraca pembayaran Indonesia yang memasuki teritori negatif sejak tahun 2011. Pada 2013, Kebijakan pengereman pembelian aset oleh Bank Sentral Amerika Serikat membuat rupiah terjun bebas ke teritori Rp13.000 per USD dari sekitar Rp9.000-an.
"Meski demikian, Jokowi mampu meningkatkan belanja infrastruktur secara masif. Data dari CEIC menunjukkan besarnya belanja infrastruktur sepanjang periode pertama Jokowi mencapai lebih dari 1,5 kali lipat belanja infrastruktur dari dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)," katanya.
Hal ini menurutnya dilakukan meskipun tax ratio terus menurun tanpa meninggalkan disiplin defisit fiskal sebesar 3% PDB. Salah satu langkah yang berani adalah memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memberi ruang untuk pemanfaatan APBN ke arah yang lebih produktif.
Di saat yang sama, kebijakan perekonomian di tahap pertama pemerintahan Jokowi cenderung populis dan proteksionisme. Pelemahan harga komoditas membuat industri andalan seperti kelapa sawit meminta bantuan pemerintah.
"Sementara industri-industri manufaktur yang diproteksi malah semakin berkurang kontribusi ekonominya. Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi 'hanya' sekitar 5%, yang meski masih cukup baik dibanding banyak negara lain, tapi masih di bawah target yang diharapkan. Proyek infrastruktur yang turut didanai corporate bond menghantui balance sheet dari banyak BUMN karya. Reformasi struktural sangat diperlukan," jelasnya.
Periode II
Seperti kurang masalah, Krisan menuturkan periode kedua Jokowi dimulai dengan pandemi covid-19. Progres pengentasan kemiskinan yang sudah berjalan baik kembali mundur bersamaan dengan status upper-middle income dari World Bank.
"Pandemi ini juga memaksa pemerintah untuk menaikkan defisit APBN menjadi sekitar 6%. Kondisi global pasca pandemi menjadi semakin tidak pasti seiring dengan serangan Rusia ke Ukraina," ujarnya.
Disamping itu, Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai partner dagang utama mengalami perlambatan. Sementara Inflasi di negara-negara maju memaksa berbagai bank sentral, termasuk BI, untuk menaikkan suku bunga.
“Di tengah keinginan Presiden Jokowi untuk terus meningkatkan investasi, pasar global malah mengalami kesulitan pendanaan. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang membutuhkan investasi untuk menggerakkan sektor-sektor strategis,” imbuhnya.
Krisna menyebut, Jokowi-Ma’ruf perlu mewaspadai resesi yang mulai diramalkan akan terjadi di berbagai belahan dunia. Meski harga batu bara yang masih tinggi akan cukup menolong, namun tingkat suku bunga The Fed dan nilai tukar Rupiah masih perlu terus dipantau dan diwaspadai.
Menurutnya performa negara dalam mengumpulkan pendapatan negara melalui pajak dan memanfaatkan RCEP, sebuah perjanjian dagang yang baru saja diratifikasi, akan menjadi kunci yang sangat penting.
Untuk itu ia menyarankan pengumpulan data dan evaluasi jangka pendek maupun jangka menengah dari program-program ini harus terus diupayakan. Jokowi-Ma’ruf menurutnya harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa program-program ekonominya akan membawa manfaat di jangka panjang.
“Tidak hanya itu, karena sifatnya yang jangka panjang, keduanya juga harus mampu meyakinkan pasangan capres-cawapres berikutnya untuk meneruskan kebijakan-kebijakan ini. Atau alternatifnya, mari berharap pasangan calon berikutnya akan memiliki kritik yang cukup koheren dan memiliki ide-ide kebijakan ekonomi yang lebih baik,” tegasnya.