18 Oktober 2025
17:34 WIB
Sering Kena Tuduh, RI Perlu Ubah Hambatan Perdagangan Jadi Penguat Industri
Data WTO, dalam 10 tahun terakhir ada ratusan kasus dumping dan subsidi yang dituduhkan pada Indonesia. Perlu upaya mengubah hambatan perdagangan jadi penguat industri.
Penulis: Fin Harini
Seminar soal hambatan perdagangan yang diadakan dalam rangkaian Trade Expo Indonesia (TEI) 2025 di Kabupaten Tangerang, Banten pada Jumat (17/10). Sumber: Kemendag
KABUPATEN TANGERANG – Indonesia menjadi salah satu negara yang paling sering menghadapi tuduhan perdagangan tidak adil (unfair trade). Data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan, total ada 256 kasus dumping dan 36 kasus subsidi yang dituduhkan pada Indonesia pada 1995-2024.
Hal itu diungkapkan Analis Perdagangan Ahli Utama Kemendag Pradnyawati dalam seminar bertajuk “Tuduhan Bukan Ancaman: Strategi Pintar Indonesia di Perdagangan Global.”
Namun, lanjutnya, Indonesia telah menunjukkan kemampuan untuk menghadapi tuduhan tersebut secara profesional. Salah satu contohnya adalah kemenangan Indonesia dalam gugatan terhadap Uni Eropa di WTO terkait kasus subsidi baja nirkarat.
“Di masa depan, pemerintah berkomitmen memperkuat dasar hukum perdagangan nasional, meningkatkan kapasitas para ahli hukum perdagangan internasional, serta mendorong kebijakan industri yang selaras dengan aturan WTO,” ujar Pradnyawati melalui siaran pers, Sabtu (18/10).
Seminar tersebut merupakan bagian dari seminar bertema “Turning Trade Challenges into Opportunities: Indonesia’s Response to Anti-Circumvention and Cross-Border Subsidies Allegation in the World of Global Value Chains” yang diadakan dalam rangkaian Trade Expo Indonesia (TEI) 2025 di Kabupaten Tangerang, Banten pada Jumat (17/10).
Dalam sambutannya, Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Abu Amar menegaskan pentingnya kolaborasi semua pemangku kepentingan dalam menghadapi tuduhan perdagangan internasional seperti anti-circumvention dan crossborder subsidies.
Namun, ia menilai hambatan perdagangan yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor bisa dimanfaatkan untuk memperkuat struktur industri dalam negeri.
“Tuduhan trade remedies bukan semata ancaman, tetapi bisa menjadi momentum untuk memperkuat struktur industri nasional, meningkatkan efisiensi, dan memperbaiki kualitas produk ekspor kita,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Analis Perdagangan Ahli Madya Kemendag Damar Wijayanto menyoroti sejumlah tantangan global seperti proteksi perdagangan antarnegara, ketidakpastian geopolitik, serta isu logistik dan lingkungan.
Namun, masih terdapat peluang besar melalui pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan penguatan kerja sama internasional. Untuk mendukung hal tersebut, Kemendag telah mengembangkan sistem digital perdagangan Inatrade serta integrasi data pertambangan melalui Simbara.
“Pemerintah berkomitmen meningkatkan ekspor, memperluas pasar global, serta mendorong hilirisasi agar industri nasional semakin berdaya saing dan berkontribusi terhadap devisa negara,” terang Damar.
Menurutnya, perekonomian Indonesia menunjukkan tren positif dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024 dibanding tahun sebelumnya. Neraca perdagangan nasional juga mencatatkan surplus selama 64 bulan berturut-turut.
Belajar dari China
Selanjutnya, Atase Perdagangan RI Beijing Budi Hansyah mengatakan, kemajuan China sekaligus menghadirkan tantangan dan peluang baru. Pemerintah dan pelaku usaha nasional didorong untuk memperkuat daya saing melalui diversifikasi pasar ekspor, peningkatan kualitas produk, serta transformasi digital.
Ia pun berharap Indonesia dapat memperkuat posisi dalam rantai pasok global sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing dari China.
Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Sao Paolo Donny Tamtama menjelaskan, Brasil memiliki potensi besar sebagai pasar tujuan ekspor dengan populasi lebih dari 200 juta jiwa dan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai lebih dari US$2 triliun. Negara ini merupakan ekonomi terbesar di Kawasan Amerika Latin. Namun, jarak yang jauh antara Indonesia dan Brasil menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan hubungan perdagangan.
“Peluang ekspor ke Brasil masih sangat terbuka. Perwakilan di Brasil berkomitmen memberikan dukungan bagi pelaku usaha Indonesia melalui fasilitasi pameran, penjajakan kerja sama bisnis (business matching), serta promosi produk di berbagai kota di Brasil. Untuk itu, eksportir Indonesia diharapkan tidak ragu memanfaatkan peluang besar ini, dengan strategi yang adaptif terhadap karakter pasar Brasil dan kesiapan menghadapi tantangan regulasi serta logistik,” jelas Donny.
Salah satu peserta seminar, Eska Dwipayana, pengajar di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menyampaikan kesan positif terhadap pelaksanaan seminar. Menurutnya, kegiatan ini memberikan banyak wawasan baru mengenai tantangan perdagangan global yang dihadapi Indonesia, terutama terkait hambatan-hambatan nontarif serta pentingnya diplomasi ekonomi untuk melindungi kepentingan nasional di tengah tekanan negara-negara besar seperti Uni Eropa.
Eska berharap Kemendag terus memperkuat langkah dan strategi ekspor agar produk-produk unggulan dalam negeri dapat menjangkau pasar global yang lebih luas. Ia menilai, dengan pergerakan yang masif dan dukungan pemerintah pusat, Indonesia berpotensi menjadi kekuatan ekonomi yang memiliki posisi tawar tinggi, meniru pola keberhasilan negara seperti China yang mampu menjadikan surplus produksinya sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara perwakilan dari exportkita.com, berharap agar Kemendag dapat memperkuat fasilitasi bagi para trader agar lebih mudah menembus pasar internasional, termasuk dalam hal kemudahan regulasi dan mekanisme pembayaran lintas negara. Ia pun berharap Indonesia dapat mencetak lebih banyak trader baru, mendorong potensi ekspor agar meningkatkan devisa negara.