10 Juli 2024
20:35 WIB
Sempat Turun, Begini Jurus OJK Dongkrak Rating Saham RI
Morgan Stanley dan HSBC kompak menurunkan rating pasar saham Indonesia. OJK menyebut melakukan close monitoring terhadap potensi penurunan likuiditas di pasar
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
Pengunjung melintas di dekat papan elektronik yang menampilkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (29/12/2022). Antara Foto/Indrianto Eko Suwarso
JAKARTA - Lembaga keuangan Amerika Serikat (AS), Morgan Stanley dan HSBC kompak menurunkan rating pasar saham Indonesia.
Morgan Stanley menurunkan rating saham di Indonesia menjadi "underweight". Sedangkan, HSBC menurunkan rating pasar saham Indonesia dari "overweight" ke "netral".
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi menjelaskan, kinerja fundamental emiten yang listing di suatu Bursa, antara lain dipengaruhi oleh kondisi ekonomi di negara tersebut.
Oleh karena itu, penurunan rating saham Indonesia oleh Morgan Stanley dan HSBC dilakukan karena berbagai pertimbangan.
"Penurunan rating saham di Indonesia oleh Morgan Stanley menjadi underweight, antara lain dipengaruhi oleh faktor fiskal domestik. Sedangkan, HSBC yang menurunkan dari overweight ke netral, concern terhadap tingkat suku bunga serta pelemahan nilai tukar domestik," ungkap Inarno dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu (10/7).
Menurutnya, faktor-faktor tersebut diperkirakan akan mempengaruhi kinerja emiten yang listing di Bursa di Indonesia, misalnya berkaitan dengan cost of fund, utang dalam mata uang valas, pendapatan dan earning (profitabilitas).
Sehubungan dengan penurunan rating, OJK juga melakukan close monitoring terhadap potensi penurunan likuiditas di pasar dan rebalancing portofolio atas saham listing di Indonesia.
Kendati demikian, dia menegaskan, berdasarkan data saat ini, Rata-Rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) di Bursa menunjukkan peningkatan dibanding posisi Bulan Mei 2024.
Tercatat, rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) pasar saham per Juni 2024 sebesar Rp12,28 triliun ytd. Sedangkan, per Mei 2024, RNTH sebesar Rp12,17 triliun ytd.
Dalam hal ini, OJK terus berkoordinasi baik dengan Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi, sehingga tetap resilient dan dapat tetap bertumbuh.
Selain itu, OJK juga berharap dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, akan ada perubahan rating dari Morgan Stanley dan HSBC ke level yang lebih baik.
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengaku telah menyiapkan strategi untuk mengerek transaksi saham. Salah satunya akan meluncurkan beberapa hal baru pada tahun ini.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy mengatakan bahwa pihaknya dalam proses menyiapkan beberapa hal baru yang akan diluncurkan dalam tahun ini, seperti short selling, single stock futures, dan put warrant (structured warrant).
"Kami berharap ini bisa menambah pilihan instrumen trading bagi para investor," kata Irvan kepada media, Kamis (13/6).
Tanggapan Analis
Sebelumnya, Pengamat Pasar Modal Lanjar Nafi mengatakan menilai adanya penurunan peringkat rekomendasi untuk pasar saham RI disinyalir dapat meningkatkan risiko aksi jual investor asing di pasar saham Indonesia.
"Hal ini meningkatkan risiko aksi jual investor asing di pasar saham Indonesia," katanya kepada Validnews, Jumat (14/6).
Kendati demikian, berdasarkan pantauan Lanjar Nafi, tidak bisa dipukul rata saham di Tanah Air seluruhnya mendapatkan rating underweight. Pasalnya, Analist Morgan Stanley masih memberikan rating "overweight" pada beberapa saham besar.
"Perbankan rata-rata masih overweight rekomendasinya, seperti BBNI, BBRI, BBCA, ARTO. Sedangkan, BMRI equalweigth," jelasnya.
Di sisi lain, kepada Validnews, Jumat (14/6), Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta justru merasa lega penilaian ini hanya datang dari beberapa lembaga.
Hal itu juga tidak lantas mempengaruhi proyeksi IMF, World Bank, dan Asian Development Bank. Mereka memproyeksikan perekonomian Indonesia masih relatif stabil dan tangguh karena didukung oleh fundamental dalam negeri yang kuat seperti konsumsi yang kuat.