08 Juli 2025
17:17 WIB
Sederet Penyebab Negosiasi Tarif dengan AS Gagal, Kekosongan Dubes Disorot
Kurangnya koordinasi, gagal memanfaatkan nilai tawar, hingga kekosongan posisi Dubes RI untuk AS selama dua tahun jadi sederet penyebab yang diyakini memengaruhi kegagalan negosiasi tarif dagang.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Dubes RI untuk AS Rosan Perkasa Roeslani (kanan) mendampingi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) dan Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita (kiri) menghadiri pertemuan IPEF di Detroit, AS pada 26-27 Mei 2023. Antara/HO-Dubes Amerika Serikat.
JAKARTA - Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat membeberkan sejumlah alasan yang diyakini menjadi penyebab Indonesia gagal melakukan negosiasi tarif dengan Amerika Serikat, sehingga Donald Trump memutuskan tetap memasang tarif 32% untuk RI.
Alasan pertama, Indonesia gagal memanfaatkan penawaran terhadap daya tarik hilirisasi mineral kritis nikel yang sangat strategis.
"Indonesia memegang sekitar 34% cadangan nikel dunia, ini seharusnya menjadi bargaining chip kuat dan menjadi potensi tumpuan dalam negosiasi tarif," ujar Achmad dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Selasa (8/7).
Baca Juga: Tetap Kena Tarif 32%, Menko Airlangga Langsung Negosiasi Ke AS
Namun menurutnya, tim negosiator Indonesia tak mampu merumuskan tawaran konkret, seperti investasi hilirisasi atau konsesi teknis terkait mineral kritis, yang akan mendorong AS menurunkan tarif lantaran butuh pasokan bahan baku nikel bagi industri kendaraan listrik dan militer.
Lebih jauh, masalah regulasi domestik terutama birokrasi lambat, ketidakpastian hukum, dan hambatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), diyakini juga menjadi beban yang membuat AS ragu menurunkan tarif.
"Bayangkan kita mencoba membuka gerbang besar, tetapi kuncinya berkarat dan engselnya macet. Pemerintah menawarkan negosiasi, tetapi gerbang investasi dan kemitraan tertutup oleh birokrasi dan Non Tariff Measures (NTM), tak efisien," tambah Achmad.
Sedikit mengingatkan, sebelumnya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memang mengungkap, Indonesia telah memberikan penawaran kedua (second offering) kepada AS terkait potensi mineral kritis di bidang nikel untuk industri EV.
Namun seperti yang dikatakan Achmad, saat itu dirinya tidak mengungkap secara pasti proyek atau pengembangan apa yang diberikan kepada pihak AS, lantaran masih berupa proyek yang bersifat tertutup.
"Ini (penawaran nikel) bagi Amerika cukup menarik tawaran Indonesia untuk proyek spesifik. Proyek spesifiknya nanti juga dalam pembicaraan dengan Amerika. Karena kita nanti ada plan non-disclosed," ujar Airlangga saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Senin (30/6).
Minim Perencanaan
Alasan kedua yang menjadi penyebab kegagalan negosiasi RI-AS terkait tarif dagang adalah minimnya perencanaan atau orkestrasi dan transparansi publik. Menurut Achmad, struktur tim negosiasi AS yang terfragmentasi juga menjadi penyebab utama kegagalan negosiasi.
"Negosiasi yang dilakukan kemarin tidak memiliki orkestrasi dan koordinasi menyeluruh dari Airlangga, Pimpinan Kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Luar Negeri juga tidak diberikan cukup informasi apa saja yang dinegosiasikan, apalagi publik," imbuhnya.
Baca Juga: OJK: Dampak Tarif AS 32% Ke Pasar Keuangan Masih Relatif Terbatas
Menurutnya, kondisi ini bila dianalogikan sederhana layaknya tim sepak bola yang masing-masing pemain bermain dengan strategi sendiri tanpa pelatih.
"Mereka mungkin memiliki skill individu, tetapi tanpa koordinasi dan strategi tim, mereka tidak akan pernah mencetak gol kemenangan," tambahnya.
Kekosongan Posisi Duta Besar
Penyebab ketiga yang juga disorot dan tak kalah krusial adalah kosongnya posisi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat selama kurang lebih dua tahun terakhir. Tepatnya, sejak Rosan Roeslani meninggalkan jabatannya pada 17 Juli 2023 dan setelahnya menduduki posisi Wakil Menteri BUMN.
Menurut Achmad, kondisi tersebut menambah beban strategi diplomasi Indonesia, ditambah pemerintah yang saat ini belum menunjuk pengganti Rosan.
Baca Juga: Nego Tarif Dagang 32% Dengan AS Dilanjut, Menperin: Bukan Saatnya Panik
Padahal, AS merupakan mitra dagang dan strategis utama Indonesia, terutama dalam hal penyumbang surplus dalam neraca perdagangan.
Tanpa perwakilan resmi di Washington DC, suara Indonesia dipastikan tidak akan terwakili secara optimal dalam diplomasi tarif negosiasi strategis menjadi lebih lemah dan kurang responsif.
Dia menekankan, seorang Dubes memiliki otoritas penuh untuk membuka akses dialog, mengajukan proposal konkret, atau menjembatani kepentingan hilirisasi nikel dan mineral.
"Kekosongan ini (Dubes AS) bukan sekadar kelalaian, melainkan menurunkan posisi tawar Indonesia di panggung global," pungkas Achmad.