08 Juli 2023
17:50 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Pemerintah Indonesia mulai meningkatkan keseriusan pada sektor pendidikan dalam dua dekade belakangan. Hal itu terlihat dari terbitnya kebijakan mandatory spending, yang mengharuskan sektor pendidikan mendapapet jatah anggaran 20% dari total APBN.
Tak lain tujuannya supaya sumber daya manusia (SDM) Nusantara bisa lebih bermutu dan berdaya saing di tingkat global.
Meski alokasi 20% itu masih tertinggal dibandingkan Vietnam, Malaysia, atau bahkan Timor Leste jika dilihat dari persentase GDP, kebijakan tersebut tetap menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan belanja publik untuk pendidikan terbanyak di tingkat Asia.
Lantas, apa hasil akhir yang diharapkan pemerintah? Ke mana kebijakan mandatory spending itu akan berlabuh? Dan bagaimana ekspektasi pemerintah untuk membangun sektor pendidikan?
Plt. Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Didik Darmanto menyebutkan ada sederet target yang dibidik pemerintah dalam kurun 2025-2045 mendatang.
Utamanya, untuk menciptakan pendidikan berkualitas dan merata yang menghasilkan SDM unggul, berkarakter, dan berdaya saing.
Indikatornya, ialah Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas di level 12 tahun, Harapan Lama Sekolah (HLS) 14,81 tahun, hingga Skor Programme for International Student Assessment (PISA) diharapkan bisa meningkat di atas rata-rata OECD.
"Serta presentase pekerja lulusan pendidikan menengah dan tinggi yang bekerja di bidang keahlian menengah tinggi sebesar 75%," jelas Didik kepada Validnews, Jumat (7/7).
Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu output dari kebijakan pembangunan sektor pendidikan terus mengalami kemajuan. Jika ditarik jauh, tingkat IPM Indonesia pada 2010 baru di angka 66,53 dan meroket ke level 72,91 tahun 2022.
Adapun untuk lima tahun belakangan, IPM Indonesia berada di level 71,30 pada 2018, naik menjadi 71,92 pada 2019. Lalu, berturut-turut IPM naik menjadi 71,94 pada 2020, 71,29 pada 2021, dan tahun 2022 menjadi 72,91.
Dimensi atau indikator pengetahuan sebagai salah satu pondasi IPM pun cenderung meningkat sejak 2019.
Misalnya, untuk tingkat Harapan Lama Sekolah (HLS) yang pada 2018 di level 12,91 tahun, naik menjadi 12,95 tahun pada 2019, dan 12,98 tahun pada 2020. Kemudian pada 2021, tingkat HLS berada di kisaran 13,08 tahun, dan terakhir 13,1 tahun pada 2022.
Asal tahu saja, realisasi anggaran pendidikan tahun 2021 lalu mencapai sekitar Rp540 triliun, lalu turun pada 2022 menjadi sekitar Rp472,6 triliun. Untuk tahun ini, pemerintah menetapkan anggaran kembali naik, tak kurang dari Rp612 triliun untuk membangun sektor pendidikan.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjabarkan sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan dasar hingga sekolah menengah mengingat demografi Indonesia yang didominasi oleh kalangan muda.
Prioritas pemerintah pada peningkatan pendidikan, sambung Menkeu, menjadi sebuah pencapaian dalam 20 tahun belakangan. Misalnya, ialah pembangunan fisik sejumlah sekolah di berbagai penjuru bangsa.
"Ini menjadi tantangan besar mengingat kita sangat besar secara geografis dan populasi yang tidak merata," imbuh Menkeu, dikutip Antara, Rabu (5/7).

Arah Kebijakan
Dalam upaya pemerataan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh wilayah, Didik menjelaskan Kementerian PPN/Bappenas sudah merancang arah kebijakan yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Pada RPJPN itu, rumusan arah kebijakan pendidikan hingga 2045 mendatang mencakup upaya perwujudan pendidikan berkualitas yang merata lewat percepatan wajib belajar 13 tahun, yakni 1 tahun pra-sekolah dan 12 tahun pendidikan dasar dan menengah, peningkatan partisipasi pendidikan tinggi dan lulusan STEAM berkualitas, termasuk pemanfaatan dana pendidikan, hingga restrukturisasi kewenangan pengelolaan guru.
Poin lainnya ialah peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran, penguatan pembelajaran berbasis digital, penguatan peran pendidikan tinggi untuk mobilitas sosial, serta peningkatan kualitas dan distribusi guru maupun dosen dalam rangka penyediaan pendidikan yang inklusif.
"Termasuk juga penguatan pendidikan agama dan pendidikan agama, revitalisasi pendidikan nonformal, percepatan perwujudan diferensiasi misi perguruan tinggi, penguatan sistem penjaminan mutu dan tata kelola pendidikan, peningkatan produktivitas, daya saing, dan kemampuan kerja, dan terakhir peningkatan kualitas dan efisiensi pembiayaan pendidikan," paparnya.
Namun dalam membangun sektor pendidikan dan mewujudkan target tersebut, dia menegaskan harus ada sinergi yang terjalin antarseluruh pemangku kepentingan, mulai dari kementerian/lembaga, pemda, masyarakat, lembaga internasional, hingga dunia usaha.
Misalnya, untuk menekan angka Anak Tidak Sekolah (ATS), dibutuhkan koordinasi lintas sektor dari pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi itu diimplementasikan dengan mendata ATS secara tepat oleh Kemendes PDTT, Kementerian Dalam Negeri, pemerintah daerah, hingga pemerintah desa yang kemudian dipadankan dengan Dapodik Kemendikburistek dan EMIS Kemenag.
"Selain itu diperlukan kerja sama dunia industri agar memberi skema kerja sama kepada masyarakat supaya memastikan anak-anak usia sekolah bisa bersekolah hingga 12 tahun, kemudian diberikan akses yang mudah dalam mendapat pekerjaan yang layak," kata Didik.
Mismanajemen
Meski pemerintah punya sederet program untuk memajukan sektor pendidikan, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jejen Musfah menilai ada beberapa hal yang harus dibenahi pemerintah soal pengalokasian 20% anggaran untuk sektor pendidikan.
Salah satu yang patut dikoreksi adalah pelaksanaan 20% anggaran itu baru terpenuhi dalam konteks APBN. Padahal dalam beleid-nya, alokasi itu harus berasal dari APBN dan APBD. Terlebih, 20% APBN untuk sektor pendidikan juga mencantumkan belanja pegawai yang biasanya tak dimasukkan pada anggaran di negara lain.
Akibatnya, masih banyak pembangunan infrastruktur maupun fasilitas penunjang untuk pendidikan yang belum terlaksana dan belum terstandardisasi.
"Sekolah dan madrasah kita banyak yang mengalami penurunan fasilitas dalam artian pemeliharaannya dan pengembangannya kurang, padahal siswanya bertambah. Jadi, standardisasi fisik terhambat karena belanja pegawai masuk dalam 20% itu," tutur Jejen di Jakarta, Rabu (6/7).
Selain itu, porsi 20% APBD pun banyak tidak terpenuhi karena angka tersebut sangat bergantung pada kekuatan atau besaran anggaran di setiap daerah. Hanya segelintir daerah yang disebutnya bisa memenuhi porsi 20% APBD untuk sektor pendidikan.
"Misalnya Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Batam, itu daerah-daerah yang memang sumber APBD-nya tinggi," tambah dia.
Jejen menilai hal tersebut jadi cerminan bahwa telah terjadi miss management pada pengelolaan anggaran pendidikan. Artinya, alokasi untuk sektor pendidikan memang besar, tetapi penggunaannya belum begitu tepat di masing-masing daerah.
"Katakanlah begini, di satu sisi ada program pelatihan menyerap sampai triliunan per tahun, tetapi di sisi lain banyak guru yang gajinya masih di bawah Rp1 juta," ujarnya.
Pada kondisi itu, guru-guru yang sudah sejahtera ialah mereka yang masuk kategori PNS ataupun P3K. Dia mengibaratkan dua mobil dengan bentuk dan spesifikasi yang sama, namun harganya berbeda.
"Seperti halnya guru, PNS dan honorer kinerja-nya sama, tapi gaji dan tunjangannya sangat berbeda. Ini yang menurut saya miss management karena pemerintah hanya fokus pada guru tertentu tapi mengabaikan guru honorer," tegas Jejen.
Didik Darmanto mengakui, masih diperlukan upaya peningkatan akuntabilitas dan optimalisasi pelaksanaan pada alokasi transfer daerah, pengeluaran pembiayaan, maupun belanja kementerian.
"Ini butuh upaya berbagai pihak, utamanya masyarakat sehingga anggaran pendidikan bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk mewujudan pendidikan berkualitas yang merata," tandasnya.

Perhatikan Swasta
Lebih lanjut, Jejen juga mengingatkan agar pemerintah tak abai terhadap kehadiran sekolah-sekolah swasta. Pasalnya, jumlah sekolah atau madrasah negeri di Indonesia masih belum sebanding dengan kebutuhan masyarakat sehingga sekolah swasta menjadi opsi bagi masyarakat untuk menempuh pendidikan.
Jangan hanya diberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dia menekankan harus ada dana khusus yang ditransfer kepada sekolah swasta guna menjamin bahwa siswa miskin bisa tetap bersekolah dengan biaya yang ditanggung oleh pemerintah, termasuk menempuh pendidikan di sekolah swasta.
Pemerintah, sambungnya, bisa menggunakan data terkait masyarakat miskin untuk menekan tingkat putus sekolah. Menurut Jejen, tingginya angka putus sekolah tak lepas dari ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.
"Siswa miskin tidak dapat jatah di sekolah negeri yang gratis, tapi di swasta mereka tidak mampu membayar. Karena itu, harus muncul peraturan baru terkait pembiayaan bahwa siapapun yang bersekolah di sekolah swasta, biayanya menjadi tanggung jawab pemerintah maupun pemda," tandas Jejen.
Menjawab tantangan itu, Didik Darmanto memaparkan upaya pemerataan pendidikan berkualitas telah dilakukan pemerintah. Ada program percepatan pelaksanaan wajib belajar 12 tahun dan pendidikan tinggi, dengan perhatian khusus pada penanganan anak tidak sekolah dan keberpihakan pada anak dari keluarga yang kurang mampu melalui Program Indonesia Pintar (PIP) dan beasiswa afirmasi.
"Program PIP dan beasiswa afirmasi telah meningkatkan partisipasi pendidikan secara cukup signifikan, khususnya kesenjangan partisipasi pendidikan menengah dan tinggi antara penduduk termiskin dan terkaya sudah semakin kecil," sebutnya.
Didik juga mengklaim sepanjang 2016-2022 telah terjadi perbaikan pada Angka Putus Sekolah/Partisipasi Pendidikan Dasar. Misalnya pada 2016, tingkat APK berada di level 2,46% dan menjadi jauh lebih baik di tahun 2022 sebesar 0,63%.
Selain dari situ, keberhasilan sektor pendidikan menurutnya juga terlihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMP, SMA, hingga perguruan tinggi yang meningkat setiap tahunnya.
Di sisi lain, peningkatan akses terhadap satuan pendidikan pun terus digarap oleh pemerintah lewat revitalisasi dan pembangunan unit sekolah baru yang terfokus pada daerah afirmasi dan daerah yang sulit mendapat akses pendidikan lewat kolaborasi dengan pemda melalui pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK).
"Selain itu, pemerataan pendidikan ke daerah-daerah juga dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh dan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan," pungkas Didik Darmanto.