11 September 2025
19:31 WIB
Sampai Juli 2025, Pendapatan Pertamina Anjlok 6%
Oversupply minyak mentah dan tantangan bisnis perkilangan jadi salah satu penyebab anjloknya pendapatan PT Pertamina
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Ilustrasi Gedung Graha Pertamina di Jakarta, Sabtu (03/09/2022). ValidnewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - PT Pertamina membukukan pendapatan sebesar US$40,99 miliar sepanjang Januari-Juli 2025. Angka itu tercatat mengalami penurunan sekitar 6% jika disandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya di kisaran US$43,52 miliar.
Adapun pendapatan PT Pertamina sepanjang tahun 2024 tercatat di angka US$75,32 miliar atau turun tipis 0,60% dari tahun sebelumnya di angka US$75,78 miliar.
Walau begitu, perusahaan energi pelat merah tersebut pada Januari-Juli 2025 berhasil mencatat laba bersih sebesar US$1,59 miliar, lebih besar 6% dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$1,50 miliar.
Wakil Direktur Utama PT Pertamina Oki Muraza dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR menerangkan salah satu penyebab terkoreksinya pendapatan perseroan ialah harga minyak mentah dunia yang mengalami penurunan.
Harga minyak mentah global, sambung Oki, dipengaruhi setidaknya oleh tiga hal, yakni supply, demand, dan tensi geopolitik. Misalnya ketika ada konflik Rusia dan Ukraina, harga minyak mentah meroket cukup tinggi.
Baca Juga: Tahun 2024, Laba Pertamina Merosot Nyaris 30%
Tapi setelah itu, tren harga minyak mentah menunjukkan penurunan dalam waktu yang cukup panjang. Bahkan dalam beberapa pekan terakhir, harga minyak mentah berada di kisaran US$66 per barel.
"Tentu ini sangat mempengaruhi keekonomian dan profitability dari Pertamina dan menurut beberapa konsultan, perkiraannya tahun depan itu akan terus turun hingga di angka US$59-US$60 per barel," jabar Oki di Gedung Parlemen, Kamis (11/9).
Dijelaskan lebih lanjut, menurunnya harga minyak mentah beberapa waktu terakhir tak lepas dari peningkatan pasokan minyak bumi. Kondisi oversupply ia sebut terjadi dari negara anggota OPEC+ maupun non-OPEC.
"Itu terjadi karena peningkatan pasokan minyak bumi, oversupply baik dari OPEC+ maupun dari non-OPEC," sambung dia.
Kemudian, terdapat juga pengaruh melemahnya permintaan global akan minyak mentah. Permintaan dari pemain-pemain besar seperti China sedang melemah karena perlambatan ekonomi domestik.
"Dan tentunya terjadi juga ketidakpastian geopolitik yang akan mempengaruhi supply dan demand. Sebagaimana kita tahu, harga minyak mentah sangat berpengaruh kepada bisnis hulu di Pertamina dan juga di Indonesia," katanya.
Tantangan Bisnis Midstream
Selain harga minyak, Oki juga tak menampik ada tantangan yang signifikan bagi perseroan dari sisi bisnis midstream. Sejumlah perusahaan global pun disebutnya mengalami tantangan bisnis perkilangan.
Oversupply terjadi bukan hanya dari pasokan minyak mentah, tetapi juga pada produk olahan kilang. Hal ini menjadi salah satu pengaruh lain terhadap profitabilitas perusahaan.
"Beberapa perusahaan besar itu mengalami impairment dan kendala dalam mendapatkan profitability. Ini kita bisa lihat beberapa perusahaan, bp, TotalEnergies, dan seterusnya termasuk Chevron memang mendapat tantangan dari rendahnya harga minyak dan oversupply," sebut Oki Muraza.
Baca Juga: Perusahaan Afiliasi Baru Pertamina Catatkan Peningkatan Laba Bersih 38%
Pasokan minyak olahan yang berlebih di kilang itu berakibat pada spread atau selisih harga masuk kilang dengan harga produk menjadi rendah dan menjadi tantangan tersendiri bagi PT Pertamina.
Kondisi serupa, sambung Oki, dirasakan oleh perusahaan energi lainnya, baik National Oil Company (NOC) maupun International Oil Company (IOC). Terbukti, ada banyak kilang di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia yang ditutup.
"Dan diperkirakan ada 17 kilang yang akan tutup menjelang tahun 2030. Ini tentu tantangan kita bersama dengan semangat untuk mengejar ketahanan energi, menciptakan lapangan pekerjaan, tentu kita semuanya akan merawat sebaik mungkin seluruh kilang yang kita miliki," pungkas dia.