c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

22 Januari 2024

21:00 WIB

Rumah Mocaf, Bisnis Sekaligus Berdayakan Pekebun Singkong “Naik Kelas”

Berawal dari banyaknya pekebun singkong yang enggan panen karena harga anjlok, Riza memulai pengolahan mocaf atau tepung singkong. Hingga kini produksi Rumah Mocaf laku di luar negeri.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

Rumah Mocaf, Bisnis Sekaligus Berdayakan Pekebun Singkong “Naik Kelas”
Rumah Mocaf, Bisnis Sekaligus Berdayakan Pekebun Singkong “Naik Kelas”
Beragam produk olahan singkong dari Rumah Mocaf. Dok/Rumah Mocaf

BANJARNEGARA - Jargon “Balik Ndesa Mbangun Ndesa” (Kembali ke desa, membangun desa) tentu sudah sering kita dengar. Jargon yang menjadi cita-cita bagi warga desa, agar masyarakat mereka yang telah pergi meninggalkan kampung halaman, entah untuk belajar atau bekerja, setidaknya bisa kembali ke desa untuk membangun wilayahnya.

Sepertinya, jargon ini bisa mewakili kisah Riza Azyumarridha Azra, seorang founder sekaligus CEO Rumah Mocaf (Modified Cassava Flour), yang merupakan perusahaan rumahan produsen tepung mocaf. Riza sendiri merupakan kelahiran asli Banjarnegara 32 tahun silam

Semua berawal dari inisiatif Riza yang menggandeng lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) di Banjarnegara untuk menjalankan program sekolah inspirasi pedalaman Banjarnegara, Jawa Tengah. Di program tersebut, Riza dan tim menjelajah ke berbagai desa-desa di Banjarnegara sambil memberikan pelatihan dan pendidikan nonformal bagi anak-anak desa. Rupanya, jumlah penduduk desa yang Riza kunjungi, banyak yang tidak melanjutkan jenjang pendidikan SMA terbilang banyak, bahkan tak sedikit dari mereka hanya lulus SD dan terpaksa langsung bekerja.

Hingga suatu hari, Riza tiba di salah satu desa di Kecamatan Purwonegoro yang dikenal sebagai desa penghasil singkong. Di sana, dia mendapati banyak usulan masyarakat jika pelatihan dan pendidikan nonformal juga diperlukan oleh para orang tua dan petani.

“Waktu itu saat kita izin, kulo nuwun sama warga yang ada di situ, dan kita dapat banyak masukan. Mereka bilang kalau bikin program jangan hanya untuk anak-anak. Orang tua di sini juga butuh,” cerita Wakhyu Budi Utami, biasa disapa Tami selaku Co Founder Rumah Mocaf, kepada Validnews, Sabtu (13/1).

Dari usulan tersebut, Riza bersama tim mencari program pelatihan apa yang sesuai dengan kondisi sosial setempat. Dari keluhan masyarakat, banyak yang bekerja sebagai pekebun singkong saat itu dan memilih tidak panen karena harga jual singkong saat itu sedang anjlok-anjloknya. Tami menyebutkan, kala itu, harga jual singkong yang diperoleh para pekebun di salah satu desa di Banjarnegara tersebut senilai Rp200–Rp500 per kg. Padahal sebelumnya, pada saat normal mampu mencapai Rp1.000–Rp2.000 per kg.

Dari permasalahan sosial tersebut, muncullah ide dari Riza untuk membuat program pemberdayaan mengolah singkong agar nilai ekonomi yang lebih tinggi. Riza yang saat itu baru saja lulus kuliah jurusan Teknik Elektro dan Listrik Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2014, berusaha mencari inovasi apa yang bisa dibuat dari tumpukan singkong hasil masyarakat di desa tersebut. Dia sempat terbersit untuk membuat tepung tapioka atau makanan siap saji beku (frozen food), namun keduanya memerlukan teknologi yang cukup berbiaya tinggi.

Riza terus berpikir, hingga dia teringat masa lalunya saat berkuliah di Yogyakarta, yaitu ketika ikut menggarap kegiatan pemberdayaan dengan dosen, praktisi, dan akademisi terkait pembuatan tepung mocaf. Dia menilai karya mocaf yang awalnya digarap di Yogyakarta tersebut, bisa diterapkan juga di Banjarnegara.

Ternyata edukasi mengubah singkong utuh menjadi mocaf kepada masyarakat yang Riza dan tim lakukan berhasil. Para pekebun mampu menaikkan nilai ekonomi hasil panen mereka, selain itu bisa juga menyimpan produk mereka lebih lama. Bagaimana tidak, singkong yang mereka panen hanya mampu bertahan dalam jangka waktu 5-7 hari. Sedangkan saat menjadi mocaf, mereka bisa menyimpannya hingga 2 tahun.

“Itu karena ada proses pengeringannya kan, variasi pengolahannya juga beragam saat jadi mocaf. Waktu singkong utuh, paling cuma bisa direbus, kukus, atau goreng. Tapi begitu jadi mocaf, otomatis bisa jadi cookies, cake, dan olahan lainnya,” ungkap Tami.

Dari Pemberdayaan, Beralih ke Bisnis Berbasis Sosial
Masalah pemberdayaan masyarakat sekitar berhasil diatasi. Para pekebun senang bisa mengolah singkong mereka sehingga harga jual jauh lebih tinggi. Akan tetapi, ternyata masalah baru justru muncul.

Seperti kita tahu, hukum dasar ekonomi yang selalu menjunjung keseimbangan supply and demand. Ternyata setelah banyak pekebun yang mampu mengolah singkong jadi mocaf, suplai mocaf di masyarakat desa-desa di Banjarnegara menjadi melimpah ruah. Sayangnya, permintaan pasar belum terlalu tinggi, karena masih banyak yang tidak tahu tepung mocaf dan manfaatnya.

Dari sinilah mocaf bertransformasi, semula lahir sebagai pemberdayaan masyarakat. Pada 2017 hingga saat ini beralih menjadi bisnis dengan basis sosial. Praktisnya, Rumah Mocaf pun berperan sebagai offtaker hasil mocaf yang diproduksi masyarakat sekitar, selain memproduksi sendiri.

”Mocaf ini masih asing, belum banyak dikenal. Sehingga kami memutuskan membuat suatu orientasi kemampuan yang awalnya untuk pemberdayaan, berubah menjadi bisnis berbasis sosial,” tutur Tami.

Tami yang juga merupakan istri Riza ini mengungkapkan, sejak tahun 2017 itulah Rumah Mocaf kembali berinovasi mengolah tepung mocaf yang membanjiri Banjarnegara menjadi beragam varian seperti tepung premix dan olahan bahan siap saji. Rumah Mocaf pun kini berhasil berkontribusi membangun ekosistem di bidang singkong, sekaligus mendukung kedaulatan pangan Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, jumlah pekebun yang produknya diserap Rumah Mocaf hingga saat ini mencapai 400-600 orang yang tersebar di beberapa kabupaten di sekitar Banjarnegara. Padahal pada awal pelatihan mengubah singkong menjadi mocaf, pekebun yang terlibat hanya sekitar 54 orang. Rumah Mocaf juga berhasil membuka kesempatan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, dengan melibatkan karyawan hingga 30 orang.

“Ya dari jumlah itu, sekitar 85% sampai 90% dari Banjarnegara asli,” jelasnya.

Pengembangan Pemasaran
Awal pemasaran tepung mocaf ini kata Tami, masih hanya berkutat di Banjarnegara. Seiring waktu, pemasaran mulai melintas antarkota di Jawa Tengah, seperti Yogyakarta dan Semarang. Setelah melakukan riset agar pemasaran lebih fokus, ditentukanlah target pasar Rumah Mocaf menyasar ke perkotaan-perkotaan besar di Indonesia, seperti Jabodetabek, Surabaya, Bali, serta kota metropolitan lainnya. Bukan tanpa alasan, ini dipilih karena konsumen produk Rumah Mocaf didominasi masyarakat perkotaan yang mulai lebih peduli mengonsumsi makanan sehat dan mengenal tepung mocaf.

“Jadi kami ini fokus pemasarannya di daerah perkotaan. Karena kan kita bukan mass product, jadi belum bisa disamakan dengan bahan pangan lain seperti beras atau tepung lainnya yang semua bisa nyari, bahkan masyarakat kelas bawah. Jadi untuk mocaf ini pasarnya masih sangat niche, dan penjualan juga berupa business to business (B2B) atau business to consumer (B2C),” ujarnya.

Adapun produk yang dihasilkan Rumah Mocaf ini antara lain tepung premix atau tepung yang siap digunakan misalnya untuk fried chicken, mocafine original, mocafine premix masterbread untuk tepung roti, dan produk siap makan seperti cookies mocaf (chocofine, berryfine), dan gula singkong cair.

Sementara itum harga yang ditawarkan untuk tiap produknya berbeda-beda, yaitu untuk cookies di kisaran Rp27.000, tepung mocafine Rp17.000 hingga Rp443.000, dan gula singkong cair Rp28.000 hingga Rp220.000.

Tami bercerita, selama ini Rumah Mocaf terus memasarkan produknya melalui beragam cara. Salah satunya dengan memanfaatkan platform belanja online, seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, hingga Tiktok.

Rumah Mocaf juga kerap mengikuti pameran skala nasional hingga internasional. Beberapa pameran besar yang pernah Rumah Mocaf ikuti antara lain Trade Expo Indonesia 2023, Malaysia International Halal Showcase (MIHAS), SIAL InterFOOD Expo, Hanover Messe di Jerman, hingga Summer Fancy Food Show di New York.

Tak heran jika produk Rumah Mocaf sudah menembus pasar ekspor, di antaranya mencapai Oman, Filipina, Malaysia, Australia, hingga Inggris.

Upaya Promosi dan Edukasi Tepung Mocaf
Sejalan dengan misi awal dalam membangun Rumah Mocaf, Tami mengakui jika selain berbisnis dengan basis sosial, Rumah Mocaf juga berupaya mendukung terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia. Mocaf sendiri memiliki kandungan protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, dan zat besi, yang bisa menjadi substitusi sumber pangan karbohidrat di Indonesia seperti beras dan tepung-tepung lainnya.

Sayangnya, di Indonesia sendiri masih minim pengetahuan tentang penganekaragaman sumber pangan selain beras. Oleh karena itu, Riza, Tami, dan tim Rumah Mocaf selain mempromosikan produk mereka, juga sekaligus mengedukasi sumber pangan lokal lain. Mereka sampai saat ini pun terus melakukan pelatihan di beberapa kota besar dan Jabodetabek terkait pengolahan tepung mocaf, seperti menjadi cookies, roti tawar, kue sifon, bronis, dan aneka gorengan.

“Kami fokus mengedukasi masyarakat tentang bagaimana cara menggunakan tepung mocaf ini. Jadi kita bikin cooking class, demo masak, kerja sama dengan pemerintah, swasta, perusahaan bakery, dan sesama pengusaha untuk mengedukasi pengolahan tepung mocaf ini menjadi aneka makanan,” kata Tami.

Dia mengakui jika saat ini tepung mocaf masih dalam fase edukasi. Namun, Tami menilai jika kepedulian akan makanan sehat oleh masyarakat Indonesia semakin tinggi. Puncaknya ketika pandemi covid-19 melanda. Kata Tami, pandemi justru menjadi peak season bagi Rumah Mocaf, karena permintaan tepung mocaf di kalangan masyarakat umum mulai naik dan mendorong peningkatan penjualan.

“Pas pandemi itu peak season  buat kami, karena masyarakat jadi lebih aware dan peduli untuk konsumsi makanan sehat. Mereka memilih untuk makan makanan non inflamasi seperti makanan non gluten kaya tepung mocaf ini,” ujarnya.

Produk gula singkong cair yang mereka produksi juga semakin tinggi permintaannya. Usut punya usut, menurut Tami, banyak juga masyarakat di Indonesia saat ini yang mulai mengurangi konsumsi gula putih dan beralih ke gula aren atau gula singkong cair.

Kendati begitu, pandemi tetap saja memberi tantangan bagi Rumah Mocaf, yaitu macetnya pengiriman ekspor karena sejumlah kargo yang berhenti beroperasi. Hal itu membuat pengiriman tepung mocaf dari Rumah Mocaf ke sejumlah negara tertunda, padahal buyer menginginkan produk dengan harga murah.

Berkat edukasi yang terus gencar dilakukan, ini mendorong peningkatan volume penjualan Rumah Mocaf. Tami mengaku jika di awal penjualan, mereka hanya bisa menjual sekitar 1-2 ton per bulan di tahun 2014. Namun saat ini sudah menembus 20-30 ton per bulan.

Tami pun tetap optimis dengan bisnis yang dijalankan dengan suaminya ini. Meski harus tekun mengedukasi masyarakat, namun dia melihat peluang pasar mocaf ke depannya jauh lebih besar. Dia pun menargetkan agar Rumah Mocaf bisa menembus banyak industri. Upaya ini dilakukan dengan terus mengembangkan research and development (RnD) agar tepung mocaf mereka bisa menyuplai produk lainnya seperti produksi bioplastik, alkohol, lem, pakan hewan, dan banyak lagi.

“Pasa mocaf memang belum sebesar pasar komoditas lain, tapi kami optimis akan terus bertumbuh. Target ke depan selanjutnya, rumah Mocaf akan terus mengembangkan RnD agar bisa digunakan di banyak industri karena kebutuhan produk singkong akan semakin banyak. Kami melihat ada endless possibility dari beragam olahan singkong,” ungkap Tami.

Apakah Pemerintah Peduli?
Karena misi yang dianggap seurat nadi dengan rencana pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan penganekaragaman sumber pangan, maka mulai tahun 2017 dan 2018, Rumah Mocaf mulai bekerja sama dengan pemerintah dalam berkolaborasi menggarap program pangan. Sejumlah kolaborasi yang pernah dilakukan mereka dengan pemerintah antara lain Bank Indonesia (BI) yang mengakomodasi beberapa peralatan di awal pengadaan untuk pelatihan pemanfaatan tepung mocaf.

Kemudian pembinaan dan fasilitas oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk membuka akun di Alibaba, kolaborasi kampanye konsumsi pangan selain beras bersama Kementerian Pertanian (Kementan), dan fasilitasi dan informasi pameran dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).

“Jadi sebenarnya sudah banyak sumber pangan lokal kita. Tapi butuh dukungan dari pemerintah agar tepung mocaf bisa bersaing lebih masif dari sumber pangan yang lain di tingkat nasional,” ucap Tami. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar