c

Selamat

Senin, 20 Mei 2024

EKONOMI

28 Oktober 2023

16:39 WIB

Rumah Garam Portable, Jalan Kemandirian Ekonomi Nelayan Banyusangka

Rumah garam portable yang digagas PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) ini membuat nelayan Banyusangka mampu memproduksi garam, hingga melahirkan aneka produk dari garam.

Editor: Fin Harini

Rumah Garam Portable, Jalan Kemandirian Ekonomi Nelayan Banyusangka
Rumah Garam Portable, Jalan Kemandirian Ekonomi Nelayan Banyusangka
Panen garam di salt center di Banyusangka, Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan, Jawa Timur. Program ini merupakan pemberdayaan masyarakat PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore. PHE WMO/Dok

BANGKALAN – Hidup berdampingan dengan lautan tak membuat para nelayan Banyusangka, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, mudah mendapatkan garam untuk mengolah hasil laut. Program memproduksi garam menggunakan teknologi digagas untuk menjawab kebutuhan nelayan Banyusangka.

Program pemberdayaan masyarakat PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) ini membuat nelayan mampu memproduksi garam, hingga memetik manfaat ekonomi darinya.

"Di sini tidak ada petani garam, kendati berdekatan dengan laut dan memiliki potensi garam bagus. Para nelayan harus membeli garam di desa lain yang jauh untuk mencukup kebutuhan," kata Ketua Badan Usaha Milik Desa Ahmad Bukhori Muslim di Banyusangka, lewat siaran pers, Sabtu (28/10)

Garam bukan satu-satunya masalah di sana. Pesisir Banyusangka dipenuhi sampah. Warga mudah saja membuang sampah di tanah-tanah kosong dan membiarkannya hanyut terbawa ombak pasang. Padahal, di Banyusangka, sekitar 79% dari 3.242 penduduk desa tersebut menggantungkan nasib pada laut.

PHE WMO rupanya melihat problem di Banyusangka dalam gambaran yang lebih luas. Menyandang predikat sebagai pulau garam, nyatanya tak setiap tahun Madura, termasuk Bangkalan, mampu menghasilkan garam sesuai target.

Baca Juga: Mengurai Garam Langka di Negeri Bahari

Sebagai salah satu produsen terbesar garam nasional, Bangkalan ditargetkan memproduki empat ribu ton. Namun pada 2022, petani garam di sana hanya bisa memenuhi 740 ton.

Ulika Trijoga Putrawardana, Head of Communication Relation and CID Zona 11 PHE WMO, melihat salah satu problem terbesar sulitnya petani garam memenuhi target produksi adalah tiadanya inovasi dalam pengolahan. Para petani garam lebih memilih pendekatan tradisional tanpa modernisasi, sehingga ketergantungan terhadap alam sangat tinggi.

Ini diakui Bukhori. "Petani garam saat musim hujan berhenti total," katanya.

Pada 2022, fenomena La Nina telah mengganggu produksi garam. Maklum, curah hujan tinggi membuat garam susah diproduksi. Kondisi serupa pernah terjadi pada 2016, saat curah hujan tinggi membuat produksi garam jatuh ke 140 ribu ton secara nasional, dibandingkan 2,1 juta ton pada 2015. Tahun 2017, kegagalan produksi juga terulang akibat musim hujan berkepanjangan.

Menanggapi masalah tersebut, Ulika menyebut PHE WMO ingin melaksanakan program yang bisa menjadi model penyelesaian persoalan garam nasional.

"Kami ingin berkontribusi memecahkan  problem garam nasional meskipun tidak massif. Bersama masyarakat kami mencoba berkontribusi menyelesaikan problem pada saat tertentu, saat garam mengalami kelangkaan yang membuat kita mengimpor garam," kata Ulika.

Teknologi tepat guna tentu menjadi kunci. Program ini kemudian mengadaptasi teknologi pengadaan air tawar yang diolah dari air laut yang selama ini digunakan PHE WMO untuk pembuatan garam. "Teknologinya sama, tidak terlalu jauh," kata Ulika.

PHE WMO kemudian menemui masyarakat Banyusangka yang berada di ring pertama kawasan produksi. Mereka menawarkan program Tretan Berseri Salt Center Terintegrasi (Masyarakat-Terampil-Tangguh-Berinovasi-Sejahtera-Mandiri) pada 2018.

Tawaran itu tak bertepuk sebelah tangan. Namun program tak langsung bisa dilaksanakan, setelah sejumlah anggota kelompok tani memilih bekerja di luar desa. Sebagian bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri.

Badan Usaha Milik Desa Wijaya Kusuma yang beranggotakan 16 orang kemudian melakukan musyawarah desa dan berupaya menggiatkan kembali produksi garam di Banyusangka. Namun pandemi datang dan menyebabkan program terkendala.

Teknologi Pembuatan Garam
Setelah melakukan konsolidasi pada 2021, program kembali dilaksanakan pada 2022. PHE WMO menerapkan tiga hal, yakni penerapan teknologi tepat guna untuk meningkatkan kualitas garam, melakukan diversifikasi produk berbahan dasar garam, dan eduwisata garam.

Ada tiga teknologi tepat guna yang digunakan, yakni roughing filter, rumah garam portable, dan mini washing plant atau alat cuci garam. Roughing filter berguna untuk membersihkan polutan pengotor air baku garam. Rumah garam untuk memproduksi garam. Sementara mini washing plant digunakan untuk mencuci, mengeringkan, dan menghaluskan kristal garam dengan memisahkannya dari bahan pengganggu.

Rumah garam portable berbeda dengan rumah garam pada umumnya. "Salt house yang sudah dikembangkan di tahun 2018 sempat berhasil dan efektif. Namun ternyata rumah garam yang kami bangun tidak antisipatif terhadap perubahan cuaca ekstrem, seperti angin puting beliung. Salt house tidak cukup kuat," kata Ulika.

PHE WMO pun berinovasi dengan memanfaatkan limbah padat non B3 di perusahaan yang tidak terpakai. Mereka membuat rumah garam bongkar pasang dengan konstruksi yang lebih kuat, sehingga diberi nama rumah garam portable.

Serangkaian teknologi yang diterapkan ini membuat kristal garam yang dipanen lebih halus, bersih, kadar NaCl meningkat dari 56,12% menjadi 94,07%. "Ini mendekati kualitas garam industri. Ini bisa kami pasarkan meski jumlahnya belum banyak karena lebih banyak dipakai warga sendiri. Garam ini sebenatnya bisa diserap industri," kata Ulika.

Baca Juga: Gajah Bertarung Pelanduk Mati di Tengah

Diversifikasi Produk
Sementara itu diversifikasi produk garam seperti pembuatan bumbu dendeng, sabun cuci, garam relaksasi, eco detergent, dendeng ikan, vanilla sea salt, permen karet, cabe garam, dan bumbu tabur bangkok melibatkan para wanita di desa.

"Pertamina juga memberi pelatihan diversifikasi garam. Bagaimana caranya garam bisa jadi produk lain. BUMDes menyediakan modal untuk ibu-bu itu. Produk mereka dijual BUMDes kepada konsumen," kata Bukhori.

Perekonomian pun bergerak di desa itu. "Nelayan Banyusangka tak lagi kesulitan mencari garam. Kami menjual garam itu Rp 75-80 ribu setiap 50 kilogram. Ternyata kami bisa memproduksi garam yang sama dengan petani," kata Bukhori.

Program ini juga menghidupkan eduwisata atau wisata edukasi bagi pelajar. "Melalui salt center, kami mengenalkan ke sekolah-sekolah proses pembuatan garam, sehingga generasi muda tak lupa kalau Pulau Madura adalah pulau garam," kata Ulika.

Program Salt Center ini disebut Ulika melampaui ekspektasi PHE WMO. Dari sisi kelembagaan, menurut Ulika, program ini mengubah cara berpikir dan orientasi masyarakat tradisional pembuat garam, dari yang terbiasa individual menjadi berorganisasi dan menyelesaikan persoalan bersama kelompok. "Kedua, mereka mau menerima perkembangan teknologi," kata Ulika.

Program ini juga menjadi pusat jejaring antarpelaku garam di sekitar desa, termasuk petani tradisional. Pengelolaan distribusi garam dilakukan secara terpusat melalui BUMDes Wijaya Kusuma dan kerja sama dengan petani garam dari desa lainnya untuk pencucian garam dan penjualan garam rakyat. Ini menjadi hal baru dari pengembangan program tersebut.

Sampah Jadi Briket
Manajer PHE WMO Field Markus Pramudito mengatakan, tahun ini Salt Center juga menggunakan Teknologi Ulir Filter (TUF) sebagai metode produksi garam dengan memodifikasi petak produksi garam untuk mempercepatan air dan proses kristalisasi garam.

"Kami juga melakukan pelatihan pengenalan cuaca menggunakan sumber daya lokal untuk menjawab persoalan ketidakmenentuan cuaca yang terjadi, sehingga membuat petani garam dan petani lainnya ragu-ragu dalam proses pertanian," kata Markus.

Pelatihan ini melibatkan Universitas Trunojoyo Madura sebagai pendamping pelaksana program. "PHE WMO juga berbagi pengetahuan dalam pemanfaatan data-data kelautan untuk prediksi cuaca. Dengan adanya kegiatan pelatihan cuaca tersebut, kelompok diharapkan dapat mengidentifikasi gejala perubahan cuaca melalui intepretasi jenis awan dan arah angin dan mengantisipasinya dalam proses produksi," kata Markus.

Belakangan dampak Salt Center tak hanya pada penguatan produksi garam sebagai identitas Madura, namun juga konservasi lingkungan hidup. Melalui program Siram Berbakat yang merupakan akronim dari Kristalisasi Garam Berbahan Bakar Briket Rakyat, PHE WMO mengampanyekan daur ulang sampah untuk bahan bakar mesin produksi garam. Inovasi yang dikembangkan ini merupakan hal baru yang diterapkan dalam proses produksi garam rakyat.

"Selama ini kami melihat kendala di wilayah Desa Banyusangka yang dekat tempat pengolahan ikan, sampah menumpuk dan sebenarnya sampah tersebut bisa dimanfaatkan dan dikelola menjadi briket," kata Ulika.

Bukhori yang selama ini gerah dengan kebiasaan warga desa membuang sampah sembarangan langsung menyambut gembira program itu. "Penduduk Banyusangka membuang sampah di laut tanpa beban. Dengan pemanfaatan sampah jadi briket, kami bisa mengajak masyarakat agar tak buang sampah. Sampah kami ambil dan mereka dapat imbalan," katanya.

Ubaidillah, Ketua Unit Usaha Produksi Garam BUMDes Wijaya Kusuma, berharap kelak produksi briket pun bisa dilakukan warga desa sendiri, "Kemarin ada inisiatif dari pemerintah desa, PHE WMO, dan BUMDes untuk mengolah sampah menjadi briket di sekitar desa. Namun kami sadar proses cukup rumit," katanya.

Sementara waktu PHE WMO bekerja sama dengan Rumah Daur Ulang Dinas Lingkungan Hidup Bangkalan untuk mengelola sampah di Banyusangka menjadi briket. Ada potensi pemanfaatan sampah hingga 15 ton per bulan. Timbulan sampah pun berkurang sejak program ini dilaksanakan pada Juli 2023.

Pada akhirnya di Banyusangka, bukan hanya kemandirian yang lahir dari dua belas petak tambak garam. Kesadaran pun hadir untuk menjaga pantai dan laut yang menjadi rumah para nelayan desa yang seperti puisi D. Zawawi Imron: hidup berbantalkan ombak berselimutkan angin.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar