c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

16 Agustus 2022

11:30 WIB

Ruang Subsidi Energi Makin Terbatas, Fiskal-Moneter Perlu Diperhatikan

Inflasi disinyalir dapat mengancam secara langsung keberlangsungan perekonomian nasional saat ini.

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Fin Harini

Ruang Subsidi Energi Makin Terbatas, Fiskal-Moneter Perlu Diperhatikan
Ruang Subsidi Energi Makin Terbatas, Fiskal-Moneter Perlu Diperhatikan
Ketua MPR Bambang Soesatyo. ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto

JAKARTA – MPR RI mengingatkan pemerintah untuk mencari cara lain mengakomodasi subsidi energi masyarakat di dalam negeri di tengah harga yang melejit. Selain itu, inflasi nasional pangan dan energi yang mulai merangkak naik harus betul-betul dicermati secara mendalam.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan, beban subsidi dari pemerintah untuk energi BBM mencakup Pertalite, Solar, dan LPG, tahun ini mencapai Rp502 triliun. 

Kenaikan harga minyak yang terlalu tinggi, tentu akan menyulitkan Indonesia dalam mengupayakan tambahan subsidi, untuk meredam tekanan inflasi saat ini. 

Bambang menyebut, harga minyak dunia pada awal April 2022 diperkirakan sudah melonjak signifikan mencapai US$98/barel. Harga ini pun sudah jauh melebihi asumsi harga minyak dunia pada APBN 2022 yang sebesar US$63/barel. 

“Tidak ada negara yang memberikan subsidi sebesar itu. Kondisi fiskal dan moneter Indonesia juga perlu menjadi perhatian,” katanya dalam Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI 2022, Jakarta, Selasa (16/8). 

Selanjutnya, dirinya juga meminta pemerintah untuk turut mewaspadai dan tidak lalai dalam menghadapi kondisi inflasi yang bakal terjadi di dalam negeri. Inflasi disinyalir dapat mengancam secara langsung keberlangsungan perekonomian nasional saat ini.

Ia menyampaikan, BPS per Juli 2022 melaporkan, laju inflasi Indonesia sudah berada di level 4,94% (yoy). Prediksinya, laju inflasi nasional akan meningkat menuju kisaran 5-6% per Agustus 2022. Bahkan sebulan setelahnya, dirinya juga meyakini, Indonesia bakal menghadapi ancaman hiperinflasi dalam rentang 10-12%.

“Laju kenaikan inflasi disertai dengan lonjakan harga pangan dan energi, semakin membebani masyarakat, yang baru saja bangkit dari pandemi covid-19,” ujarnya.

Guna menghadapi potensi krisis global, ia menggarisbawahi, di sektor fiskal, Indonesia bakal menghadapi tantangan berupa normalisasi defisit anggaran, menjaga proporsi utang luar negeri terhadap PDB, dan keberlanjutan pembiayaan infrastruktur. 

Di sisi moneter, tantangan terbesarnya berbentuk pengendalian laju inflasi, menjaga cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Indonesia pun mau tidak mau harus menyanggupi pengembangan kemampuan sektoralnya, terutama konsolidasi demokrasi, ekonomi hijau, infrastruktur digital, dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). 

“(Untuk itu) keberlanjutan komitmen lintas pemerintahan merupakan landasan utama bagi pembangunan nasional jangka panjang. Sekaligus upaya memitigasi berbagai risiko yang dihadapi di masa depan,” sambungnya.

Meski demikian, dirinya masih menyimpan optimisme bahwa risiko resesi ekonomi di dalam negeri masih akan lebih baik dibanding negara lainnya di global. Dirinya berkaca pada laporan hasil survei Bloomberg yang menilai Indonesia sebagai negara dengan risiko resesi yang terbilang kecil, hanya 3%.

Proyeksi ini pun jauh lebih rendah dan sangat jauh, jika dibandingkan dengan potensi rata-rata resesi di negara Amerika dan Eropa, yang masing-masing mencapai 40-55%. Begitupun, dibanding berbagai negara Asia Pasifik yang memiliki potensi resesi pada rentang antara 20-25%.

Normalisasi Defisit APBN 
Bamsoet juga bilang, di tengah tantangan ekonomi yang sedang memanas, pemerintah harus menyanggupi untuk mengembalikan rasio defisit anggaran seperti sebelum pandemi covid-19 ke 3% pada APBN 2023.  

“(Normalisasi APBN) menjadi tantangan utama, karena kondisi pemulihan yang tidak menentu,” ungkapnya. 

Belum usai, pemerintah juga wajib menyoroti beban pembayaran bunga tambahan dampak peningkatan utang yang signifikan beberapa waktu terakhir. Sebagai strategi jangka pendek, ia menyarankan, agar pemerintah perlu menyusun prioritas dan realokasi anggaran secara tepat.

“Kebijakan burden sharing tidak hanya dengan moneter, tetapi juga dengan dunia usaha, dapat menjadi opsi dalam upaya pembiayaan ketidakpastian di masa mendatang,” sebutnya. 

Sementara itu strategi jangka panjang, ia mengingatkan, agar pemerintah wajib memiliki perencanaan pembayaran utang setidaknya untuk 30 tahun ke depan. Pada saat bersamaan, pemerintah juga dituntut memastikan kondisi fiskal dan moneter tetap terjaga. 

Di sisi lain, pembayaran kupon dan jatuh tempo utang pemerintah, akan berdampak pada pengurangan cadangan devisa. Per Juli 2022, kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri Indonesia sebesar US$21,6 miliar/bulan. 

“Lebih lanjut, posisi cadangan devisa Indonesia pada Juli 2022, masih senilai lebih dari dua kali lipat dari standar kecukupan internasional,” sebutnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar