c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

EKONOMI

26 Juli 2021

16:30 WIB

Riset: Industri Sawit Pacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Kabupaten yang memiliki sentra sawit perkembangannya lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten yang tidak memiliki sawit

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Faisal Rachman

Riset: Industri Sawit Pacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Riset: Industri Sawit Pacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke atas mobil di Tarailu, Mamuju, Sulawesi Barat, Minggu (23/05/2021). Antara Foto/Akbar Tado

JAKARTA – Keberadaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit di berbagai provinsi di Indonesia, dinilai dapat melahirkan pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah yang menjadikan komoditas tersebut, sebagai andalan dan basis penopang ekonomi utama. Hal tersebut terbukti dari hasil studi yang dilakukan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).

Direktur Eksekutif PASPI Indonesia Tungkot Sipayung mengatakan, dari riset yang dilakukan pihaknya membuktikan berkembangnya aktivitas perkebunan dan industri sawit berbanding lurus dengan naiknya pendapatan masyarakat.

Data PASPI Indonesia menunjukkan, ada 10 provinsi yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru seiring dengan berkembangnya industri sawit di daerah tersebut. 

Kesepuluh provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat.

"Kabupaten yang memiliki sentra sawit perkembangannya lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten yang tidak memiliki sawit. Ini hasil penelitian secara empiris dan hasilnya sama dengan penelitian World Bank (Bank Dunia)," ujar Tungkot dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (26/7).

Tungkot juga menyebut, selain mendongkrak ekonomi, keberadaan perkebunan kelapa sawit pun berdampak positif pada lingkungan sosial dan ekologi daerah tersebut. Salah satunya PASPI Indonesia merujuk riset dari Robert Henson, yaitu ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat (AS).

Seorang pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam rakit di Desa Rantau Bais , Rokan Hilir, Riau, Senin (8/3/2021). Harga TBS sawit naik pada pekan kedua Maret 2021 dipengaruhi permintaan ekspor dan domestik yang meningkat sehingga harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) menjadi naik seharga Rp15.458.112 per metrik ton. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid 

 

Penyerapan Karbondioksida
Penelitian Henson di Malaysia diterbitkan dalam laporan berjudul The Rough Guide to Climate Change. Dalam penelitian itu disebut bahwa penyerapan karbondioksida dan produksi oksigen perkebunan kelapa sawit lebih baik dibandingkan hutan.

Apabila dihitung, perkebunan sawit mampu menyerap karbondioksida (CO2) sekitar 163 ton/ha/tahun. Artinya, dengan luas lahan yang dimiliki Indonesia sebesar 16,381 juta hektare maka perkebunan sawit dapat menyerap CO2 hingga mencapai 2,67 miliar ton/tahun.

Perkebunan sawit pun menyediakan konservasi tanah dan air berupa biopori alami dalam sistem perakarannya. Di luar itu, sawit juga mampu menghasilkan berbagai produk turunan yang ramah lingkungan dan energi terbarukan, seperti biodiesel, biopremium, bioplastik, dan biogas.

Sementara itu, dari luas lahan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia tersebut, sekitar 3,38% atau 553.952 hektare terdapat di bagian timur Indonesia. Meliputi Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Adapun untuk Papua, luas lahan kelapa sawit di sana baru sekitar 58.656 hektare dan Papua Barat 110.496 hektare. Di wilayah Papua Barat, perkebunan sawit tersebar di Kabupaten, yaitu Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Teluk Bintuni, dan Fak Fak.

Sedangkan di wilayah Papua, terdapat di Kabupaten Nabire, Jayapura, Keerom, Boven Digoel, Mappi, dan Merauke. 

Potensi pengembangan kelapa sawit di Indonesia bagian timur, harus dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sana, serta menimbulkan multiplier effect.

Pasalnya, upaya pengentasan kemiskinan sudah dilakukan melalui sawit dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Secara umum, target PSR 2020-2022 mencapai 540 ribu hektare, di 21 provinsi yang melibatkan kurang lebih 43 ribu pekebun. Sementara, khusus untuk Papua, target PSR mencapai 6 ribu hektare.


Pekerja memanen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/20 20). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan nilai ekspor kelapa sawit nasional tahun 2020 yang berada di tengah situasi pandemi COVID-19 tidak mengalami perbedaan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau dengan volume 29,11 juta ton. Antara Foto/Wahdi Septiawan 

 


Memajukan Papua
Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit dinilai akan mampu merestorasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Papua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2020, persentase jumlah penduduk miskin Papua dan Papua Barat, masing-masing 26,8% dan 21,7%.

Nah, jumlah tenaga kerja langsung dan tak langsung perkebunan sawit di Papua justru terus meningkat. Saat ini, jumlahnya mencapai 250 ribu tenaga kerja.

Tungkot menyebut, pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) berpengaruh positif dan signifikan, terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) beberapa daerah yang merupakan sentra sawit. Termasuk Papua. Begitupun dengan para petani sawit.

Dalam laporan PASPI (2017), diketahui, pendapatan petani kelapa sawit relatif stabil, bahkan cenderung meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya umur kebun sawit dan relatif terjamin sampai masa peremajaan (replanting).

Salah satu perintis perkebunan sawit di Papua adalah PT Tunas Sawa Erma Group (TSE) yang hampir tiga dekade mengelola dan memajukan perkebunan sawit di sana. TSE memiliki komplek perkebunan, khususnya di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel.

Dengan luas HGU hingga saat ini 97.883 hektar, TSE telah menggarap area seluas 49.837 hektar serta mendirikan empat pabrik dengan total kapasitas terpasang 250 ton per jam.

“Kami sangat memikirkan keberlanjutan serta kesejahteraan masyarakat. Seluruh perkebunan kami telah mendapatkan sertifikat ISPO, menjadi yang pertama di Papua,” kata Direktur TSE Luwy Leunufna.

Hal itu diakui Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono. Menurutnya, kemitraan yang dibangun dalam industri sawit menjadi peluang yang baik untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi di Papua.

“Sawit diharapkan bisa menjadi tulang punggung bagi perekonomian di Papua dan Papua Barat,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Papua Albert Yoku mengatakan, sawit menjadi penyelamat ekonomi petani di Papua. Dia juga memastikan, para petani sawit di Papua akan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

“Jika tidak ada kebun sawit, entah bagaimana jadinya kami,” ungkap Albert.

Hal yang sama pun diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Apkasindo Provinsi Papua Barat, Dorteus Paiki.

“Kedatangan sawit membawa kesejahteraan masyarakat dan petani setempat. Melalui sawit, mereka bisa punya rumah tembok permanen, punya sepeda motor dan bahkan mobil, serta anak-anak bisa bersekolah,” tutup Dorteus.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER