21 Juni 2024
14:45 WIB
Riset: Gaji, Fleksibilitas Dan Work Life Balance, Preferensi Gen Z Pilih Pekerjaan
Faktor gaji masih menjadi penentu terbesar preferensi memilih pekerjaan oleh Gen Z. Sementara 95% responden Gen Z sepakat, work life balance penting bagi kehidupan mereka
Pelamar kerja memasukan lamaran kerja saat menghadiri pameran bursa kerja di Gedung Smesco, Jakarta, Kamis (11/1/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan
JAKARTA – Gen Z (lahir 1997-2012) menjadi generasi yang paling disorot saat ini, mengingat proporsinya mencapai 34,74% dari seluruh usia produktif di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), total usia produktif mencapai 192,67 juta jiwa.
Kehadiran Gen Z di dunia kerja membuat pemahaman atas karakteristik dan preferensi mereka menjadi penting. Untuk mengetahuinya, perusahaan riset digital Jangkara Data Lab (Jangkara) bersama Jakpat melakukan riset bertajuk ”Mengungkap Preferensi Karir Gen Z”.
Riset ini menjaring serta menganalisis percakapan publik dan opini Gen Z yang dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, monitoring media sosial X (Twitter) oleh Jangkara menggunakan mesin big data Socindex selama periode 01 April-31 Mei 2024, dengan kata kunci yang berkaitan dengan persyaratan pekerjaan, gaji, lingkungan kerja, dan preferensi pekerjaan lain.
Kedua, survei online yang dilakukan Jakpat melalui platform digital pada 1-3 Juni 2024 dan melibatkan 1.185 responden Gen Z berusia antara 16-29 tahun yang sudah bekerja. Kombinasi dua metodologi ini diharapkan bisa membuat hasil riset menjadi lebih komprehensif.
Gaji Pertimbangan Utama
Hasil survei mengungkap, besaran gaji masih menjadi penentu terbesar dalam mencari pekerjaan. Sebanyak 65% dari 1.185 responden yang sudah bekerja menilai besaran gaji masih menjadi pertimbangan terbesar. Kemudian, 48% responden memperhatikan waktu kerja yang fleksibel.
Faktor lain yang diperhitungkan adalah pengembangan karier yang jelas, dipilih 45% responden. Serta, lingkungan kerja suportif yang menjadi pilihan dari 44% responden.
Survei juga mengungkap, para Gen Z tidak terlalu tertarik dengan jam kerja tradisional dan keharusan bekerja dari kantor (work from office/WFO). Hanya 8% responden yang tertarik WFO.
Ada beberapa range gaji yang menjadi pilihan Gen Z saat mulai bekerja. Adapun ekspektasi kisaran gaji yang paling banyak dipilih oleh 40% responden adalah Rp 5-10 juta. Angka ini dianggap cukup ideal untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup dan menabung.
Lalu, sebanyak 31% responden memilih ekspektasi gaji terendah antara Rp 1-5 juta. Sebanyak 15% responden memilih kisaran gaji Rp10-20 juta. Sedangkan, 14% responden mengharapkan gaji lebih dari Rp20 juta. Bagi 33% responden, realisasi gaji mereka saat ini berada di angka moderat dari ekspektasi gaji yang diharapkan, alias tidak terlalu tinggi dan terlalu rendah dari standar mereka.
Sejalan dengan hasil survei online, percakapan di media sosial X juga mengungkap hal yang sama. Sebanyak tiga dari lima topik percakapan teratas berkaitan dengan gaji yang diterima pekerja.
Lalu, sebanyak 2.939 percakapan di X terkait keluhan pekerja yang menerima gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Temuan lainnya adalah percakapan yang memuat keluhan warganet terhadap besaran gaji mereka dengan 1.627 percakapan, dan 896 percakapan yang berisi harapan pekerja mendapat gaji UMR. Masing-masing topik ini berada di posisi ketiga dan kelima dari jajaran sepuluh topik teratas.

Work Life Balance
Menariknya, di tengah sulitnya mencari pekerjaan, hasil riset menunjukkan Gen Z masih sangat concern terhadap isu work life balance. Tercatat 95% responden menjawab faktor ini penting bagi kehidupan mereka.
Sebanyak 69% responden berdalih keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi penting untuk meningkatkan kemampuan diri mereka. Lalu, 67% responden menyebut work life balance penting untuk menjaga kesehatan mental. Kemudian, 55 % responden menilai work life balance penting untuk menjaga kesehatan fisik.
Meski demikian, tidak semua responden sepakat bahwa work life balance penting untuk mereka. Sebanyak 5% responden menyebut work life balance tidak penting.
Tercatat, 45% dari yang menjawab tidak penting, menjadikan kondisi sulitnya mendapat pekerjaan sebagai penyebab. Lalu, 32% responden tidak terlalu memikirkan isu ini, karena khawatir kehilangan peluang dalam pekerjaannya.
Lebih Suka Kerja Remote
Nah, tingginya perhatian pada isu work life balance mendorong pekerja Gen Z untuk mencari pekerjaan yang memiliki fleksibilitas tinggi, terutama berkaitan dengan jam kerja dan tempat bekerja yang bisa dilakukan di manapun atau work from anywhere (WFA).
Sepanjang periode 1 April-31 Mei 2024, ditemukan 14.515 percakapan di X yang berkaitan dengan kata kunci pekerjaan. Topik preferensi pekerjaan WFA menjadi yang paling banyak muncul hingga 4.247 kali dan preferensi pekerjaan work from home (WFH) disebut hingga 1.235 kali.
Kombinasi kedua topik ini mengindikasikan keinginan pencari kerja untuk mendapat pekerjaan yang bisa dilakukan di mana saja, yang populer sejak Covid-19. Tidak heran jika pekerja memasukkan opsi ini sebagai salah satu faktor dalam mencari pekerjaan selain gaji.
Bekerja di Luar Negeri
Topik lain yang banyak dibincangkan di X adalah persyaratan batas usia pelamar kerja yang dianggap tidak relevan. Gen Z mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang mensyaratkan pengalaman kerja, namun dengan batas usia tertentu yang menyulitkan mereka dalam mendapat pekerjaan.
Mereka juga membandingkan persyaratan kerja di luar negeri yang tidak membatasi umur pekerja, sehingga kesempatan kerja di luar negeri lebih besar bagi warganya.
Hasil survei mencatat 85% responden setuju dan sangat setuju bahwa sulit mencari pekerjaan yang ideal di Indonesia. Pekerjaan ideal meliputi gaji yang layak, jam kerja yang fleksibel, jenjang karier yang jelas, lingkungan kerja yang tidak toksik, dan lain sebagainya.
Kesulitan tersebut membuat opsi bekerja keluar negeri pun muncul. Dari survei tercatat, 74% responden tertarik untuk bekerja ke luar negeri dan 20% mengaku tidak tertarik. Meski ketertarikan tinggi, baru 4% responden yang mengaku tertarik, sudah mengajukan lamaran ke luar negeri. Lalu, ada 2% yang mengaku tidak tertarik tapi sudah pernah melamar bekerja di luar negeri.
Sejumlah pencari kerja mencari informasi di bursa kerja di Pusat Perbelanjaan, Bekasi, Jawa Barat, S elasa (17/10/2023). Antara Foto/Fakhri Hermansyah
Miss-match
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menilai salah satu penyebab tingginya angka pengangguran di tanah air, terutama yang disumbangkan oleh generasi Z, adalah ketidaksesuaian antara pendidikan yang ditempuh dengan permintaan pasar tenaga kerja.
"Didapati miss-match (ketidakcocokan), jadi output dari pendidikan vokasi belum mampu berkesesuaian dengan kebutuhan pasar kerja," kata Ida dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu.
Selain itu, Ida mengatakan pula, banyaknya generasi Z yang menjadi pengangguran karena mereka masih dalam tahapan berproses mencari pekerjaan. Ia pun menyampaikan, pada saat ini penyumbang angka pengangguran terbanyak adalah lulusan SMK, yakni sekitar 8,9%.
"Pengangguran kita ini terbanyak disumbangkan dari lulusan SMK, anak-anak lulusan SMA, ini terjadi karena adanya miss-match," ujarnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Ida menyampaikan pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Dalam peraturan itu, kata Ida, diatur pendidikan dan pelatihan harus mampu menjawab kebutuhan dunia usaha dan industri.
Peraturan tersebut juga mendorong adanya sinergi di antara para pemangku kepentingan terkait. Seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia), agar berupaya menghadirkan tenaga kerja kompeten untuk menjawab kebutuhan pasar kerja yang sangat dinamis.
Hal tersebut juga disampaikan Ida untuk menanggapi pandangan anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago. Ia menyampaikan, pendidikan vokasi di tanah air perlu dimasifkan untuk mengatasi pengangguran.
"Yang seperti ini (pengangguran) tidak akan terjadi jika Kemnaker tahu apa yang dibutuhkan untuk mengatasi pengangguran. Program Kemnaker, memasifkan pendidikan vokasi," kata dia.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terdapat 9,9 juta anak muda usia 15–24 tahun di Indonesia yang tidak beraktivitas produktif dari total 44,47 juta anak muda usia 15-24 tahun. Para anak muda berusia 15–24 tahun tersebut masuk ke dalam kategori Not in Employment, Education and Training atau tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak sedang mengikuti pelatihan.