c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

18 Juli 2025

09:18 WIB

RI Kena Tarif 19%, Celios: Postur Subsidi Energi Bisa Naik Tajam

Terkait dampak tarif 19%, Celios menilai harus dimonitor adalah pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi RAPBN 2026 untuk energi meningkat tajam. 

Penulis: Fitriana Monica Sari

<p id="isPasted">RI Kena Tarif 19%, Celios: Postur Subsidi Energi Bisa Naik Tajam</p>
<p id="isPasted">RI Kena Tarif 19%, Celios: Postur Subsidi Energi Bisa Naik Tajam</p>

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite di SPBU Asaya, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (27/2/2025). AntaraFoto/Aprillio Akbar

JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menetapkan tarif resiprokal 19% bagi produk dari Indonesia, dipangkas dari sebelumnya sebesar 32%. Namun, untuk mendapatkan tarif lebih rendah ini ada syarat yang wajib dipenuhi Indonesia. Pertama, ekspor dari AS ke Indonesia tidak akan dikenai tarif. Indonesia juga harus meningkatkan impor dari AS.

Kepada Validnews, Kamis (17/7), Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai tarif 19% memang menguntungkan bagi ekspor produk alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet. Namun, terdapat risiko tinggi bagi neraca dagang Indonesia, khususnya migas.

Pasalnya, ia menjelaskan, impor produk dari AS akan membengkak, terutama sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia (gandum dan sebagainya), serta produk farmasi. Tercatat, sepanjang 2024, total impor lima jenis produk ini mencapai US$5,37 miliar atau setara Rp87,3 triliun.

"Yang harus dimonitor adalah pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi RAPBN 2026 untuk energi meningkat tajam," tegas kata Bhima kepada Validnews, Kamis (17/7).

Menurut Bhima, alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp203,4 triliun tidaklah cukup karena setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi, ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar.

"Dengan outlook pelebaran defisit migas, sudah saatnya Indonesia mempercepat transisi dari ketergantungan fossil," imbuhnya.

Baca Juga: Pengamat: Batalkan Shifting Impor Minyak Ke AS

Bhima menuturkan, ketergantungan impor minyak sudah membebani APBN, dan ada kekhawatiran ujungnya Indonesia harus beli minyak dari AS lebih mahal dari harga pasar karena terikat hasil negosiasi dagang.

"Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harganya di atas harga yang biasa di beli Pertamina, repot juga. Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan," kata Bhima.

Selain itu, dia juga menyoroti masalah swasembada pangan. Lantaran, AS untung besar dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif 0%. Konsumen mungkin senang harga mie instan, dan roti bakal turun, tapi produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya.

Bhima mengimbau agar jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia.

Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar paska EUI-CEPA disahkan. Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN yang bisa didorong.

Tanda Menyerah
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menilai keputusan AS yang memangkas tarif menjadi 19% dengan beberapa persyaratan merupakan tanda Indonesia akhirnya menyerah.

"Indonesia mendapatkan ‘diskon’ semu dari Trump. Tarif impor barang asal Indonesia turun dari 32% menjadi 19%," sindir Huda.

Padahal, dia menggarisbawahi ada beberapa catatan mengenai hal itu. Pertama, kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan yang melahirkan kesenjangan dagang antara Indonesia dengan AS.

"Produk Indonesia dikenakan tarif 19%, sedangkan untuk produk AS ke Indonesia tidak dikenakan tarif sama sekali dan bebas hambatan non tarif. Padahal, tarif impor barang AS ke Indonesia rata-rata hanya 5-7%. Jika bebas tarif, maka pemerintah tidak dapat penghasilan plus produsen dalam negeri bisa tertekan semakin banyak produk impor dari AS," kata Huda menekankan.

Baca Juga: Trump Turunkan Tarif Resiprokal Untuk Indonesia Jadi 19%

Kemudian, jika melihat penurunan tarif antara Indonesia-AS dan Vietnam-AS, penurunan tarif barang dari Vietnam lebih signifikan dibandingkan dengan barang dari Indonesia. Penurunan tarif Vietnam dari 46% menjadi 20%. Dengan begitu, meskipun tarifnya lebih tinggi, namun negosiasi Vietnam dinilai lebih efektif.

Untuk industri yang belum siap bersaing di ranah global, Huda menuturkan, bebas tarif barang dari AS akan semakin menekan pangsa pasar industri dalam negeri.

Pasalnya, mereka tidak akan mampu bersaing di tingkat global, di dalam negeri pun akan tertekan oleh produk impor. Salah satunya adalah industri yang terkait dengan teknologi dan digitalisasi.

Produk teknologi dan digital dalam negeri pasti akan tertekan dari sisi gempuran produk AS yang memang lebih unggul. Barang-barang elektronik akan menjadi barang yang jumlah impornya bisa meningkat.

"Jika begitu, konsep digitalisasi di Indonesia hanya dimaknai menggunakan barang berteknologi, tanpa menjadi produsen barang teknologi tinggi," papar dia.

Selanjutnya, derasnya arus impor akan berpengaruh terhadap tingkat surplus dagang Indonesia yang akan semakin mengecil. Padahal, surplus dagang Indonesia dengan AS merupakan salah satu surplus dagang terbesar bagi Indonesia.

"Ekspor kita ke AS yang melambat, namun impor kita dari AS akan semakin deras. Salah satu tekanan turunannya adalah cadangan devisa bisa menurun dan akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang melemah," jelasnya.

Kemudian terkait dengan produk pertanian, perikanan, dan perkebunan, AS akan membanjiri pasar domestik yang akan menyebabkan petani dan nelayan lokal merasakan dampak negatif. Selain itu, rencana reindustrialisasi Indonesia juga akan tergerus dan menyebabkan pembangunan industri kita akan semakin tertinggal.

Huda menambahkan, pemerintah memerintahkan badan usaha untuk impor, termasuk juga BUMN. Dengan adanya kesepakatan perjanjian dagang, maka badan usaha yang diperintahkan mengimpor tidak mempunyai peluang mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah.

Artinya, ada potensial kehilangan kesempatan mendapatkan barang lebih murah. Ada potential opportunity cost yang harus ditanggung oleh badan usaha.

"Jika BUMN yang menanggung, maka bisa jadi ada tambahan anggaran dalam bentuk PMN. Tambahan ini yang dapat membuat defisit anggaran semakin melebar," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar