02 Mei 2024
20:04 WIB
Redup Sorot Periklanan Terimbas RPP Rokok
Iklan tembakau yang bernilai Rp9 triliun per tahun terancam merosot. PHK disebut membayangi salah satu industri kreatif ini.
Ilustrasi iklan rokok pada baliho. Shutterstock/amirul khakim
JAKARTA - Industri periklanan terancam redup terimbas dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengamanan Zat Adiktif (RPP Rokok). Dalam draf beleid ini, substansi iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau dan rokok elektronik diatur lebih ketat dari sebelumnya.
RPP Rokok sendiri adalah aturan turunan dari Revisi Undang-Undang (UU) Kesehatan yang dirilis menjadi UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Ada beberapa hal yang menurut sejumlah pihak, kontroversial. Pasal 149 hingga 152 tersebut yang terangkum pada bagian kedua puluh empat mengenai pengamanan zat adiktif dinilai diskriminatif terhadap industri, terutama industri iklan.
Adalah hal yang dimafhumi banyak pihak bahwa, industri periklanan Tanah Air selama ini meraup pendapatan yang jumbo dari produksi iklan rokok. Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan (P3I) Janoe Arijanto mengungkapkan kekhawatiran terhadap aturan baru ini. Jika RPP Rokok terbit dan resmi berlaku, akan mengancam industri periklanan.
Dari para pelaku di industri ini, ada tiga poin utama yang disoroti menjadi ancaman RPP Rokok bagi industri periklanan.
Pertama, keberadaan para tenaga kerja di industri periklanan dalam kondisi rawan terdampak. “Industri kreatif dan penyiaran, serta para tenaga kerjanya sangat terancam keberlangsungannya bila larangan total iklan produk tembakau diberlakukan,” kata Janoe yang berbincang dengan Validnews via telepon, Senin (29/4).
Wajar jika kemudian kekhawatiran ini mencuat. Dari data TV Audience Measurement Nielsen yang disampaikan Janoe, iklan produk tembakau bernilai lebih dari Rp9 triliun per tahun. Sementara itu, kontribusi tembakau terhadap media digital mencapai sekitar 20% dari total pendapatan media digital di Indonesia yang ditaksir mencapai ratusan miliar per tahun.
Menyitir data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2021, Janoe menjelaskan, lebih dari dari 725 ribu tenaga kerja ada di industri kreatif. Kemudian secara umum, multi-sektor industri kreatif juga mempekerjakan sekitar 19,1 juta tenaga kerja.
Melihat data yang ada, Janoe memperkirakan jika benar larangan total iklan produk tembakau berlaku, maka penerimaan industri kreatif akan menurun sekitar 9%-10%. Pun, penurunan ini pun pada akhirnya juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan pendapatan industri kreatif.
Poin kedua, Janoe mengaku jika selama ini industri kreatif nasional telah mematuhi aturan iklan produk tembakau yang telah ditetapkan. Bahkan menurutnya industri dinilai turut mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok anak. Aturan-aturan yang dimaksud tersebut, kata Janoe, seperti halnya pelaksanaan PP 109/2012 Pasal 27 hingga Pasal 29 dan aturan detail dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).
“Dalam hal ini, penyempitan jam tayang iklan rokok di TV dalam RPP dinilai diskriminatif bagi industri kreatif nasional yang telah mematuhi segala aturan periklanan produk tembakau,” tambahnya.
Hal yang terakhir, Janoe mengaku selama ini pihak dari industri kreatif nasional tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan partisipasi publik dalam RPP Rokok.
Sebagai Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), dia mengaku tidak pernah diinformasikan atau dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan yang akan berdampak terhadap keberlangsungan usaha.
Bukan itu saja, Janoe juga menyebutkan jika kementerian pembina sektor asosiasi bernaung tidak terlibat dalam membahas baik buruknya rancangan yang akan dijalankan kepada publik tersebut.
Menurutnya, hal tersebut membuat pemahaman industri kreatif menjadi sangat terbatas.
Padahal, perumusan kebijakan RPP Rokok seharusnya melibatkan banyak bidang pihak, karena aturan ini akan mencakup banyak bidang usaha dan beririsan dengan produk tembakau.
“Kami terbuka dalam diskusi proses penyusunan kebijakan, agar dalam perubahannya tidak merugikan para pelaku industri kreatif serta tepat sasaran dalam mendukung upaya pemerintah. Kami juga berharap agar dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan yang akan berdampak pada industri kreatif,” katanya.
Perubahan Kebijakan Iklan, Promosi, Dan Sponsor Produk Tembakau
Berdasarkan draf RPP Rokok yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ada beberapa aturan yang lebih ketat dibandingkan aturan sebelumnya berkaitan pada substansi iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau dan rokok elektronik.
PP Nomor 109 Tahun 2012 Pasal 27 mengenai Pengendalian Iklan Produk Tembakau dan Pasal 29 yang menetapkan bahwa iklan di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 hingga pukul 05.00 waktu setempat.
Dalam draf RPP Rokok yang beredar dijelaskan, iklan di media penyiaran berupa televisi dan radio hanya dapat ditayangkan atau disiarkan setelah pukul 23.00 sampai dengan pukul 03.00 waktu setempat.
Lalu perubahan dan penambahan aturan lainnya memperbarui PP 109/2012 Pasal 36 dan 37 juga dijelaskan, yaitu setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik dilarang melakukan promosi dan/atau memberikan sponsor dalam bentuk apapun.
Larangan sponsor tersebut meliputi kegiatan sosial, pendidikan, olahraga, musik, kepemudaan, atau melibatkan masyarakat umum.
Selain itu, setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik dapat memberikan bantuan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, ditambahi ketentuan asalkan tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, maupun hadiah produk tembakau dan rokok elektronik, atau produk terkait lainnya, dan tidak diliput dan dipublikasikan oleh media.
Terang dibandingkan PP 109/2012 Pasal 36 dan 37, aturan baru ini lebih mengekang. Sebelumnya dibolehkan menjadi sponsor suatu kegiatan dan mempromosikan rokok dengan ketentuan tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau, juga tidak bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Ekko Harjanto menyampaikan, pembahasan RPP Rokok ini masih belum menemukan titik terang.
Alasannya, belum ada kesepakatan di beberapa substansi. Hal yang menjadi bahasan serius antara lain penetapan kadar tar dan nikotin produk tembakau, bahan tambahan, jumlah produk dalam kemasan, penjualan produk tembakau, peringatan kesehatan, iklan, promosi, dan sponsor.
Sudah Sesuai Aturan Main
Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sekaligus Ketua Umum Pengurus Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Muhammad Rafiq mendukung pernyataan kalangan periklanan. Dia menilai, sebelum ada PP Rokok, periklanan untuk produk tembakau dan turunannya sudah diatur dengan ketat, dan semakin ketat dengan adanya RPP Rokok belakangan.
Meski telah diatur ketat melalui PP109/2012, Rafiq menjamin jika pihaknya dan para pemain industri periklanan rokok telah menaati aturan tersebut dan tidak pernah melakukan pelanggaran.
“Selama ini radio, televisi, koran, majalah, media online, media luar ruang telah menjalankan UU Penyiaran dan PP 109/2012 dengan sebaik-baiknya dan tidak pernah ada pelanggaran,” jelas Rafiq kepada Validnews, Rabu (1/5).
Dia mempertanyakan perkembangan kini. Menurutnya, pemerintah justru merancang RPP Rokok terbaru yang isinya mengatur ulang iklan tembakau, seolah-olah selama ini tidak ada aturan.
Beberapa draf kebijakan yang disoroti, seperti jam tayang iklan yang semakin dipersempit menjadi pukul 23.00-03.00, pelarangan iklan rokok secara total untuk media luar ruang dan media online, hingga larangan produk tembakau menjadi sponsor sebuah kegiatan.
Batasan dan larangan tersebut pun diperkirakan Rafiq akan menurunkan pendapatan media juga industri periklanan itu sendiri. Dia merinci, misalnya untuk televisi dari hitungannya akan kehilangan pendapatan Rp9 triliun per tahun dan radio Rp15 miliar per tahun.
Selain itu, event musik, olahraga, kebudayaan, fashion, juga akan kehilangan kontribusi dana sponsor dari iklan rokok yang mencapai 40% dari total pemasukannya.
Potensi penurunan pendapatan juga diprediksi akan dirasakan media online yang sekitar 25% dari total revenue mereka berasal dari iklan tembakau. Sedangkan, iklan tembakau di media luar ruang juga berkontribusi terhadap revenue perusahaan media sebesar 55%-60%.
Oleh karena itu, di kacamatanya, Rafiq melihat dampak RPP Rokok ini akan memberi efek domino negatif bagi industri penyiaran, media, dan keberlangsungan ekonomi kreatif.
Dia juga menyebut jika sejauh ini belum ada produk lain yang bisa menggantikan rokok sebagai pemain utama di industri periklanan.
“Kalau RPP ini ditetapkan, maka media akan kehilangan revenue dengan jumlah yang signifikan. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang, dimana media konvensional sedang berusaha untuk bertahan. Sementara media online yang diharapkan dapat berbuat banyak dalam era digital ternyata juga terseok karena kue iklan dimonopoli oleh platform asing, sekitar 70%,” ungkap Rafiq.
Hal yang juga harusnya diantisipasi adalah akibat penurunan pendapatan media karena RPP Rokok ini, ada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pekerja di media maupun industri periklanan yang cukup masif. Hal ini ia perkuat dengan data yang disampaikan, yakni sejak lima tahun terakhir, iklan di media free to air (radio dan televisi) mengalami penurunan terus menerus.
Berdasarkan data Media Partner Asia yang ia sebutkan, iklan free to air tahun 2019 turun sebesar 4,63% dibandingkan 2018. Penurunan terus berlanjut, pada 2021 kembali turun sebesar 9,9%, dan tahun 2023 turun lagi sebesar 9,7%.
Dia menyayangkan, pemerintah terkesan hanya tegas terhadap industri yang dimiliki pengusaha dalam negeri. Sementara untuk platform digital asing, seperti Youtube, Spotify, Google, dan sejumlah media sosial lainnya, pemerintah masih dianggap belum mampu menindak.

Hal ini kata Rafiq, serupa dengan penyensoran pada tayangan pornografi yang hanya tayang di bioskop dan televisi. Sementara untuk tayangan di Netflix dan aplikasi televisi berbayar lainnya masih banyak kecolongan.
Sependapat dengan Janoe, Rafiq pun merasa jika pemerintah tidak melibatkan pihaknya maupun stakeholder yang berkaitan untuk membahas RPP Rokok ini.
“Celakanya, penyusunan RPP ini sama sekali tidak pernah meminta masukan dan pendapat dari stakeholder industri penyiaran, periklanan, dan ekonomi kreatif,” jelas Rafiq.
Melihat kendala dan dampak yang akan ditimbulkan, para pelaku di industri radio ini meminta agar pemerintah menunda penetapan RPP Rokok. Dia berharap agar pemerintah juga mengizinkan industri penyiaran, periklanan, dan ekonomi kreatif menyampaikan pendapat dan masukan.
Usulan tersebut sama dengan pendapat Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA) Eka Sugiarto yang meminta agar pemerintah bisa memperhatikan dampak RPP terhadap industri kreatif yang cukup signifikan.
“Dalam penyusunannya agar melibatkan asosiasi-asosiasi anggota DPI yang termasuk media, biro iklan, promotor, rumah produksi, dan lainnya. Karena kalau dari data pengiklan di TV, iklan produk tembakau masih termasuk top 10 advertiser dan mematuhi berbagai peraturan yang ada,” tutur Eka kepada Validnews, Rabu (1/5).
Cari Ceruk Pasar Lain
Di sisi lain, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan, RPP Rokok memang harus diterbitkan sebagai bentuk pemerintah melindungi konsumen.
Draf RPP Rokok tersebut pun dirasa sudah sesuai. “Rokok itu produk adiktif, termasuk rokok elektronik karena sama bahayanya dengan rokok konvensional. Bentuk pengendaliannya salah satunya dengan larangan iklan, yang bertujuan untuk melindungi konsumen,” tegas Tulus kepada Validnews, Selasa (30/4).
Dia berpendapat, iklan tembakau dan produk turunannya di media masih bisa digantikan porsinya dengan produk lain. Sebagai contoh, Tulus menyebutkan jika sponsor sepak bola beberapa kali pernah diisi dengan produk perbankan dan industri telekomunikasi.
Tulus juga berujar jika isu potensi PHK masif di industri media dan periklanan akan terjadi dengan adanya RPP Rokok ini tidak ada hubungannya. Dia justru menegaskan jika kekhawatiran tersebut hanya klaim sepihak dari industri.
“Yang paling ideal ya dilarang total (iklan). Pasal yang dimuat dalam amandemen PP Kesehatan itu sejatinya masih sangat minimalis dan merupakan bentuk kompromistis. Jadi tidak etis jika industri menolaknya,” sebut Tulus.
Sementara itu, menurut pengamat bisnis dan pemasaran, Yuswohady, seketat dan sebanyak apapun aturan dari pemerintah untuk menekan prevalensi perokok, hal tersebut baru berhasil jika perilaku konsumen itu sendiri yang berupaya untuk mengurangi bahkan berhenti merokok, karena dampak negatif tembakau dan rokok yang mengandung zat adiktif sudah diketahui secara luas.
Adapun ekosistem industri tembakau, penyiaran, periklanan, dan kreatif yang terlibat, seiring berjalannya waktu maka akan beradaptasi dengan aturan yang ada.
“Konsumen itu tetap adiktif, mau kebijakan apapun tetap akan bisa berkelit. Begitu juga dengan ekosistemnya, akan beradaptasi betul,” ujar Yuswohady kepada Validnews, Selasa (30/4).
Dengan adanya pelarangan iklan produk tembakau dan rokok, pemain industri periklanan dan media didesak semakin kreatif menyajikan iklan yang sesuai aturan tersebut. Yuswohady menilai, hal itu sebagai keniscayaan.