06 Mei 2021
19:35 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - CSIS menganggap ratifikasi perjanjian dagang Indonesia-Europe Union CEPA potensial mendukung pemulihan perekonomian nasional pasca covid-19. Setidaknya, finalisasi perjanjian tersebut mampu menambah sekitar 0,19% atau setara US$2,8 miliar kepada PDB nasional setiap tahunnya.
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Indonesia Dandy Rafitrandi mengatakan, sejauh ini kondisi global belum menujukkan tanda-tanda perkembangan positif. Tidak heran, OECD memproyeksikan PDB dunia tahun ini masih diliputi ketidakpastian yang cukup tinggi.
"(Terutama) downside risk yang masih tinggi terlihat dari vaksinasi dan mutasi covid-19 yang menyebabkan risiko kepada pertumbuhan ekonomi dunia. Untuk Indonesia, hal ini berdampak pada ketidakpastian pertumbuhan ekonomi yang masih akan tertekan beberapa tahun ke depan," jelasnya dalam webinar di Jakarta, Kamis (6/5).
Karenanya, lanjutnya, peran IEU-CEPA dapat menjadi salah satu tambahan daya ungkit dan kontributor positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, finalisasi perjanjian tersebut juga menawarkan kepada Indonesia skema pemulihan ekonomi yang lebih lentur dan berkelanjutan ke depan.
Sementara itu, perjanjian juga dimaksudkan sebagai langkah antisipatif pencabutan skema GSP, kala Indonesia sudah dinilai lebih maju. Sepanjang 2017-2019, ekspor barang yang besar asal Tanah Air ke Benua Biru juga masih dominan mengandalkan skema GSP.
Misalnya, produk kimia dengan total ekspor Indonesia sebesar 79,7%, produk kulit (85,08%), alas kaki (91,42%), produk hewan (79,61%), serta produk tekstil dan artikel tekstil (62,33%). Begitu pun penerapan kebijakan non-tarif yang milik UE yang di atas negara-negara lain. Seperti syarat pelabelan, syarat inspeksi, kualitas produk atau persyaratan kinerja, syarat sertifikasi dan lainnya.
"Ke depan, IEU-CEPA dapat membuat perdagangan barang antara Indonesia dan UE dapat meningkat intensitasnya," ujarnya.
Apalagi, sikap saling melengkapi atau komplementer perdagangan antara Indonesia dan UE terbilang tinggi dengan skor 0,6 poin, dalam skala tertinggi 1 poin. Sementara kegiatan kompetisi perdagangan keduanya secara langsung bisa dikatakan rendah dengan skor hanya 0,3 poin.
"Latar belakang struktur demografi, tingkat kemajuan ekonomi, adopsi teknologi serta keunggulan komparatif bisa mendorong perdagangan barang lebih jauh lagi, terangnya.
Selain barang, fokus utama perdagangan nasional juga bisa mulai bisa dioptimalkan di sisi produk jasa yang semakin penting, dengan tren sertifikasi. Karena itu, perjanjian yang ditargetkan rampung 2021 ini berpeluang menciptakan produk jasa berkualitas yang berperan krusial dalam perekonomian nasional.
CSIS mencatat, masih ada banyak sektor jasa dengan status kelebihan permintaan. Beberapa sektor jasa dengan forward linkage yang begitu tinggi antara lain angkutan darat selain rel, keuangan-perbankan, bangunan dan instalasi listrik hingga komunikasi, profesional ilmiah teknis, lembaga keuangan lainnya, penyiaran pemrograman film hingga hasil rekaman suara, serta pertanian, kehutanan dan perikanan.
Perjanjian serupa juga bisa membuka peluang Indonesia masuk dan lebih terintegrasi ke dalam rantai pasok global. Apalagi posisi Indonesia dalam rantai nilai yang berasal dari negara anggota EU relatif lebih rendah daripada negara ASEAN lainnya.
"Hanya 0,58% dari forward value added atau FVA EU yang melalui Indonesia," katanya.
Perlu Penyesuaian Kebijakan
Meski potensial, Dandy mengingatkan, Indonesia jelas butuh penyesuaian kebijakan sebagai strategi optimasi IEU-CEPA. Nusantara dinilai perlu untuk memperbaiki infrastruktur kualitas ekspor berupa tes dan lab. Keberadaan infrastruktur ini untuk menunjang pencapaian sertifikasi dan standar ekspor ke Eropa.
"Begitu pun perbaikan daya saing UMKM akan meningkatkan potensi IEU-CEPA agar pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor bisa terasa lebih inklusif lagi," katanya.
Perlu dorongan fleksbilitas regulasi dan implementasi good regulatory practice yang banyak dan perlu disesuaikan dalam perjanjian ini. Seperti di sisi persaingan usaha dan HAKI yang membutuhkan keserasian regulasi antar K/L pusat-daerah hingga dunia internasional dengan komitmen kuat.
"Tidak lupa, penguatan staregi koordinasi dalam memproses perdagangan internasional, khususnya monitoring-evaluasi. Tidak hanya perundingan implementasi IEU-CEPA, tapi perundingan perjanjian dagang lain di masa depan," pungkasnya.