31 Januari 2023
20:30 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Indonesia menjadi salah satu negara penghasil tembakau jempolan di dunia. Tembakau asal Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Nusa Tenggara Barat sudah akrab di mulut para pengisap kretek. Bahkan, perokok di banyak belahan dunia mengakuinya.
Di beragam belahan dunia, tak dapat dimungkiri bahwa kebiasaan mengisap tembakau sudah jadi elemen kebudayaan. Khusus di tanah air, dominasi rokok terlihat sebagai konsumsi rumah tangga terbesar nomor dua setelah beras. Konsumsi rokok di Indonesia disebut-sebut melebihi konsumsi protein, seperti telur dan daging.
Tak peduli seberapa mahal harga rokok, atau seberapa keras upaya pemerintah untuk menekan angka perokok, para 'ahli isap' tetap rela merogoh kocek dalam-dalam guna membeli rokok.
Pemerintah pun berupaya melindungi masyarakat dengan membatasi konsumsi barang-barang yang berdampak buruk bagi kesehatan bangsa. Salah satunya, lewat pengenaan cukai pada hasil tembakau untuk mengendalikan konsumsi, mengawasi peredaran, serta menekan efek negatif. Rokok termasuk di dalam daftar yang dikenakan cukai tinggi.
Pada awal November 2022 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut penyusunan instrumen cukai hasil tembakau (CHT) merujuk pada beberapa aspek, seperti tenaga kerja pertanian dan industri rokok, hingga target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun.
Penetapan CHT, lanjut Sri Mulyani, juga tak lepas dari realita bahwa 12,21% perokok merupakan masyarakat miskin perkotaan dan 11,63% ialah masyarakat pedesaan.
"Kita menaikkan cukai rokok membuat harga rokok meningkat. Dengan begitu, affordability terhadap rokok juga akan menurun. Harapannya, konsumsinya juga bisa menurun," ucapnya.

Dana Bagi Hasil
Namun pemerintah tak sendirian menikmati CHT itu. Lewat Dana Bagi Hasil (DBH) CHT, sebagian penerimaan negara dari cukai hasil tembakau dikembalikan lagi ke daerah asal. Dana ini ditujukan untuk membiayai banyak program terkait tembakau. Sasarannya mulai dari penanaman, hingga menjaga penerimaan negara tak susut akibat rokok ilegal.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi DBH CHT terbagi atas tiga aspek utama, yakni bidang kesejahteraan sebesar 50%, kesehatan 40%, dan penegakan hukum 10%.
Sebagai informasi, Menkeu Sri Mulyani mengumumkan DBH CHT tahun ini meningkat dari 2% menjadi 3%. Jika tahun lalu alokasi DBH CHT mencapai Rp4 triliun, pemerintah menganggarkan Rp6,5 triliun untuk 2023 ini.
Soal CHT sendiri, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkannya sebesar 10% pada 2023 dan 2024. Kenaikan itu ditetapkan pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), serta sigaret kretek pangan (SKP) dengan persentase yang berbeda.
"Rata-rata 10%, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang rata-rata meningkat antara 11,5%-11,75%, SPM I dan SPM II naik di 11%-12%, lalu SKP I, II, dan III naik 5%," tuturnya awal November 2022 silam.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan, kegiatan DBH CHT yang secara langsung diarahkan untuk mendukung petani tembakau dalam bidang kesejahteraan masyarakat. Di dalamnya mencakup bantuan pupuk, sarana dan prasarana, hingga pembibitan dan bantuan lainnya.
"DBH CHT juga dapat digunakan sesuai kebutuhan dan prioritas daerah apabila kebutuhan untuk pendanaan bidang kesehatan, kesejahteraan masyarakat, dan penegakan hukum telah terpenuhi," tutur Luky kepada Validnews di Jakarta, Senin (30/1).
Sebagai informasi, Menkeu Sri Mulyani mengumumkan DBH CHT tahun ini meningkat dari 2% menjadi 3%. Jika tahun lalu alokasi DBH CHT mencapai Rp4 triliun, pemerintah menganggarkan Rp6,5 triliun untuk 2023 ini.
Soal CHT sendiri, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkannya sebesar 10% pada 2023 dan 2024. Kenaikan itu ditetapkan pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), serta sigaret kretek pangan (SKP) dengan persentase yang berbeda.
"Rata-rata 10%, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang rata-rata meningkat antara 11,5%-11,75%, SPM I dan SPM II naik di 11%-12%, lalu SKP I, II, dan III naik 5%," tuturnya awal November 2022 silam.
Mengenai alokasi ini, Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet memandang saat ini telah terdapat perubahan. Intinya, porsi alokasi DBH CHT menjadi cerminan bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah.
"Pemerintah pusat sudah memberi wewenang lebih besar kepada daerah dengan kontribusi cukai tembakau yang besar, yang kemudian mereka akan mendapatkan hasil dari kontribusi tersebut," ungkapnya dalam perbincangan via telepon, Senin (30/1).
Dia menilai, kebijakan itu selaras dengan semangat Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah. Dalam regulasi itu, pemda secara mendasar punya wewenang yang lebih besar untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri.
Dengan begitu, dana atau keuangan daerah yang bersumber dari luar DBH CHT pun tetap bisa digunakan pemda untuk hal-hal yang masih berkenaan dengan pemanfaatan DBH CHT. Kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan penegakan hukum, dinilai masih relevan dan terkait.
"Tapi, tentu dengan asumsi ketentuan hasil dari DBH CHT sudah dilakukan. Jadi pandangan saya, ini semacam babak baru pengalokasian DBH CHT," kata Yusuf.
Mengurai hal sama, Luky menjelaskan bahwa penghitungan alokasi DBH CHT sejauh ini dilakukan sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, yakni sebesar 3% dari penerimaan cukai dalam negeri.
"Pengalokasian sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022, yakni sebesar 3% dari penerimaan cukai," imbuh Luky.

Partisipasi Pemda
Lebih jauh, pemanfaatan DBH CHT menurut Yusuf Rendy juga bagian dari proses keterlibatan pemerintah daerah untuk mengusulkan program kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Pemda memegang peran yang krusial dalam pemanfaatan DBH CHT.
Menurutnya, pengusulan itu sebaiknya mengacu pada pengelolaan dana di daerah yang tumbuh lebih baik. Artinya, pemda harus bisa mengoptimalkan wewenang mereka dalam mengelola kawasan untuk otonomi daerah.
"Jadi kalau bicara peran pemda terkait DBH CHT, saya rasa akan tetap seperti itu. Di level pemda harusnya sudah bisa mengantisipasi bagaimana pengelolaannya agar tidak hanya sesuai dengan amanat UU, tetapi juga memastikan untuk kesehatan atau kesejahteraan," jabar dia.
Peran pemda pun juga mencakup soal pengelolaan potensi dana yang berlebih. Dalam hal ini, Yusuf menegaskan pemda harus bisa memitigasi peruntukkan dana berlebih tersebut agar tetap bisa dimanfaatkan sesuai dengan alokasi DBH CHT.
"Tadi juga disinggung bahwa ada potensi dana berlebih, nah itu nanti dananya akan diapakan? Pemda harus berperan memitigasi pengelolaan atau peruntukkan itu," kata Yusuf.
Evaluasi dan Pengawasan
Kementerian Keuangan mencatat realisasi DBH CHT selalu menunjukkan peningkatan. Misalnya saja pada 2020, realisasinya mencapai 92% dan meningkat di tahun 2022 lalu menjadi sebesar 98%.
Dirjen Luky Alfirman meyakini peningkatan realisasi tersebut tak lepas dari upaya penyempurnaan kebijakan DBH CHT. Dari hal ini, dia menilai alokasi DBH CHT semakin sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah dan beriringan dengan meningkatnya pemahaman personel ataupun perangkat daerah.
"Termasuk juga perbaikan tata kelola DBH CHT, seperti melalui penyusunan rencana DBH CHT oleh pemda yang dibahas bersama kementerian/lembaga terkait," kata Luky.
Namun, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Hananto, penyerapan DBH CHT masih jauh dari target awal.
"Kemarin saja (2022) itu alokasi 2%, ada daerah yang bisa dikatakan bingung memanfaatkannya, lalu dibelikan mobil, dan sebagainya. Ini kan di luar peruntukkan sesuai PMK," selorohnya.
Kebingungan ini dinilainya tak jauh dari sosialisasi yang kurang. Dia mengusulkan, sosialisasi tak sekadar kepada pemda penerima manfaat atau petani tembakau. Kegiatan itu juga wajib dilakukan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pasalnya, masih banyak SKPD yang punya tafsir berbeda soal DBH CHT.
"Banyak di daerah, seperti di Temanggung itu ketika ditanya soal DBH CHT, mungkin hanya 3-4 orang yang tahu. Mereka juga banyak yang tidak mengetahui bagaimana mendapatkannya," imbuh Hananto.
Selain sosialisasi, Hananto menilai regulasi teknis juga dibutuhkan untuk menjadi pedoman bagi SKPD atau daerah penerima manfaat. Regulasi itu jadi rujukan pihak terkait agar paham menggunakan DBH CHT sesuai amanat PMK Nomor 215/PMK.07/2021.
Dengan dua hal di atas, DBH CHT dijaga agar penggunaannya tak di luar peruntukan yang termaktub dalam regulasi. Apalagi, DBH CHT tahun ini mendekati angka Rp6,5 triliun.
Yang terpenting dari implementasi program DBH CHT, adalah adanya program yang dilakukan berkelanjutan. Pasalnya, transfer ke pemerintah daerah soal DBH CHT itu juga dilakukan secara tahunan. Evaluasi dan monitoring, menurut Hananto, mutlak dilakukan.
"Intinya perlu evaluasi karena ini dana earmarking. Memang lebih baik evaluasi, jangan sampai satu sama lain saling menuduh jika ada kesalahan," tegas Hananto.
Hananto pun tak menampik, ada potensi selisih lebih realisasi penerimaan DBH CHT dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran (silpa) di daerah. Jika kondisi itu terjadi, menjadi PR besar bagi pemerintah.
AMTI mengaku masih menemukan beberapa daerah yang mengalami silpa, dan menandakan DBH CHT banyak tidak terserap.
"Fakta dan realitanya di lapangan itu beberapa daerah masih banyak yang jadi silpa. Berarti, itu kan banyak yang tidak terserap. Bisa kami sebut jangan-jangan tidak ada visi dalam penggunaan DBH CHT sendiri," tandasnya.

Perhatikan Petani
Besarnya dana yang digelontorkan, memang tak menentukan suksesnya pemanfaatan. Ini diamati Yusuf Rendy. Ekonom ini menilai, yang harusnya jadi prioritas adalah peningkatan kesejahteraan petani.
Dengan menggulirkan DBH CHT ke petani, sepantasnya pemerintah bisa berharap agar petani bisa meningkatkan pengelolaan hasil tembakau, termasuk kualitas panennya.
Sebaliknya, kalangan petani harus memiliki kekuatan. Menurut Yusuf, saat ini sudah terdapat serikat petani tembakau yang sudah punya pola pikir maju dan memahami perkembangan dari DBH CHT.
Serikat tersebut, sambungnya, bisa berdiskusi dengan pemda soal pemanfaatan dana bagi hasil. Namun, serikat semacam ini perlu lebih banyak.
"Ini selaras juga dengan peruntukkan DBH CHT serta pertumbuhan pertanian. Di satu sisi, kepentingan petani bisa terakomodir karena ada titik temu baik itu di pusat maupun pemda," ulasnya.
Senada dengan Yusuf Rendy, Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Wahyu Sanjaya juga mengusulkan agar pemerintah mematangkan kembali alokasi DBH CHT.
Pada kesempatan berbeda, Wahyu mengatakan sektor pertanian harus mendapat prioritas dalam peruntukkan DBH CHT.
BAKN DPR pun akan mengusulkan kepada Kemenkeu agar sebagian 20-25% dari total DBH CHT bisa diserap untuk sektor pertanian. Dengan begitu, petani yang menanam tembakau bisa merasakan lebih banyak manfaat dari program tersebut.
"Karena DBH CHT kerap tidak terserap secara optimal akibat kendala PMK soal peruntukkan dana itu, yakni 50% untuk kesejahteraan masyarakat, 40% untuk kesehatan, dan 10% untuk penegakan hukum," papar Politisi Partai Demokrat itu.
Di persepsinya, alokasi DBH CHT bagi sektor pertanian antara lain bisa digunakan untuk subsidi pupuk ke petani, hingga pembangunan infrastruktur berupa jalan pertanian serta irigasi pertanian.
BAKN menyitir pengalaman berkunjung ke beberapa daerah penghasil tembakau. Di daerah-daerah tersebut, ada kendala dalam penyerapan DBH CHT karena wajib mengacu pada PMK.
Salah satunya di Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu provinsi penghasil tembakau terbesar di Nusantara.
Ketidakterserapan anggaran itu sendiri bukan hanya menunjukkan perlunya sosialisasi lebih masif. Sasaran yang ingin dicapai, akhirnya meleset dituju. Implikasinya malah tak menyejahterakan daerah penerima.
"Pada dasarnya, tidak ada Pemda yang ingin melanggar aturan hingga akhirnya timbul Silpa, bahkan ada yang sampai Rp300 miliar. Kalau di NTB sekitar Rp30 miliar-Rp60 miliar. Kalau itu tidak terserap, berarti tidak ada penciptaan lapangan kerja baru, belanja turun, dan itu dampaknya sangat besar," pungkasnya.