c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

25 Oktober 2024

19:52 WIB

PTPN IV PalmCo Genjot Program Biodiesel

Data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menunjukkan, 11 juta ton bahan bakar nabati dapat mengurangi 20 juta ton emisi CO2

 

<p id="isPasted">PTPN IV PalmCo Genjot Program Biodiesel</p>
<p id="isPasted">PTPN IV PalmCo Genjot Program Biodiesel</p>

Direktur Utama PTPN IV PalmCo Jatmiko Santosa saat memberikan arahan dalam percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR) belum lama ini. ANTARA/ PalmCo Regional III

JAKARTA - Direktur Utama PTPN IV PalmCo Jatmiko Krisna Santosa menyatakan, pihaknya berkomitmen meningkatkan produksi biodiesel berbasis sawit. Hal ini guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Untuk diketahui, program mandatori biodiesel di Indonesia telah diterapkan sejak 2007 dengan pencapaian B25. Lalu, B35 pada 2023, dan saat ini menuju B40 dan B50.  Bahkan, pemerintah menargetkan hingga B100 di masa mendatang yang memungkinkan Indonesia untuk lebih mandiri secara energi.

Jatmiko dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (25/10) mengatakan, PTPN IV PalmCo berkomitmen mendukung program tersebut. “Kami telah menguji B50 sejak 2019 pada kendaraan, mencapai jarak 170.000 km tanpa kendala signifikan. Tantangan saat ini adalah meningkatkan produksi sawit nasional untuk kebutuhan pangan dan energi, terutama melalui replanting di lahan sawit masyarakat yang mencakup 40 % dari total lahan sawit Indonesia,” ujar Jatmiko.

Ia menyebut, sawit tak hanya bernilai sebagai sumber minyak, tetapi juga memiliki potensi pada setiap komponennya. Hal itu juga termasuk limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai biomassa dan bio-CNG.

Dia merujuk data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menunjukkan, 11 juta ton bahan bakar nabati dapat mengurangi 20 juta ton emisi CO2. “Dengan komitmen berkelanjutan, target penurunan emisi karbon hingga 32 % pada tahun 2030 bisa tercapai lebih cepat,” tambahnya.

Dukungan berbagai pihak, termasuk PTPN IV PalmCo, diharapkan dapat memperkuat kemandirian energi Indonesia dan mempercepat kontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim global. Sebelumnya, PTPN IV PalmCo menargetkan sebanyak 2,1 juta bibit sawit unggul bersertifikat diserap petani hingga akhir 2024.

Menurut Jatmiko, sejak pertama diluncurkan hingga akhir kuartal III 2024, ada 1,6 juta bibit sawit telah diserap para petani di dua provinsi yakni Jambi dan Riau. Pihaknya merencanakan sampai dengan Desember mendatang, diperkirakan sebanyak 2,1 juta bibit akan habis diboyong petani yang tengah menyiapkan areal untuk kebutuhan peremajaan sawit. Lalu, program penyediaan bibit sawit unggul akan diperluas di berbagai provinsi di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Kalimantan.

Program B50
Sebelumnya, Kementerian Pertanian mengatakan Indonesia membutuhkan produksi minyak sawit mentah (CPO) sebesar 20 juta kiloliter per tahun, untuk menerapkan program biodiesel 50% atau B50. Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Muhammad Fauzan Ridha mengatakan, untuk mencapai target B50, diperlukan juga kapasitas terpasang industri biodiesel sekitar 25 juta kiloliter.

“Sedangkan kapasitas terpasang industri biodiesel kita saat ini masih berada di kisaran 17-18 juta kiloliter,” tuturnya.

Biodiesel yang berlaku di Indonesia saat ini masih B35. Pemerintah menyatakan bahwa Indonesia siap meningkatkan bauran biodiesel dari B35 menjadi B40 pada 2025, serta melakukan persiapan untuk penerapan B50 - bahan bakar dengan komposisi 50% minyak kelapa sawit dan 50% solar.

Fauzan menyebut, produksi CPO yang dibutuhkan untuk B35 mencapai 13,4 juta kiloliter, sedangkan B40 membutuhkan 16,08 juta kiloliter. Fauzan mengatakan, pemerintah sedang mengkaji untuk mengalihkan alokasi ekspor ke pasar Eropa guna memenuhi kebutuhan CPO domestik.

Langkah ini dinilai dapat menjadi solusi ketika Uni Eropa memberlakukan regulasi terkait anti-deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang akan menjadi tantangan bagi ekspor produk kelapa sawit Indonesia. Namun, menurutnya, adanya kontrak jangka panjang dengan para pembeli di kawasan tersebut bisa menjadi kendala.

Untuk itu, ia menyampaikan, perlu dilakukan kajian mendalam mengenai pengalihan alokasi ekspor agar tidak berdampak negatif terhadap devisa negara dan mengganggu kerja sama yang telah terjalin dengan para mitra dagang di Eropa dan negara-negara lain.

“Sejauh ini kajian masih berlangsung terutama mengenai aspek supply and demand, kajian ekonomi, kajian kelembagaan, pembiayaan, dan sarana prasarananya,” pungkasnya.

Pada kesempatan yang sama, ekonom senior Indef Fadhil Hasan mengatakan, peningkatan bauran biodiesel dari B35 menjadi B50 harus dibarengi dengan peningkatan produksi CPO dalam negeri, guna menjaga keseimbangan pasokan CPO bagi sektor energi dan pangan.

Ia mengatakan, peningkatan bauran biodiesel tanpa didukung peningkatan produksi CPO bakal menyebabkan penurunan ekspor. Menurut Fadhil, penurunan ekspor ini berpotensi memicu kenaikan harga CPO di pasar internasional, yang pada akhirnya akan berdampak pada kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar