27 Mei 2024
20:16 WIB
Program Biodiesel Terus Naik, Ekspor Sawit RI Terancam Defisit
GAPKI dan APKASINDO mengkhawatirkan ekspor sawit Indonesia akan semakin menurun bahkan minus jika kebutuhan CPO dalam negeri terus meningkat untuk produksi biodiesel.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Ilustrasi bio diesel. Shutterstock/chemical industry
JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyatakan, Indonesia perlu mewaspadai adanya tren peningkatan konsumsi minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi.
Edy menyebutkan produksi CPO cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir, yakni per tahunnya sekitar 50 juta ton. Sedangkan konsumsi CPO domestik sejak tahun 2019 hingga 2024 cenderung naik dari 32,3% menjadi 42,8% dari produksi.
Naiknya konsumsi CPO dalam negeri ini semakin terlihat sejak adanya program biodiesel 35% atau produk campuran biodiesel Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang merupakan bahan bakar nabati (BBN) berbasis CPO sebanyak 35% dengan bahan bakar minyak (BBM) 65% jenis minyak solar, yang mulai diimplementasikan pada 1 Februari 2023 lalu. Alhasil, menurut Edy penggunaan biodiesel di tahun 2023 telah melebihi penggunaan CPO untuk pangan.
Baca Juga: Masalah Iklim Dan Biodiesel Ancam Ketersediaan Minyak Goreng
"Terakhir di tahun 2023, konsumsi dalam negeri dibandingkan produksi mencapai 42,3%, ini dengan B35.B35 pun belum full, karena baru dimulai dari Maret. Jadi kalau B35 ini tetap di 2024, maka akan semakin naik. Tapi yang kita dengar akan naik menjadi B40, B50," jelas Eddy dalam diskusi bersama Ombudsman "Pencegahan Maladministrasi pada Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit", Senin (27/5).
Jika kenaikan konsumsi CPO dalam negeri tidak diimbangi dengan produksi, Eddy mengingatkan adanya potensi pengurangan ekspor CPO yang imbasnya pengurangan devisa ekspor.
Sementara di sisi permintaan luar negeri, Eddy mengungkapkan terjadi peningkatan. Data GAPKI menunjukkan, di 2023 ekspor CPO Indonesia tertinggi masih didominasi ke China (23,19%), disusul ke Pakistan (10,65%), Amerika (10,38%) dan India (7,78%).
Khusus Amerika, Eddy menyatakan negeri Paman Sam tersebut membukukan peningkatan permintaan CPO asal Indonesia. Terbukti dari kenaikan impor mereka terhadap CPO dari tahun 2022 sebesar 2,2 juta ton menjadi 2,5 juta ton di 2023.
"Saat ada konferensi di Malaysia beberapa waktu lalu, para pembicara (negara pengimpor) mengatakan bahwa dunia butuh sawit, dunia butuh Indonesia. Bahkan mereka meminta tolong jangan dinaikkan dulu mandatorinya (program biodiesel) karena mereka melihat produktivitas kita stagnan," tutur Eddy.
Dari perhitungan GAPKI yang disampaikan Eddy, kebutuhan CPO untuk biodiesel B35 pada 2023 sebesar 10,65 juta ton. Sementara B40 diperkirakan akan membutuhkan CPO sekitar 13 hingga 14 juta ton.
Baca Juga: Menteri ESDM Targetkan Penggunaan B40 Pada 2025
Oleh karena itu, untuk memastikan program biodiesel tetap berjalan dan kebutuhan untuk pangan dan industri dalam negeri tetap terpenuhi, maka Eddy menuturkan perlu adanya areal khusus atau dedicated area untuk kebun energi khususnya pada areal yang terdegradasi.
"Sekarang konsumsi sawit kita untuk energi sudah lebih tinggi dari pangan. Ini yang perlu diperhatikan apakah perlu dinaikkan atau tidak, karena produktivitas kita masih stagnan," jelasnya.
Kekhawatiran ini juga disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (Ketum DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat M. Manurung. Dari perhitungan Apkasindo dengan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Gulat menyebutkan jika asumsi kebutuhan CPO untuk pangan stabil namun ada peningkatan kebutuhan biodiesel, salah satunya untuk produksi B50, maka ketersediaan CPO dalam negeri minus (-) 1,2 juta ton.
"Artinya kita nggak ada ekspor. Kalau nggak ada ekspor, kita nggak dapat devisa. Jadi mengganti uang keluar subsidi daripada devisa itu dari sawit. Ini akan terjadi minus 1,2 juta ton kalau kita memaksakan,” tegas Gulat.