25 Juni 2022
18:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Wiwie Heriyani
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Kira-kira 11 tahun lalu, sebuah ajakan mengembangkan batik Betawi diterima Siti Laela (58), penduduk Teragong, Jakarta Selatan. Tentu saja, tawaran yang digagas orang nomor 1 DKI, kala itu Fauzi Bowo, langsung disambut dengan anggukan kepala olehnya.
Maklum, sebagai orang Betawi asli, Siti prihatin melihat Batik Betawi lambat laun hilang tergerus zaman. Masyarakat lebih memilih beragam pakaian dan berbagai jenis kain yang dinilai lebih kekinian.
“Zaman dahulu sudah ada batik di Jakarta. Namun setelah berkembangnya Kota Jakarta, batik di Jakarta itu hilang,” ungkapnya kepada Validnews, Selasa (21/6).
Tawaran dari Fauzi Bowo pada 2011 itu bertujuan menghidupkan kembali Batik yang pernah ada di Jakarta. Tak ingin menyiakan kesempatan tersebut, dia beserta keponakan-keponakannya ikut serta dalam pelatihan soal batik Betawi yang diadakan Pemprov DKI dan berlangsung selama tiga bulan.
Selain mendapat pelatihan, Siti juga dibekali bahan baku membatik yang disiapkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Pada saat itu, kerja sama digagas dengan lembaga kebudayaan Betawi.
Kini, batik Betawi Terogong yang didirikan sejak tahun 2012 ini, masih terus eksis. Bahkan, menurutnya, terdapat peningkatan jumlah produksi dan jumlah pemesan dari tahun ke tahun. Meskipun penjualan saat pandemi turun sekitar 30%.
“Penjualan dari batik Betawi Terogong ini sebelum dan sesudah ada pandemi tidak terlalu signifikan penurunannya. Alhamdulillah saya masih bisa menghidupi para ibu-ibu di sekitar tempat saya yang bekerja bersama Batik Betawi Terogong ini. Jadi, tidak terlalu besar perbedaannya. Turun sekitar 30%,” urai Siti.
Siti menambahkan, hingga saat ini belum ada lagi pelatihan khusus tentang membatik, baik dari Pemprov DKI Jakarta maupun perusahaan/lembaga lainnya. Dia juga mengaku belum ada upaya khusus untuk meningkatkan eksistensi batik Betawi Terogong.
Mentok-mentok, katanya, hanya ada pameran dalam acara tertentu yang diselenggarakan oleh instansi yang ada. Baik di selatan maupun di seputar Jakarta.
“Jadi untuk upaya khusus, ya, belum ada. Tapi, memang saya tidak terlalu bergantung kepada pemerintah. Jadi, saya, ya, berusaha sebisa kami sendiri di Sanggar Batik Betawi Terogong ini,” serunya.
Mengenang Kejayaan
Lain ladang, lain belalang, di Setu Babakan, Udin, pedagang kerak telor, memiliki kisah yang berbeda dengan Siti yang bisa dibilang cukup berhasil mengembangkan batik Betawi Teragong. Udin kini merasa semakin jauh dari masa kejayaannya.
Ditemui Validnews, Minggu (19/6), tangan pria berusia 59 tahun itu masih tangkas menuang ketan dan meratakannya ke permukaan wajan sambil terus mengipasi bara api agar terus menyala.
Tangannya juga masih gesit saat memasukkan parutan kelapa sangrai alias serundeng dan ebi menjelang ketan matang. Sejurus kemudian, dia memasukkan telur bebek atau telur ayam, tergantung pilihan pelanggan, lalu mengaduk rata adonan.
Saat telur mulai matang, Udin lantas membalik wajan agar permukaan adonan menghadap bara api dan kerak telor matang merata. Pada akhir, dia menaburkan serundeng dan bawang goreng sebagai pelengkap. Satu kerak telor telah selesai dan siap untuk disajikan.
Rutinitas memasak itu telah dilakoni Udin selama 25 tahun terakhir. Satu hal yang membedakan, kini porsi kerak telor yang berhasil dia jual semakin sedikit.
Awalnya, pria berdarah asli Betawi ini berjualan kerak telor di depan Giant Mampang. Namun pada 2004, dirinya memutuskan hijrah ke Setu Babakan. Keramaian di Kampung Betawi itu menarik Udin untuk mencari rezeki di sana.
Pilihannya tak salah, Udin sempat menikmati masa-masa emas. Tak hanya dagangannya laris manis, dia juga berhasil mendapatkan jodoh di tempat tersebut.
Saat itu, Setu Babakan masih memiliki panggung yang menampilkan berbagai seni Betawi, mulai dari hadroh, gambang kromong, gambus, pelatihan bela diri, dan tarian Betawi.
“Dulu di sini ada panggung, penghasilan lumayan. Baru duduk di sini aja, sudah banyak yang mesen. Sampai-sampai 10 kg telur habis. Sekarang jauh, drastis banget jatuhnya,” keluh pria kelahiran 1963 itu.
Kini Udin hanya menjajakan dagangannya pada Sabtu, Minggu, dan saat libur nasional, mulai pukul 08.00 hingga 17.00 WIB. Selain hari itu, dia memilih tidak berdagang, karena sepi pembeli.
“Hari biasa (Senin-Jumat.red) gak ngapa-ngapain, di rumah, istirahat. Jualan cuma Sabtu dan Minggu,” ungkapnya.
Udin berkisah, ia bahkan sempat kehilangan pendapatan sama sekali saat pembatasan aktivitas diterapkan untuk memutus penyebaran covid-19. Sekarang, dengan pembatasan yang telah diperlonggar, pendapatannya belum pulih benar. Paling banter, ia hanya menghabiskan 20 telur (1 kg lebih) dalam sehari.
Berapa uang yang Udin bisa bawa pulang dengan telur sejumlah itu? Jika kerak telor dengan bahan telur ayam dibanderol Rp20 ribu seporsi dan kerak telor berbahan telur bebek Rp25 ribu seporsi, artinya ia ‘hanya’ bisa mengantongi omzet antara Rp400 ribu sampai Rp500 ribu. Jomplang dengan penghasilannya yang bisa 10 kali lipat pada masa normal dulu.
Karena itulah, Udin kini tak hanya menggantungkan nasib berjualan di Setu Babakan semata, dia kini membuka diri untuk menerima pesanan dalam jumlah besar, seperti pada hajatan khitanan, perkawinan, maupun acara besar lainnya.
“Kemarin saya ke Rindam bikin 100 telur. Acaranya Gebyar Ciliwung. Alhamdulillah sekarang kerak telor sudah banyak diketahui atau dikenal masyarakat. Khususnya buat pesta perkawinan dan khitanan,” ujarnya.
Selain menerima pesanan dalam jumlah banyak, Udin juga kini kerap diundang untuk mengisi materi worskhop karyawisata pelajar SD, SMP, dan SMA di Setu Babakan.
Udin tak sendiri menjajakan makanan khas Betawi. Berdasarkan pantauan Validnews, Minggu (19/6), tak hanya kerak telor saja yang diperjualbelikan di Setu Babakan, namun terdapat beberapa makanan lain. Di antaranya, soto mie, laksa, gado-gado, toge goreng, ketupat sayur Betawi, ketoprak, bir pletok, es serut Betawi, dodol, rujak bébék, dan kue ape.
Selain makanan khas Betawi, sebenarnya, di Setu Babakan juga tersedia pula jajanan khas daerah lain, seperti Lumpia Bogor, Mie Ayam, dan Bakso.

Lokasi yang Tepat
Menyikapi hal ini, Ketua Umum Paguyuban Pedagang dan Cenderamata Khas Betawi, Nurhasan atau yang akrab disapa Bang Hasan menilai, tempat yang representatif untuk pelaku jasa kuliner dan cenderamata khas Betawi menjajakan dagangan memang sangat dibutuhkan.
Tak heran, jika mengikuti suatu event, mereka harus dikenakan biaya yang terbilang besar. Termasuk pada ajang ikonik tahunan Jakarta Fair.
“Saya pegang Jakarta Fair punya Kampoeng Betawi, mempelopori adanya Kampoeng Betawi itu. Dari hanya dapat 2x10 meter, sampai kita mendapatkan tempat 7.000 meter,” kisahnya.
Namun pada perjalanan 2017, lokasi tersebut dikelola Badan Musyawarah (Bamus) Betawi. “Dikelola mereka justru bukan mendapat perhatian yang bagus, malah Kampoeng Betawi ditaruh di pojok yang sepi pengunjung,” ujar Nurhasan kepada Validnews melalui sambungan telepon, Senin (20/6).
Kala ‘Kampoeng Betawi’ masih dikelolanya, Nurhasan menyebutkan, dia hanya membebankan biaya sebesar Rp5 juta untuk 40 hari. Itupun untuk kesenian yang akan ditampilkan di Kampoeng Betawi.
“Jadi kita alihkan uang pendaftaran itu untuk menghadirkan kesenian khas Betawi di Kampoeng Betawi. Itu lumayan di satu bulan mereka berdagang, mendapatkan keuntungan dua kali lipat dari modal mereka,” terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Keluarga Seniman Betawi.
Sementara saat ini, para pelaku jasa kuliner dan cenderamata khas Betawi justru dikenakan tarif yang memberatkan, yakni Rp25 juta. Jadi banyak pedagang kuliner khas kerak telor yang justru didominasi oleh orang di luar Jakarta. Toge Goreng juga kini banyak dijual oleh orang dari suku Jawa atau pedagang yang secara modal lebih mumpuni.
“Seharusnya yang didukung mereka yang mau melestarikan kuliner khas betawi. Begitu juga di Lenggang Jakarta, tempat yang seharusnya menjadi sentral, justru malah kuliner Betawi tersingkir,” tegasnya.
Sayangnya, ia bilang, sampai saat ini, lokasi yang representatif sebagai sentra kuliner dan cenderamata khas Betawi, sampai kini belum juga ditemukan. Padahal, saat ini setidaknya ada 15 Paguyuban yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang dan Cenderamata Khas Betawi.
Di antaranya, Paguyuban Ondel-ondel, Paguyuban Bir Pletok, Paguyuban Dodol Betawi, Warung None, Paguyuban Pedagang Kerak Telor Betawi, Pangsi Betawi, Ikatan Pedagang Soto Betawi, Kumpulan Pedagang Toge Goreng Betawi dan Selendang Mayang Tim. Kemudian, Forum Cenderamata Khas Betawi, Betawi Distro, Kue Rangi, Lakse Betawi, Ondel-ondel Ngibing, dan Betawi Legend.
Nurhasan mengaku, sampai saat ini, dirinya masih memperjuangkan agar Jakarta punya lokasi ikonik kuliner dan cenderamata khas Betawi. Dia menilai, Ibu Kota belum menyediakan tempat yang khusus memasarkan produk-produk kuliner dan cenderamata khas Betawi.
“Sampai hari ini, saya bilang ke pelaku jasa kuliner dan cenderamata khas Betawi, mereka harus bersabar. Orang Betawi ini sifatnya, kalau mereka dapat tempat yang layak, ya, mereka mau. Tapi, kalau mereka disediakan tempat yang tidak layak, ya, mereka tidak mau. Akhirnya, peluang- peluang ini dimainkan orang-orang di luar Betawi yang bisa membuat produk khas Betawi,” bebernya.
Dukungan Pemerintah
Nurhasan bukan tak pernah berusaha membicarakan hal ini dengan pemerintah provinsi. Dia mengaku pernah meminta kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menyediakan tempat khusus kuliner dan cenderamata khas Betawi di tengah Ibu Kota.
Beberapa tempat di tengah kota memang sebagian sudah terisi. Namun sebagian besar pedagang justru tak tertampung, juga tak terlihat merepresentasikan kuliner dan cenderamata khas Betawi.
Oleh karena itu, ia pun kembali meminta kepada Pemerintah Daerah, agar para pedagang produk khas Betwai yang masuk klasifikasi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) asal Jakarta dapat disediakan tempat khusus. Menurutnya, sampai saat ini, banyak para wisatawan lokal maupun mancanegara yang kesulitan mencari kuliner dan cenderamata khas Jakarta.
Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma saja, lanjutnya, tidak menyediakan sentra produksi khas Betawi. Begitu pula dengan Taman Mini yang notabenenya adalah kawasan Wisata Budaya. Begitu juga dengan Taman Wisata Ragunan. Bahkan, di kota tua yang merupakan ikon Jakarta, pedagang Kerak Telor harus kejar-kejaran dengan petugas Satpol PP.
“Kalaupun ada, paling hanya 0, sekian persen. Dan itu pun tidak mendapatkan tempat yang layak,” kata Hasan.
Dia mencontohkan, di Kebun Binatang Ragunan, ada pedagang Kerak Telor di sana, tapi ditempatkan di sudut-sudut dengan kondisi tempat yang tak layak.
“Ketika hujan, mereka kehujanan. Padahal, cenderamata atau kuliner khas daerah lain, mereka mendapat tempat yang layak. Karena, pemerintah provinsi daerah mereka menaungi,” keluhnya.
Nurhasan juga mengkritik soal Setu Babakan yang belum ditata dengan baik. Padahal, Setu Babakan kini sudah terdaftar sebagai Desa Wisata oleh Kemenparekraf. Menurutnya, banyak pedagang rumahan yang menjual produk cenderamata, tetapi tidak laku, karena lokasi yang tak semestinya membuat para pembeli kecewa.
Asal tahu saja, Pemilik Sanggar Jeruk Purut ini juga pernah menolak gagasan Sandiaga Uno untuk memasukan sanggar kuliner khas Betawi ke dalam asosiasi dan Jakpreneur. Alasannya, Nurhasan memandang, bukan itu yang dibutuhkan oleh pelaku jasa kuliner dan cenderamata.
Menurutnya, mereka hanya ingin mendapatkan tempat yang representatif untuk memasarkan produk khas Betawi.
“Saat ini, para pedagang kita, termasuk saya, yang memasarkan produk itu akhirnya hanya lewat event dan lewat pesanan. Misalkan mau pesan Kerak Telor ke saya, bisa. Kita hanya seperti itu. Karena ketika kita menjual di tempat biasa, kita sudah tidak dapat tempat,” serunya.
Nurhasan sendiri pernah membidangi dan membina Paguyuban Pedagang Kerak Telor khas Betawi. Berdasarkan data yang dimilikinya, kini setidaknya ada sebanyak 400 pedagang Kerak Telor yang merupakan orang asli Betawi.
Sayangnya, karena tak ada lokasi berdagang yang layak, para pedagang kerak telor di luar orang Betawilah yang banyak terlihat di pinggir jalan. Dia menegaskan, dirinya tidak mempermasalahkan pelaku yang bukan Betawi asli berdagang produk khas Betawi.
Dia mengakui, ada sisi positif dan negatif dari hal tersebut. Positifnya, dia mengaku bangga ada orang di luar suku Betawi yang mau melestarikan budaya Betawi. Namun sisi negatifnya, banyak dari mereka tidak punya perhatian khusus untuk mendukung pelestarian budaya, alih-alih hanya sekadar berdagang.
“Jadi yang saya bina saat ini, termasuk kuliner khas Betawi, yang kita dahulukan adalah rasa. Bisa diadu soal rasa. Harga tidak masalah, yang penting rasa nomor satu. Berapa pun harganya, mereka yang doyan kuliner tidak mempermasalahkan harga, tapi rasanya. Saya tiap ada event atau ada pesanan, yang saya utamakan itu rasa, jadi orang tidak kecewa dengan kuliner khas Betawi,” imbuhnya.
Sekadar informasi saja, pandemi yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini diakuinya juga turut dirasakan dampaknya oleh para penjaja kuliner dan cenderamata khas Betawi. Kala itu, mereka tertunduk lesu dan tidak dapat memasarkan produknya, sampai tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mirisnya lagi, mereka tidak mendapat bantuan sama sekali.
Perlu Modernisasi
Di sisi lain, Nurhasan juga tak menampik bahwa pelaku jasa kuliner dan cenderamata khas Betawi harus mengikuti perkembangan zaman. Untuk keperluan itu, dia pun mempelopori pembuatan bir pletok saset.
“Di Jawa Barat ada bandrek (kemasan), kenapa kita tidak bisa bikin seperti bandrek. Akhirnya saya pelopori. Keluarlah kita kerja sama dengan Indonesia Power sebagai CSR-nya, akhirnya kita bina salah satu Sanggar Siri Dare. Sanggar Siri Dare bisa mendapatkan mesin untuk membuat bir pletok saset. Sampai saat ini, kita akhirnya punya bir pletok saset,” kata Nurhasan bangga.
Sayangnya, tak semua seni tradisi yang sudah turun termurun bisa menerapkan hal itu. Dodol Betawi, misalnya. Pengrajin dodol Betawi yang sudah berdagang di mal sekalipun, tetap menolak diberi saran untuk memakai mika atau Tupperware.
Pasalnya, kemasan yang digunakan saat ini sudah menjadi bagian dari tradisi dan tidak bisa diubah. Belum lagi, di sentra dodol Setu Babakan dan Pejaten Timur, proses memasak juga harus menggunakan kayu bakar, untuk mengikuti tradisi dan mempertahankan rasa dan ciri khasnya.
Associate Researcher Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini menuturkan, di tengah modernisasi, para pengrajin dan pedagang produk khas Betawi memang sudah selayaknya berinovasi bisnis dan strategi promosi.
“Ini kaitannya dengan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Diharapkan sektor pariwisata di Jakarta bisa tumbuh dengan melibatkan UMKM produk khas Betawi,” kata Eisha kepada Validnews melalui pesan singkat, Rabu (22/6).
Menurutnya, masa pandemi seperti sekarang ini, justru menjadi momentum, karena ada peralihan minat masyarakat untuk wisata outdoor dan alam. Dia mencontohkan, minat pengunjung yang tinggi ketika pembukaan taman milik pemerintah daerah (Pemda), bisa jadi kegiatan promosi kebudayaan Betawi dan UMKM Betawi.
Selain itu, lanjutnya, sentra produksi khas Betawi juga perlu dikemas dengan inovasi program dan packaging produk yang inovatif. Untuk produk-produk yang sifatnya kebutuhan, yaitu sandang dan pangan, bisa mulai merambah ke pasar digital e-commerce.
“Akan tetapi, jika jenis produknya kerajinan atau art and craft yang khas dengan sejarah dan budaya, ada baiknya dikemas dengan sektor wisata atau sektor kreatif lain, misalnya kesenian budaya. Misalnya dengan event-event kebudayaan,” imbuhnya.
Senada dengan Eisha, menurut Kepala UKM Center FEB UI Zakir Machmud, pelatihan atau pembinaan demi peningkatan kapasitas tetap diperlukan para pelaku jasa kuliner dan cenderamata khas Betawi dalam kondisi apapun.
Bisa berkolaborasi dengan pemerintah, swasta, komunitas, dan lain-lain,” ujar Zakir kepada Validnews, Kamis (23/6).
Lebih lanjut, Zakir menuturkan, untuk mendorong peningkatan ekonomi Betawi, sentra-sentra produksi khas Betawi juga bisa dibangun di cagar-cagar budaya yang ada. Atau, bisa juga mendekat ke konsumen lewat pusat perbelanjaan dengan membangun lokasi, seperti Betawi Corner, Pekan Festival Betawi, dan lain-lain.
Dirinya juga menyarankan agar pelaku jasa kuliner dan cenderamata khas Betawi harus adaptif dengan perubahan zaman. Salah satunya dengan memperbanyak iklan dan menggunakan marketing channel modern di media sosial. Termasuk menggunakan kemasan yang lebih menarik dengan rasa makanan/minuman yang lebih bervariasi dan kekinian.