12 Agustus 2025
18:40 WIB
Prasasti: Ekonomi Digital Kunci Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 8%
Pertumbuhan ekonomi digital lebih cepat bertumbuhnya dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga kontribusi dari pertumbuhan ekonomi digital ke depan juga akan terus meningkat.
Penulis: Fin Harini
Policy and Program Director Prasasti Piter Abdullah (kiri) dan Research Director Prasasti Gundy Cahyadi (kanan) dalam konferensi pers Peluncuran Laporan Riset Ekonomi Digital di Jakarta, Selasa (12/8/2025). Antara/Bayu Saputra)
JAKARTA - Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) mengatakan pemerintah perlu memaksimalkan potensi ekonomi digital sebagai kunci untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% pada 2029.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (12/8), Research Director Prasasti Gundy Cahyadi mengatakan Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan pemanfaatan ekonomi digital di berbagai sektor.
Menurutnya, kontribusi ekonomi digital Indonesia pada 2030 diperkirakan mencapai US$220-360 miliar, dengan dominasi 40% dari nilai ekonomi digital ASEAN.
Baca Juga: Indonesia Dorong DEFA Rampung 2026, Demi Ekonomi Digital ASEAN
Berdasarkan riset Prasasti berjudul "Mengoptimalkan Peran Ekonomi Digital dalam Mewujudkan Pertumbuhan Berkelanjutan 8% di Indonesia", pada 2024 nilai ekonomi digital Indonesia mencapai Rp1,86 kuadriliun atau setara US$117,2 miliar, berkontribusi 8,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.
Laju pertumbuhan ekonomi digital juga tercatat sekitar 5-6%, lebih tinggi dibandingkan tren pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di kisaran 5%.
“Jadi karena pertumbuhan ekonomi digital lebih cepat bertumbuhnya dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, kontribusi dari pertumbuhan ekonomi digital ke depan juga akan terus meningkat,” ujar Gundy.
Lebih Efisien
Policy and Program Director Prasasti Piter Abdullah mengatakan terdapat dua tantangan utama yang menjadi ganjalan guna mencapai pertumbuhan 8%, yakni tantangan global dan domestik.
Pertama, adanya konflik geopolitik yang tak kunjung usai. “Belum selesai (konflik) Ukraina, sudah ada masalah Israel. Belum selesai Israel, sudah muncul (konflik) Thailand sama Kamboja yang sudah di depan mata kita. Jadi persoalan geopolitik memunculkan ketidakpastian dan kemudian berdampak kepada rantai pasok global,” katanya.
Tantangan kedua yakni dari domestik sendiri. Dalam hal ini, Piter menyuarakan perlunya reformasi struktural yang sudah lama dibicarakan.
“Tantangan domestik ini sudah sering sekali kita sebutkan, sering sekali kita bicarakan perlunya reformasi, perlunya reformasi struktural,” ujar dia.
Di tengah tantangan itu, ia menilai pentingnya memanfaatkan sektor ekonomi digital sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional.
“Dengan tekanan perlambatan ekonomi global, transisi energi, dan pergeseran rantai pasok, Indonesia membutuhkan mesin pertumbuhan yang lebih efisien. Ekonomi digital menawarkan jawaban konkret,” ujar Piter.
Dari 17 sektor yang diteliti, pemanfaatan ekonomi digital terbukti lebih efisien dibanding sektor yang belum mengadopsinya.
Hal itu tercermin dari indeks Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sektor ekonomi digital tercatat 4,3, sementara rata-rata 17 sektor ekonomi nasional berada di angka 10,6.
Angka ICOR ini menunjukkan tingkat efisiensi suatu sektor mengelola investasi. Semakin rendah angka ICOR, maka semakin efisien suatu sektor dalam mengelola investasi yang masuk menjadi output riil di perekonomian.
Dengan angka ICOR tersebut, ini berarti setiap rupiah investasi di ekonomi digital mampu menghasilkan dua kali lipat output dibanding sektor konvensional.
“Investasi di infrastruktur digital, pengembangan talenta data, dan cloud service bukan sekadar transformasi sektor, tetapi merupakan strategi industrialisasi nasional yang sangat menentukan daya saing dan masa depan perekonomian Indonesia dua dekade ke depan,” katanya, menjelaskan.
Baca Juga: Airlangga Proyeksi Ekonomi Digital Sumbang 8% PDB, Target 10% Akhir 2025!
Lebih lanjut, dalam risetnya, Prasasti menggunakan metodologi OECD-ADB dan memetakan 17 sektor terdigitalisasi, dengan GoTo sebagai studi kasus.
Hasilnya, ditemukan setiap kenaikan 1 unit nilai tambah dari ekonomi digital dapat mendorong peningkatan total output seluruh sektor lain sebesar 1,89 unit, mencerminkan tingginya keterkaitan sektor lain terhadap ekonomi digital.
Sebagai studi kasus, hasil riset menunjukkan ekosistem GoTo pada 2024 mampu menciptakan nilai ekonomi sebesar Rp480,7 triliun, menyerap lebih dari 2,03 juta tenaga kerja, dan menurunkan angka kemiskinan hingga 0,45 poin persentase secara nasional.
Tingkat efisiensi investasi atau ICOR ekosistem digital GoTo sendiri tercatat hanya 2,3, atau sekitar 87% lebih efisien dibanding rata-rata ICOR ekonomi digital yang mencapai 4,3.
Gundy menerangkan, kontribusi perusahaan teknologi lokal seperti GoTo dinilai memberikan dampak sosial nyata, mulai dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, hingga perluasan inklusi keuangan bagi pelaku UMKM dan pekerja informal.
Temuan ini juga memperlihatkan adanya transformasi struktur ekonomi nasional yang semakin bertumpu pada digitalisasi.
Oleh karena itu, dukungan pemerintah melalui kebijakan dan insentif untuk memperkuat industri serta ekosistem digital lokal dianggap penting sebagai strategi pemerataan dan pertumbuhan berkelanjutan.
“Pemerintah dapat mendorong kebijakan pengembangan infrastruktur digital. Termasuk di antaranya fiberisasi dan penyebaran 5G di luar Jawa, serta pemberian insentif riset dan pengembangan (R&D) untuk teknologi cloud dan artificial intelligence (AI),” ujar Gundy.
Selain itu, tambah Gundy, penting untuk memperluas program pelatihan satu juta talenta data dan AI setiap tahun, serta menciptakan skema pembiayaan inklusif agar UMKM dan masyarakat dapat lebih mudah mengadopsi teknologi digital.
Dukungan komprehensif tersebut diyakini akan mempercepat tercapainya target pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus memastikan transformasi digital yang inklusif dan berkelanjutan.