c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

12 Januari 2024

19:33 WIB

Politisi Sayangkan Turunnya Peringkat Keuangan Syariah Di SGIE

Peringkat keuangan syariah di SGIE 2023/24 kalah dibandingkan Malaysia. Ada tujuh agenda yang diusulkan untuk mengembangkan keuangan syariah.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Politisi Sayangkan Turunnya Peringkat Keuangan Syariah Di SGIE
Politisi Sayangkan Turunnya Peringkat Keuangan Syariah Di SGIE
Booth Lembaga Keuangan Syariah dalam acara Economic Festival (ISEF) 2022 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Rabu (5/10/2022). ValidnewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Anggota DPR RI Periode 2014-2019 Abdul Hakam Naja menyayangkan turunnya peringkat keuangan syariah Indonesia dalam Laporan Keadaan Ekonomi Islam Global (SGIE) 2023/24. Dalam laporan itu, posisi keuangan syariah Indonesia turun satu peringkat, dari posisi ke-6 menjadi ke-7.

Dirinya pun menyebut, hal ini berkebalikan dengan beberapa sektor seperti makanan halal, pariwisata, fesyen, media dan rekreasi, farmasi, serta kosmetik yang mengalami kenaikan peringkat atau bertahan di posisi tinggi.

“Padahal keuangan syariah bobot perhitungnya adalah 30%, (sementara) empat variabel seperti farmasi-kosmetik, media, fesyen islami, dan pariwisata cuma 10% (masing-masing bobotnya). Inilah yang saya kira patut dipertanyakan,” ungkapnya dalam Visi Capres dan Evaluasi Ekonomi Syariah Indonesia, Jakarta, Jumat (12/1).

Lagi-lagi, dirinya heran, karena peringkat keuangan syariah Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia. Terlebih, jumlah penduduk muslim menjadi salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan perbankan syariah di dunia.

Baca Juga: Ada Rencana Sinergi BTN Syariah-Bank Muamalat, OJK Buka Suara

Indonesia memiliki penduduk muslim 241,7 juta jiwa atau setara 89,02% dari total populasi 277,75 juta jiwa di 2022. Sementara Malaysia hanya memiliki penduduk muslim 19,84 juta jiwa atau sekitar 61,3% dari total populasi 30 juta jiwa di 2022.

“Kita ini ada paradoks, jumlahnya (muslim) besar sekali, tapi jalannya (keuangan syariah) kayak siput… (Penduduk muslim) kita lebih hampir 15 kali lipat dari Malaysia, ternyata keadaannya masih sangat jauh (keuangan syariah),” urainya.

Jika didalami, lanjutnya, rasio perbankan syariah di dalam negeri masih sangat kecil. Per September 2023, perbankan syariah baru mencapai 7,27% dibanding perbankan keseluruhan di Indonesia; terdiri dari 13 Bank Usaha Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS). 

“Sementara pangsa perbankan syariah Malaysia, per Mei 2023, itu sudah 46% dari perbankan nasionalnya, hampir fifty-fifty. Ini saya kira patut jadi catatan penting Indonesia,” paparnya. 

Tujuh Agenda Kembangkan Perbankan
Untuk itu, dirinya mengusulkan sebanyak tujuh agenda untuk bisa mengembangkan dan mengakselerasi perbankan syariah di Indonesia. Pertama, Indonesia perlu memperkuat ekosistem dan sektor riil ekonomi syariah, sehingga perbankan syariah bisa bertumbuh.

Harapannya, industri halal mencakup makanan, farmasi, sampai pariwisata dapat mendukung perkembangannya dengan mensinkronisasi via sektor keuangan dan perbankan syariah.  

“(Misal), dengan adanya pembiayaan yang murah dan mudah dari perbankan kepada industri halal, maka akan terjadi kolaborasi dan akan mendorong peningkatan dan sinergi,” sebutnya.

Optimalisasi tersebut bisa juga dimulai dengan mengoptimasi visi Indonesia sebagai pusat industri halal dunia, untuk mengembangkan dukungan keuangan syariah eksklusif.

Kedua, pemerintah bersama regulator mesti mengafirmasi dan keberpihakan pengembangan keuangan syariah dengan kebijakan yang dibutuhkan. Mencontoh Malaysia, sejak 1983, sudah mulai menghadirkan kebijakan akomodatif serta memberi banyak insentif untuk akselerasi perbankan syariah.

“Jadi, afimasi dan kebijakan pemerintah (kepada perbankan syariah), memang sangat amat penting untuk ditingkatkan lagi dari posisi sekarang,” katanya.

Ketiga, Indonesia mesti mulai membuka peluang kerja sama dan investasi internasional di bidang perbankan syariah. Pasalnya, masih sedikit perbankan syariah tingkat global besar yang masuk ke Indonesia. 

Baca Juga: Indonesia Posisi Tiga Besar di SGIE 2023, Ini Rinciannya

Naja menyebut, Al-Rajhi Bank dan Kuwait Finance sebagai dua besar bank syariah skala dunia belum masuk tanah air. Karenanya, butuh keterbukaan dan iklim bisnis syariah yang kondusif. 

“Regulasi yang mendukung perbankan syariah global berinvestasi di Indonesia, juga perlu dikembangkan secara konsisten oleh pemerintah dan regulator yang diudkung oleh para pelaku bisnis,” terangnya.

Keempat, Indonesia perlu menyediakan pendidikan terkait, peningkatan mutu SDM, serta riset dan inovasi yang dibutuhkan. Salah satu faktor lambatnya perkembangan syariah di Indonesia adalah kemampuan SDM yang relatif masih kurang. 

“Hal ini terlihat dari banyak eksekutif bank-bank syariah yang lebih didominasi alumni bank-bank konvensional, juga pentingnya inovasi dan riset di bidang perbankan syariah,” urainya.

Kelima, Indonesia perlu memberikan kebijakan merger dan akuisisi perbankan syariah. Saat ini, UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dan peraturan OJK 12/2023 telah mengatur terkait kewajiban pemisahan (spin- off) Unit Usaha Syariah (UUS). 

Dirinya pun mendukung penuh Indonesia agar berupaya menghadirkan pesaing BSI selaku bank syariah besar nasional. Agar iklim persaingan perbankan syariah dapat terjadi dan berlangsung sehat. 

“Paling tidak, minimum ada dua lagi bank syariah sekelas BSI, agar publik mempunyai pilihan lebih banyak dalam memilih bank syariah,” ucapnya.

Keenam, dirinya juga mendorong perbankan syariah untuk melaksanakan digitalisasi yang dibutuhkan. Kendati menawarkan banyak peluang, implementasi ini juga menyimpan tantangan yang signifikan. 

Beberapa tantangan di era digital adalah keberadaan akses digital bagi masyarakat, hilangnya pekerjaan, ketimpangan keterampilan digital, serangan siber, disrupsi industri, dan regulasi.

Ketujuh, pemangku kebijakan perlu meningkatkan literasi dan inklusi perbankan syariah. Sejauh ini, tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih rendah, yaitu tercatat 9,4% dan 12,2%. 

“Angka tersebut jauh tertinggal dibandingkan indeks literasi dan inklusi keuangan nasional yang sudah sebesar 49,68% dan 85%,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar