15 Maret 2024
18:18 WIB
JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DKI Jakarta memprediksi tingkat okupansi hotel selama Ramadan tahun ini, turun hingga 25% dibandingkan hari-hari biasa. Selain tingkat keterisian hotel yang menurun, tren masyarakat yang makan di restoran juga hampir dipastikan menurun.
"Kalau yang namanya Ramadan dibandingkan hari biasa pasti turun karena orang jarang bepergian dan tidak juga menginap di hotel untuk sekadar berlibur misalnya," kata Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (15/3).
Sekalipun ada kegiatan buka bersama, momentum tersebut, kata Iwantono, tentu berbeda dengan hari biasanya, ketika konsumen makan di restoran bisa tiga kali pada pagi, siang dan sore hari.
"Buka puasa, orang makan hanya satu kali, sedangkan di waktu pagi, siang dan sore tidak ada yang makan. Tapi tentunya kita berharap Ramadan tahun ini lebih baik dibandingkan tahun lalu," kata Iwantono.
Dia meyakini, sejumlah restoran besar tentunya telah menyiapkan strategi khusus untuk menarik pelanggan seperti potongan harga khusus. Namun yang utama adalah memelihara pelanggan agar tetap kembali ke restoran.
Iwantono menambahkan, tingkat keterisian hotel akan kembali meningkat menjelang akhir Ramadan dan sepanjang libur Lebaran.
Berdasarkan siaran resmi yang dikeluarkan BPS DKI, tingkat penghunian kamar hotel bintang di Jakarta pada tahun lalu, yakni April 2023 yang bersamaan dengan bulan Ramadan tercatat hanya sebesar 42,52% atau turun signifikan sebesar 10,85% dibandingkan Maret 2023 yang tercatat sebesar 53,37%.
Kemudian setelah Ramadhan dan libur Lebaran, aktivitas masyarakat yang menggunakan jasa perhotelan di Jakarta kembali meningkat. Tingkat penghunian kamar (TPK) hotel bintang Jakarta pada Mei 2023 tercatat mencapai 50,75% atau meningkat 8,23% dibandingkan April 2023.
Buka Bersama
Sebelumnya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) mengungkapkan, kegiatan buka puasa (iftar) atau sahur bersama yang dilakukan oleh masyarakat selama Ramadan, bisa menjadi peluang bagi perhotelan.
"Mudah-mudahan pada saat Puasa Ramadan ini orang bisa melakukan sesuatu yang beda aktivitasnya, seperti iftar bersama atau sahur bersama. Ini juga menjadi suatu peluang yang bisa ditawarkan oleh sektor perhotelan," ujar Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama Kemenparekraf/Baparekraf Nia Niscaya dalam gelaran wicara daring The Weekly Brief With Sandi Uno di Jakarta, Senin.
Menurut Nia, sektor perhotelan bisa memanfaatkan dan menawarkan peluang ini kepada masyarakat yang ingin iftar, sahur, ataupun shalat tarawih bersama karena hotel memiliki kapasitas tempat yang besar untuk bisa mengakomodasi di mana orang bisa berkumpul bersama dengan kepentingan yang sama.
Kemenparekraf juga menyarankan kepada sektor perhotelan agar memberikan diskon atau fleksibilitas harga kamar, untuk menarik masyarakat mengisi kamar-kamar hotel selama Ramadan. Paling tidak, bisa biaya operasional hotel selama Ramadan seperti pembayaran gaji karyawan, pembersihan kamar, dan sebagainya.
"Saya kira itu mungkin satu hal yang bisa kita lakukan, jadi fleksibilitas dari harga kamar dan tentunya promosi serta bisa menyasar segmen-segmen khusus," kata Nia.
Selama Ramadan biasanya terjadi penurunan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) maupun pergerakan wisatawan domestik di Tanah Air, yang berdampak pada penurunan okupansi kamar hotel terutama di kota besar seperti Jakarta.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sendiri memperkirakan okupansi saat libur lebaran akan tinggi, perkiraan ini didasarkan perbaikan kondisi perhotelan secara keseluruhan di Indonesia pada 2024 semakin baik.
Sebelumnya berkaca dari okupansi menjelang Lebaran 2023, PHRI mencatat okupansi di hotel di kota tujuan wisata favorit sudah lebih dari 70%. Beberapa destinasi favorit yang juga dikunjungi banyak pemudik seperti Yogyakarta, Malang, Cirebon, dan sementara untuk Jakarta pada libur Lebaran 2023 PHRI mencatat tidak ada kenaikan okupansi hotel.