04 Oktober 2022
20:28 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
BANDUNG – Pengamat menilai, proses transisi energi yang tengah berlangsung semakin menguatkan peranan industri hulu migas. Peranan hulu migas dalam jangka pendek masih merupakan sumber pendapatan negara yang strategis. Sementara di jangka panjang masih akan menjadi penggerak perekonomian nasional.
Perubahan peranan hulu migas tetap memberikan dampak positif lainnya yaitu menciptakan lapangan kerja, menarik investasi dan menopang tumbuhnya kapasitas nasional di pusat maupun di daerah. Dengan demikian, industri migas belum memasuki sunset industry.
Pengamat energi dari Energy Watch Mamit Setiawan menerangkan, kebutuhan energi di era transisi masih akan dipasok oleh energi yang berasal dari fosil, termasuk minyak dan gas bumi. Menuju net zero emission di 2060, baik energi terbarukan serta energi fosil saling melengkapi dan mengisi dalam bauran kebutuhan energi ke depan.
Faktanya, kebutuhan Indonesia akan energi yang bersumber dari minyak dan gas terus meningkat. Saat ini saja, Indonesia merupakan net importir minyak sejak tahun 2004.
“Oleh karena itu, di era transisi energi, pemerintah harus meningkatkan produksi minyak agar bisa mengurangi impor minyak. Sehingga negara memiliki ruang yang lebih luas untuk mengalokasikan pembiayaan energi terbarukan,” katanya dalam FGD di Bandung, Senin (4/10).
Mamit mengatakan, industri hulu migas perlu dukungan besar dari berbagai stakeholders. Agar kekayaan alam berupa migas dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat.
Di sisi lain, industri hulu migas mampu bertransformasi menuju energi yang lebih bersih, dengan cara melakukan efisiensi energi maupun mengembangkan potensi bisnis CCS/CCUS.
Bahkan, ke depan, jika bisnis CCS/CCUS sudah sangat dominan, justru industri hulu migas telah berubah menjadi industri bersih. "Karena, membantu menyerap dan menyimpan CO2 yang dikeluarkan oleh industri lain, seperti industri semen, industri besi baja dan lainnya," terangnya.
Tak kalah mendesak, pemerintah perlu segera merevisi UU Migas dalam rangka melindungi sekaligus menjaga keberlangsungan industri hulu migas beserta multiplier effect di dalamnya. Kemauan politis mesti jadi konsideran semua pihak yang terkait.
"Ada atau tidak ada dalam proglegnas, karena amanat revisi UU Migas merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi. Maka, setiap saat jika ada political will, maka revisi UU Migas bisa dibahas Pemerintah dan DPR,” tegas Mamit.
Mitigasi Risiko Bisnis
Senada, Senior Manager Corp Sustainability and Risk Management Medco Energi Firman Dharmawan menyampaikan, meski saat ini isu mengenai EBT telah menjadi perbincangan luas dan perhatian pengambil kebijakan, namun kenyataan di lapangan energi fosil dari minyak dan gas masih tetap dibutuhkan.
"Namun, persyaratan kerjasama dengan investor semakin ketat karena harus memiliki program dan pelaporan keberlanjutan lingkungan. Medco Energi telah menyiapkannya sehingga sektor bisnis migas terus berkembang hingga sekarang,” ungkap Firman.
Sebagai perusahaan publik, Medco harus fokus meningkatkan tata kelola lingkungan. Salah satunya, memitigasi risiko perubahan iklim. Hingga kini, kontribusi bisnis Medco sekitar 90%-nya masih di sektor migas.
"Sebagai bagian dari pengembangan ke depan Medco, telah memiliki lini bisnis di sektor ketenagalistrikan dan pertambangan. Medco Power yang didirikan tahun 2004 menjadi ujung tombak di era energi transisi," beber Firman.
Sebagai bagian dari upaya keberlanjutan, Perseroan meningkatkan kualitas pengungkapan dalam Laporan Keberlanjutan, dengan meningkatkan jumlah indikator global reporting initiative (GRI) dari tahun ke tahun.
Adapun di 2022, perusahaan telah melakukan pengkinian penilaian materialitas, mencakup pengkinian prioritas topik-topik yang berkaitan dengan lingkungan, sosial dan tata Kelola atau ESG. Selain itu, Perseroan juga menyusun peta jalan keberlanjutan lima tahun mendatang dan peta jalan emisi net zero.
Jika di 2017 jumlah indikator GRI sebanyak 31 indikator, di 2022 jumlah indikator GRI melonjak mencapai 86 indikator.