c

Selamat

Selasa, 23 April 2024

EKONOMI

07 Mei 2021

19:17 WIB

Penyesuaian Ketentuan Kuota Impor Berpotensi Lukai UMKM

Sangat sulit menentukan faktor harga jual sebuah produk yang tergolong terjangkau, entah praktik tarif predator atau sistem produksi yang efisien.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Penyesuaian Ketentuan Kuota Impor Berpotensi Lukai UMKM
Penyesuaian Ketentuan Kuota Impor Berpotensi Lukai UMKM
Ilustrasi belanja online. Freepik/Dok

JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies menilai rencana Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membatasi kuota barang impor untuk melindungi pelaku UMKM dari praktik predatory pricing penjual asing, justru berpotensi melukai mereka.

Peneliti CIPS Thomas Dewaranu menjelaskan, kebijakan proteksionisme dan diskriminasi berlebihan terhadap produk asing justru dapat berdampak negatif, baik konsumen maupun UMKM. Khususnya pedagang eceran yang mengandalkan pendapatannya pada penjualan produk impor. 

Rencana pembatasan kuota barang impor akan dilakukan lewat revisi Permendag 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha.

"Meskipun belum ada kepastian pasal-pasal yang akan direvisi, terindikasi perubahan akan dipusatkan pada isu hak kekayaan intelektual dan penetapan batas maksimal bagi produk asing yang diperdagangkan di pasar online," terangnya dalam rilis pers, Jakarta, Jumat (7/5).

Thomas melanjutkan, sebaiknya sebelum membahas opsi kebijakan yang tersedia, Kemendag bersama Kemkominfo memvalidasi isu tarif predator atau predatory pricing yang dilakukan penjual asing, sebagai dasar pertimbangan rencana revisi Permendag terkait. 

Ia menekankan, langkah tersebut mesti dilakukan. Mengingat sangat sulit menentukan faktor penyebab harga jual sebuah produk yang tergolong terjangkau,  apakah disebabkan praktik tarif predator atau sistem produksi yang efisien. 

Nantinya, ia juga berharap, revisi beleid terkait juga perlu memperjelas perbedaan antara peredaran barang impor dan transaksi jual-beli lintas negara di pasar digital. 

Data Kemenperin dan studi LIPI memperlihatkan, sekitar 90% barang yang diperjualbelikan di pasar online merupakan produk impor. Namun, beberapa marketplace besar mengakui, sejauh ini transaksi dalam negeri masih mendominasi aktivitas perdagangan di platform mereka. 

"Hal ini menunjukkan, peredaran barang impor di pasar online Indonesia hampir seluruhnya dilakukan oleh retailer UMKM lokal dan bukan oleh penjual internasional melalui transaksi lintas negara," katanya. 

Dengan demikian, pembatasan jumlah peredaran barang asing di pasar daring sangat mungkin hanya akan melukai retailer lokal, yang bergantung pada produk impor sebagai komoditas utama usaha mereka.

“Selain itu, perlu diingat bahwa produk lintas negara yang ditransaksikan secara online juga telah dibebankan bea masuk dan pajak pertambahan nilai atau PPN," ujarnya. 

Sebelumnya, pemerintah lewat PMK 199/2019 telah mempersempit akses fasilitas kelonggaran bea masuk, hanya untuk barang impor kiriman dengan nilai transaksi kurang dari US$3. Jumlah tersebut terbilang lebih ketat daripada ketentuan sebelumnya dengan batasan di bawah US$75.

Kecenderungan Pembeli
Secara umum, Thomas bilang, kontrol harga melalui instrumen bea masuk terhadap barang impor seringkali dinilai sebagai opsi yang cenderung lebih baik, jika dibandingkan dengan kontrol kuantitas. Pengenaan bea masuk memang mempengaruhi harga jual barang impor. 

"Akan tetapi dalam membeli, konsumen pasar online dapat dengan mudah melihat dan membandingkan harga barang impor sesudah bea masuk dengan harga barang yang ditawarkan penjual lokal," ungkapnya. 

Meski didasari niat baik mendukung UMKM lokal, penggunaan instrumen penetapan batas maksimal peredaran barang impor serta pembatasan transaksi lintas negara pada pasar digital justru dapat melukai bukan hanya konsumen. 

Di tingkatan lebih lanjut, hal tersebut juga bakal berdampak negatif bagi pelaku usaha eceran lokal. Apabila tidak disertai kemampuan membuktikan adanya praktik tarif predator. 

Sebagai rekomendasi, Thomas menambahkan, perlindungan dan dukungan terhadap UMKM, sebaiknya dilakukan melalui pencabutan ketentuan kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE) yang terdapat dalam Permendag 50/2020. 

"Dengan mengurangi barriers to entry, diharapkan UMKM dapat semakin termotivasi untuk bergabung ke dalam pasar digital, membiasakan diri untuk bersaing, dan meningkatkan produktivitas, dengan dukungan pemerintah," pungkasnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar