c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

14 Maret 2023

19:23 WIB

Penutupan Tiga Bank AS Diyakini Tak Berdampak Buat Indonesia

Penutupan Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank di AShanya berdampak besar kepada negara yang memiliki cabang dari tiga bank tersebut. Itu pun segara dipadamkan pemerintah setempat

Penutupan Tiga Bank AS Diyakini Tak Berdampak Buat Indonesia
Penutupan Tiga Bank AS Diyakini Tak Berdampak Buat Indonesia
Para nasabah mengantre di luar kantor cabang Silicon Valley Bank di Wellesley, Massachusetts, AS, 13 Maret 2023. Antara/Reuters/Brian Snyder

JAKARTA - Penutupan dan pengambilalihan tiga bank di Amerika Serikat (AS) yang bangkrut dinilai tidak akan berdampak banyak bagi sektor keuangan di Indonesia. Apalagi, sampai mengulang kembali krisis ekonomi besar tahun 2007-2008.

Hendra Setiawan Boen, analis dan sekaligus praktisi hukum kepailitan dan restrukturisasi utang dari kantor Frans & Setiawan Law Office, dalam keterangan di Jakarta, Selasa (14/3) menuturkan, ada beberapa alasan yang memperkuat keyakinan tersebut.

Pertama, pemerintah Amerika Serikat telah bergerak cepat mengantisipasi dengan memastikan semua deposan akan dapat mengambil kembali uang mereka. 

“Karena sejak krisis subprime mortgage tahun 2007, pemerintah Amerika telah mencadangkan uang lebih dari US$100 miliar sebagai jaring pengaman apabila terjadi peristiwa semacam ini,” kata Hendara.

Dia mengatakan, kejadian ini hanya berdampak besar kepada negara yang memiliki cabang dari tiga bank tersebut. Itu pun pemerintah negara-negara tersebut segera melakukan upaya untuk memitigasi risiko.

“Inggris misalnya, lolos dari krisis karena bank HSBC bersedia membeli Silicon Valley Bank cabang Inggris dengan harga 1 poundsterling dan menjamin simpanan deposan,” imbuhnya.

Selain itu, perusahaan rintisan yang menerima pendanaan dari ketiga cabang bank itu akan kesulitan seperti di Republik Rakyat China. Namun sepengetahuan dirinya ketiga bank yang bangkrut tersebut tidak memiliki cabang di Indonesia.
 
“Kalaupun ada perusahaan rintisan Indonesia atau perusahaan kripto yang menyimpan atau menerima dana dari ketiga bank, maka kesulitan keuangan hanya terlokalisir pada perusahaan-perusahaan tersebut, yang terlalu kecil untuk bisa berdampak sistemik kepada keuangan Indonesia,” ujar Hendra.
 
Hendra juga yakin, perbankan Indonesia memiliki kecukupan modal yang tinggi sehingga akan mampu membendung gejolak keuangan dan likuiditas global.
 
“Yang terpenting, secara fundamental, saat ini Indonesia sudah jauh lebih kuat daripada saat terjadinya krisis moneter 1997 dan krisis subprime mortgage tahun 2007. Perangkat institusional dan aturan-aturan juga sudah lebih rigid yang memungkinkan Indonesia mengarungi krisis keuangan,” bebernya. 

Seperti diketahui, tiga bank yang selama ini dikenal sebagai pendukung kuat industri uang digital, serta pemberi pinjaman utama perusahaan-perusahaan rintisan ditutup atau diambil alih pemerintah AS. Hal ini menyusul neraca keuangan ketiganya yang memburuk dan tidak mampu memenuhi penarikan besar-besaran dari para deposan. Bank tersebut adalah Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank.
 
Ambruknya ketiga bank tersebut menimbulkan kekhawatiran risiko merembet ke sektor dan negara lain, sehingga mengganggu stabilitas sistem keuangan global. 

Apalagi, keruntuhan Silicon Valley Bank berdampak kepada perusahaan rintisan, terutama apabila perusahaan modal ventura yang selama ini mendukung keuangan perusahaan rintisan menyimpan dana di bank tersebut.



Industri Perbankan Indonesia
Sebelumnya, otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menilai, penutupan Silicon Valley Bank (SVB) oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat pada 10 Maret 2023, tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang memiliki kondisi yang kuat dan stabil.
 
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, Senin, mengatakan, penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan di Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line, maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB. 

Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan rintisan berbasis teknologi atau start up maupun kripto.
 
“Oleh karena itu, OJK mengharapkan masyarakat dan industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat,” kata Dian
 
Menurutnya, setelah krisis keuangan 1998, Indonesia telah melakukan langkah-langkah mendasar untuk memperkuat kelembagaan, infrastruktur hukum, dan tata kelola industri perbankan, serta memperkuat perlindungan nasabah. Langkah tersebut telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien dan stabil.
 
Hal ini tercermin dari kinerja industri perbankan yang terjaga baik, solid, dan tetap tumbuh positif, di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung.
 
Pada saat ini, kondisi perbankan Indonesia juga menunjukkan kinerja likuiditas yang baik. Antara lain tampak pada rasio alat likuid (AL) terhadap non-core deposit (NCD) dan rasio AL terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang sebesar129,64% dan 29,13% jauh di atas ambang batas minimal masing-masing sebesar 50% dan 10%.
 
Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional, dengan dana pihak ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
 
Demikian juga, untuk kinerja lainnya seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan dan profitabilitas masih terjaga dan tumbuh positif. Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori “Bank Dalam Resolusi” yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.



Startup Global
Sementara itu, Ekonom sekaligus Executive Director Segara Institute Piter Abdullah mengatakan, penutupan Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS) berpotensi mengganggu operasional banyak startup global yang mendapatkan pembiayaan dari bank tersebut.

 "Ada potensi startup global banyak yang terganggu, atau bahkan harus melakukan rasionalisasi, PHK, dan lain-lain," kata Piter. 

Startup global terdampak langsung dari bangkrutnya SVB karena menyangkut pembiayaan dan penempatan dana. Untuk penempatan dana, masih tertutupi oleh pernyataan pemerintah AS yang menjamin semua dana kembali. 

Tetapi, lanjut Piter, startup global yang selama ini mendapatkan pembiayaan dari SVB harus mencari sumber pendanaan lain.

"Upaya mencari sumber pendanaan lain ini, kalau tidak berhasil akan mempengaruhi operasi startup," tuturnya.

Namun, Piter menilai tidak ada hubungan langsung antara kejatuhan SVB dengan startup lokal di Indonesia. "Saya tidak melihat hubungan langsung antara SVB dengan startup lokal karena setahu saya tidak ada startup lokal yang mendapatkan pembiayaan langsung dari SVB," ujarnya.
 
Dia menuturkan, startup lokal sudah lebih dulu melakukan konsolidasi karena terputusnya pembiayaan dari investor global pada tahun 2021-2022. Meskipun tidak ada dampak langsung, namun menurut Piter, tentu ada dampak tidak langsung karena bangkrutnya SVB akan berdampak kepada industri startup global yang sedikit banyak memiliki keterkaitan.

Sementara itu ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto mengatakan, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah peristiwa kejatuhan SVB merupakan dampak dari kenaikan suku bunga yang agresif, disertai dengan pengetatan likuiditas di sistem keuangan.

Oleh karenanya, ia menilai langkah Bank Indonesia (BI) sudah sangat tepat tidak menaikkan suku bunga secara signifikan dan memastikan likuiditas masih mencukupi di sistem keuangan di dalam negeri. 

Di sisi lain, peristiwa penutupan SVB kemungkinan akan berpengaruh kepada arah suku bunga di AS ke depan, yang dapat menyebabkan kemungkinan Bank Sentral AS atau The Fed tidak agresif menaikkan suku bunga.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar