15 Juni 2022
12:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai penurunan indeks saham tidak hanya terjadi di bursa Indonesia saja, tetapi juga di bursa banyak negara lain di dunia. Penurunan indeks ini imbas dari tingginya inflasi global. Hal itu disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama BEI, Hasan Fawzi.
"Penurunan indeks beberapa waktu terakhir ini, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat menyentuh level kembali di bawah 7.000, tidak hanya terjadi di bursa Indonesia saja," ujar Hasan kepada rekan media, Rabu (15/6).
Dari hampir 40 bursa utama dunia, lanjut Hasan, secara tahunan (year to date/ytd) hanya ada 10 bursa yang menunjukkan pertumbuhan positif, termasuk bursa Indonesia, yaitu IHSG masih tumbuh lebih dari 6%.
Menurut Hasan, penurunan indeks tersebut dipicu oleh beberapa faktor. Utamanya, kenaikan harga-harga komoditas dunia yang dipicu salah satunya oleh ketidakpastian yang ditimbulkan akibat perang Ukraina dan Rusia.
"Efek berikutnya memicu tingkat inflasi yang tinggi di hampir seluruh negara di dunia yang pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran pada investor bahwa bank sentral akan menaikkan suku bunga secara agresif," tutur Hasan
Terkait dengan IHSG, Hasan menilai pertumbuhan IHSG yang masih positif menunjukkan optimisme pasar terhadap potensi pasar modal dan perekonomian Indonesia.
Sebagai regulator, kata Hasan, BEI akan berusaha memastikan mekanisme pasar berlangsung dengan teratur, wajar, dan efisien. Juga, keterbukaan informasi dan menyampaikan informasi secara simetris dan berimbang kepada pelaku pasar dan investor.
Dengan demikian, ia berharap agar investor tidak panik, tidak bereaksi berlebihan, serta tetap memantau perkembangan pasar dan kondisi perusahaan-perusahaan tercatat.
"Koreksi dalam di pasar saham tentunya bukan kali pertama ini terjadi, sehingga kami meyakini dengan crisis management protocol yang kami miliki serta dukungan maupun koordinasi kebijakan antara Pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dampak negatif dan risiko yang mungkin terjadi dapat dimitigasi dengan baik," jelas Hasan.
Jika ditilik kembali ke belakang, IHSG pada awal pekan, Senin (13/6), ditutup melemah, ke bawah level psikologis 7.000 seiring koreksi bursa saham regional dan global. IHSG ditutup melemah 91,21 poin atau 1,29% ke posisi 6.995,44.
Sementara itu, kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 turun 9,1 poin atau 0,89% ke posisi 1.010,14.
Namun kemudian, pada Selasa (14/6) kemarin, IHSG ditutup menguat kembali ke atas level psikologis 7.000. IHSG ditutup menguat 54,44 poin atau 0,78% ke posisi 7.049,88. Sementara, kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 naik 9,4 poin atau 0,93% ke posisi 1.019,53.
Antisipasi Dampak Kenaikan Suku Bunga
Sebelumnya, OJK menyatakan siap mengantisipasi dampak dari kebijakan kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat The Fed terhadap perekonomian domestik, khususnya ke sektor pasar modal.
"Kebijakan The Fed menaikkan suku bunga, ini akan berisiko. Kalau dalam konteks ini, mungkin tidak hanya pasar modal, kita di OJK bersama dengan teman-teman di perbankan akan buat kebijakan bersama. Kita akan membuat kebijakan relaksasi atau pun hal-hal yang tentunya sosialisasi kepada masyarakat bagaimana kita mempertahankan ekonomi kita," kata Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana di Jakarta, Selasa (14/6), dikutip dari Antara.
Pelemahan IHSG dipicu adanya kekhawatiran terkait stagflasi global dan adanya kekhawatiran terkait ekspektasi kebijakan pengetatan moneter yang lebih agresif oleh bank sentral Amerika Serikat The Fed seiring masih tingginya inflasi di Negeri Paman Sam.
Djustini menyampaikan, pada awal-awal pengetatan moneter yang dilakukan oleh The Fed, ada kekhawatiran banyaknya uang keluar dari pasar modal sejalan dengan menurunnya IHSG.
"Tapi fakta bisa kita lihat bahwa ternyata dengan bertumbuhnya investor lokal, investor domestik yang didominasi oleh kaum milenial, ternyata kekhawatiran itu tidak terlalu terjadi. Ada penurunan, tetapi ternyata di-absorb kembali oleh investor lokal sehingga kekhawatiran indeks jatuh itu menjadi bisa tertahan dan bahkan tetap dalam tren positif," ujar Djustini.
Menurut Djustini, kebijakan otoritas mengantisipasi ketidakpastian global, termasuk dampak kenaikan suku bunga oleh The Fed, tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan saat menghadapi dampak pandemi covid-19 yang juga sempat menghantam pasar modal domestik.