26 Februari 2025
14:44 WIB
Penjualan Di Sektor Ritel Melemah Karena Turunnya Daya Beli
Inflasi barang konsumsi lebih tinggi daripada pertumbuhan pendapatan. Kelas atas cenderung menahan pengeluaran, dan terus mengumpulkan tabungan sejak 2024
Ilustrasi. Pengunjung memilih produk di salah satu gerai ritel di Cinunuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/1/2025). Antara Foto/Raisan Al Farisi
JAKARTA - Managing Director Commercial Real Estate and Shopping Center Studies (CRSC) Yongky Susilo menyoroti pertumbuhan penjualan di sektor ritel yang melemah. Disinyalir, hal ini terjadi karena daya beli masyarakat yang menurun.
"Hal ini disebabkan inflasi barang konsumsi lebih tinggi daripada pertumbuhan pendapatan. Kelas atas cenderung menahan pengeluaran, dan terus mengumpulkan tabungan sejak 2024," kata Yongky dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (26/2).
Yongki menjelaskan, pertumbuhan penjualan sektor ritel dirasakan lemah sejak 2023 akibat kenaikan BBM, inflasi dan masa wait and see dampak pemilu.
Kondisi tersebut kian memprihatinkan, karena saat ini Indonesia kehilangan 4% kelas menengah. Meskipun mereka berkontribusi terhadap 80% konsumsi, pada sektor riil di ritel, pertumbuhan ekonomi 5% tidak cukup mendukung perputaran perdagangan, apalagi ditambah inflasi yang tinggi sejak 2022.
Belum lagi adanya fenomena makan tabungan (mantab) yang terjadi di kelas bawah dan menengah sejak Q423, mengindikasikan daya beli yang melemah.
“Jadi jika konsumsi masyarakat dan pengusaha melemah, ini akan berakibat langsung pada angka pertumbuhan ekonomi nasional,” ucap Yongky.
Walaupun demikian, menurutnya Indonesia berpeluang masuk dalam consumer boom kedua pada tahun 2030 atau ketika GDP per kapita berpotensi meningkat dari US$5 ribu ke US$ 10 ribu.
Pelemahan Kelas Menengah
Sayangnya, ia menyoroti selama sepuluh tahun GDP per kapita Indonesia hanya bergerak dari US$4 ribu ke US$5 ribu. Kondisi ini, lanjutnya, mengakibatkan pelemahan kelas menengah, yang dulu terbentuk di era tahun 2000-2010.
Ia menyayangkan hal itu karena kelas menengah menuntut kenyamanan, berpendidikan dan kaum perempuan bekerja. Mereka juga suka dengan kenyamanan ritel modern, produk dan layanan yang hemat dan memilih waktu makan di luar rumah yang hemat.
Sementara itu, terkait dengan perilaku konsumen, Yongky mengatakan, setelah pandemi covid-19 melanda, konsumen kembali ke kebiasaan awal yang gemar berbelanja secara luring, bepergian, aktif berolahraga dan makan di luar.
Fenomena itu menyebabkan e-commerce juga turun dibandingkan dengan Desember 2022. Total kunjungan kelima platform tersebut mengalami penurunan sebesar 68,8 juta kunjungan atau-14,68%. Contohnya pada Desember 2022, Shopee masih menerima 191,6 juta kunjungan, namun pada Maret 2023 jumlahnya menurun menjadi 159 juta.
Maka dari itu, Yongky menyarankan, agar pemerintah segera mengatasi permasalahan tersebut dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Termasuk menghentikan impor ilegal yang mematikan produk lokal dan berimbas langsung pada usaha legal yang membayar pajak dan kenaikan harga atau kelangkaan produk mengakibatkan usaha turun.
Pengusaha dan Ketua Kamajaya Bisnis Club Fransiscus Go menambahkan, krisis kelas menengah di Indonesia bisa dilihat dari beberapa aspek seperti ekonomi, sosial dan politik. Go menilai tantangan utama terletak pada kondisi negara yang berisiko terjebak di middle income trap, di mana pertumbuhan ekonomi melambat setelah mencapai pendapatan menengah tanpa mampu naik ke tingkat pendapatan tinggi.
Ia pun mengingatkan pelaku bisnis agar memiliki kewaspadaan yang cukup tinggi dan melakukan berbagai adjustment untuk menyesuaikan bisnisnya atau skill kerja atau produksi usahanya yang adaptif dengan situasi tersebut.
Ia juga menyarankan agar krisis ekonomi itu diatasi dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan keterampilan. Termasuk juga mendorong kewirausahaan dan inovasi, memberikan insentif bagi UMKM dan ekonomi kreatif serta memperbaiki kebijakan ekonomi yang berpihak pada kelas menengah.