c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

15 September 2022

14:00 WIB

Peningkatan Daya Saing Industri Mamin Perlu Didukung Pengurangan NTM

Di antara beragam jenis hambatan non-tarif, restriksi kuantitatif dan sistem perizinan impor jadi penyebab distorsi terbesar dalam pasar dan menghambat perdagangan secara signifikan.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Dian Kusumo Hapsari

Peningkatan Daya Saing Industri Mamin Perlu Didukung Pengurangan NTM
Peningkatan Daya Saing Industri Mamin Perlu Didukung Pengurangan NTM
Warga berbelanja di salah satu toko retail di Depok, Jawa Barat, Minggu (13/2/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies menganggap hambatan non-tarif (non-tariff measures/NTM) dapat melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman atau mamin Indonesia. Karena menimbulkan berbagai biaya tambahan serta waktu yang lebih lama untuk menjalankan proses yang ada.

Associate Researcher dari CIPS Krisna Gupta menerangkan, Indonesia perlu membuka diri untuk mengimpor produk-produk yang diproduksi secara lebih efisien di negara lain. 

“Akses terhadap impor, terutama produk pangan dan pertanian, terbatas oleh regulasi perdagangan yang rumit dan proteksionis,” terangnya di Jakarta, Kamis (15/9). 

Ia menjelaskan, hambatan non-tarif saat ini kian bertambah, mencakup hampir 100% hewan, sayuran, dan produk makanan. 

Secara keseluruhan, hambatan non-tarif menambah biaya kepatuhan dan menyebabkan penundaan yang menghambat akses perusahaan terhadap bahan baku yang reliabel, sehingga mendisrupsi produksi.

Di antara jenis-jenis hambatan non-tarif, restriksi kuantitatif dan sistem perizinan impor menjadi penyebab distorsi terbesar dalam pasar dan menghambat perdagangan secara signifikan.

NTM mensyaratkan dipenuhinya berbagai ketentuan seperti mengenai label, pengemasan, atau sertifikasi. Begitu juga inspeksi pra-pengiriman di pelabuhan asal yang memakan banyak waktu hingga memunculkan keterlambatan impor.

Proses administrasi, pemeriksaan dan pengeluaran barang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, jika situasi sedang ramai. 

“Keterlambatan waktu ini memakan biaya, dan ini merugikan importir bahan baku serta industri,” paparnya.

Restriksi kuantitatif dan sistem perizinan impor diatur dalam Permendag 25/2022 yang menguraikan persyaratan-persyaratan spesifik, untuk mendapatkan Persetujuan Impor (PI) setiap produk perdagangan yang diregulasi. 

Untuk sebagian produk, seperti produk-produk susu, proses permohonan PI mensyaratkan perusahaan untuk mendapatkan rekomendasi dari pemerintah provinsi dan kementerian teknis.

Penerapan Neraca Komoditas melalui Peraturan Presiden 32/2022 memperkenalkan sistem perizinan perdagangan baru berdasarkan basis data terpadu berisi stok, pasokan dan permintaan. Kebijakan ini juga menjanjikan sistem perizinan impor yang lebih sederhana, yang menghapus kewajiban memiliki rekomendasi teknis.

Namun, Krisna menuturkan, kebijakan ini menghadirkan masalah-masalah baru bagi perusahaan. Khususnya, terkait reliabilitas basis data Neraca Komoditas dan fokusnya terhadap jumlah ketersediaan barang sebagai salah satu faktor yang memengaruhi keputusan persetujuan impor.

“Sistem ini juga belum teruji jika ada gejolak perubahan yang mendadak, seperti harga CPO ataupun Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) untuk penyediaan daging sapi,” lanjutnya.

Selaraskan Kebijakan 
Untuk memfasilitasi akses perusahaan terhadap bahan baku, penelitian terbaru CIPS berjudul Perdagangan untuk Pemulihan Ekonomi: Kebijakan Impor untuk Mendukung Sektor Makanan dan Minuman Indonesia merekomendasikan Kemendag, untuk meninjau ulang dan menyelaraskan peraturan-peraturan yang ada, yang masih menjadi hambatan perdagangan bagi perusahaan.

Kemendag juga dirasa perlu mempertimbangkan relaksasi restriksi kuantitatif dan memperbolehkan perusahaan dengan API-P yang telah memenuhi persyaratan teknis untuk bisa mengimpor tanpa batas kuantitas.

API-P merupakan angka pengenal impor untuk perusahaan pabrik/produsen yang mengimpor mesin-mesin produksi perusahaan. 

“Neraca Komoditas idealnya hanya menjadi sumber informasi dalam membuat keputusan kebijakan strategis secara lebih luas, alih-alih sebagai dasar keputusan perizinan impor perusahaan,” sebutnya.

Industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor manufaktur prioritas, yang dapat berkontribusi dalam pemulihan dan transformasi struktural ekonomi Indonesia pasca pandemi covid-19. 

Pada 2021, sektor ini menyumbang 6% terhadap Produk Domestik Bruto dan 20% terhadap total ekspor Indonesia senilai US$45,4 miliar. Sektor ini didominasi oleh usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah, dan mempekerjakan secara sebanyak 4,6 juta pekerja. 

Kendati demikian, industri mamin mengalami pertumbuhan stagnan dalam dua dekade terakhir, salah satunya karena besarnya ketergantungan sektor ini pada komoditas kelapa sawit dan turunannya.

Pada akhirnya, partisipasi dalam rantai nilai global merupakan jalan keluar terbaik untuk mengurangi ketergantungan dari sektor kelapa sawit. Serta menciptakan industri mamin yang lebih tahan terhadap gejolak perekonomian global.

“Dengan diratifikasinya RCEP, Indonesia saat ini berada di posisi yang strategis untuk membuat rantai nilai regional industri makanan minuman yang lebih kompleks dan berdaya saing,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar